Rabu, 29 Juli 2009

Biara suster Santa Fransiscus Assisi,
Rabu malam, 29 Juli 2009, pukul 19,30 ku kunjungi.
Menyusuri jalan Sudirman, berbelok memasuki Biara ini yg terletak di sebelah Matahari Duta Plaza. Gedung pertemuan yang terletak di bagian depan, sedang terisi dengan puluhan orang yg mengadakan pertemuan. Spanduk selamat bergabung, terpampang di bagian depannya, ditingkahi logo Tianshi.

Kubawa motor hingga memasuki halaman biara... parkir di tempat paling pinggir di batas gerbang dalam. Lalu memasuki halaman asrama...
Kutemui beberapa orang yg sedang duduk di bangku depan ruang makan asrama bagi siswa anak SMA ini, bertanya tentang Selvi, adik kandung dari Agus Beudhema, orang dari Flores, pria yang menikahi adik kandung terbungsu dari suamiku.
Aku diantar oleh De' Ta, sahabat Selvy, yg juga kerja sebagai pegawai untuk memasak bagi para siswa dan para suster. Depan kamar Selvy, aku termangu. Beberapa orang sedang berada di dalam kamar. "Selvy menderita gejala demam berdarah", kata mereka.
Untung sudah dibawa ke dokter. Namun tidak perlu dirawat.

Lalu. datang lagi seorang wanita berkerudung putih.
"Perkenalkan, saya suster Sofie, dari Lembata, Flores", katanya.
"Sudah sepuluh tahun saya tidak pulang ke rumah, demi pengabdian pada umat dan Tuhan".
Suster Sofie membantu merawat Selvi selama dia sakit.

Asrama wanita Santa Chatrina yang dikelola susteran ini terdiri dari 25 an kamar. Dengan biaya 600 ribu yang dibayarkan per anak, mereka akan mendapatkan tiga kali makan. Kecuali kewajiban mencuci baju sendiri.

Ah, malam ini, kukenal pribadi seorang suster. Pengabdian dan pelayanan umat.
Dulu juga aku tinggal tiga tahun dalam sebuah biara susteran.
Hal ini mengajarkan...
betapa... untuk mencapai sebuah cita-cita, perlu pengorbanan, yang bahkan, hingga titik terendah dari batas toleransi yang bisa diterima seorang manusia...
Terpisah jauh dari keluarga, mengambil sebuah keputusan, menjalankan keputusan tersebut, dan mengevaluasi berbagai bentuk hasil dari keputusan, serta menanggung akibat yg telah dan akan diterima.

Ah, susteran Santa Fransisca Assisi,
beri satu pemahaman lain lagi untuk hari ini...

Minggu, 19 Juli 2009

Pulang ke Batuaji

Berjalan menyusuri jalan sepanjang Denpasar - Tabanan, bukanlah sebuah perjalanan panjang yg akan menyita waktu. Namun, selalu ada kerinduan berkecamuk di dada, setiap kali hal ini kulakukan.

Kerinduan akan kampung halaman, ingatan akan kakek dan nenek yang telah tiada, serangkaian upacara, keramaian senda gurau kelompok masyarakat, nikmatnya tipat cantok di atas daun pisang, serta rujak gula bali yang membuat air liur menetes.

Mungkin ada hal yg takkan tertebus waktu, tersita lelah mendera, atau hampa yg sering menyeruak dada jika berkutat dengan segala rutinitas membosankan.
Sekian jam hari Minggu ini, 19 Juli 2009, di desa Batuaji Klod, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan, tidak lah cukup untuk kunjungi seluruh kerabat, untuk obati kerinduan hati, untuk persiapkan diri, jelang odalan Anggarakasih Dukut, di Merajan Agung.

Ah... kangen ini.
Entah kapan bisa lebih lama di kampung.

Sabtu, 11 Juli 2009

Tirta Yatra

Jum'at, 10 Juli 2009.
Subuh pukul 4 pagi, bangun dan memulai persiapan bekal keberangkatan menjalani Tirta Yatra. Kumasukkan nasi ke dalam lapis rantang plastik yg baru kubeli. Dua lapis lainnya kuisi dengan tahu goreng kecap dan ayam bumbu bali, agar saat lapar mendera, aku bisa berikan hidangan bagi keluarga selama diperjalanan nanti.
Pukul enam pagi, aku beserta keluarga tiba diantar mobil pickup carteran di lapangan Lumintang. Kulihat dua bis sudah menunggu. Ada Pak Dewa Sujatha, pemimpin rombongan keluarga besar STP yang akan berangkat ke Jawa, ada Pak Tuwi beserta keluarga, ada ibu Riyani beserta suaminya, ada Ibu Citra dan keluarganya, lengkap dengan bantal kesayangan anak anak. Ada Ibu Dayu Kalpikawati heboh dengan persiapan keberangkatan bersama anak-anaknya. Ada Ibu Nova yang berusaha menenangkan anaknya dengan tangisan tidak rela ditinggal ibunya walau cuma sehari berpisah. Akh... selalu indah jika berjuang bagi kebahagiaan keluarga...

Pukul tujuh, tiga bis dengan muatan berjumlah 150 an pegawai Sekolah Tinggi Pariwisata beserta anggota keluarga mereka bergerak perlahan. Pemberhentian pertama kami adalah Pura Rambut Siwi, memohon keselamatan dengan doa pada Tuhan untuk mengawali dan menemani kami selama menempuh perjalanan ini.

Dari Iwan Fals, ST 12, Mansyur S., Dek Ulik, hingga Wayang Cenk Blonk menemani kami selama perjalanan. Itu pun tersendat dengan kondisi kaset yang sudah tidak prima lagi. Ditingkahi dengan riuh rendah suara anak anak yang bernyanyi, berceritera, merengek dengan berbagai permintaan, orangtua yang membujuk anak, koordinator perjalanan yang terus menerus memberikan pengarahan agar rombongan mau mematuhi arahan yg diberikan...... Hem... inilah seni keberangkatan bersama banyak orang. Menekan ego masing-masing, mengutamakan kepentingan banyak orang, menerima kesalahan dan kekurangan diri sendiri juga orang lain.

Penyebrangan Gilimanuk - Ketapang, tidak kami alami persoalan berarti. Anak-anak sangat menikmati kebersamaan mereka, mengamati nakhoda kapal menjalankan ferry ini, hilir mudik naik turun lantai kapal,dan aroma laut.

Pukul 12.30, kami tiba di Pura Blambangan. Pejati kuhaturkan, dan mulai bersujud di penghujung telapak kaki Beliau. Harum aroma dupa menyentuh hidung, desau angin semilir tak lagi kuhiraukan. Hmmmm... Tuhan, walau berat, kuhantar keluargaku mengenal kebesaran nama Mu. Tidak akan pernah ada tanding harga bahkan nilai, jika harus kulakukan segala upaya demi ini. Satu jam, terasa sangat kurang waktu yang tersedia. Namun harus kuterima demi kebersamaan seratus lima puluh orang ini. Masih terngiang alunan kidung suci Ibu Riyani menyentuh kalbu, masih berdenting genta sang pemangku di telinga tatkala bis mulai menyeruak sesak jalanan menuju arah berikut, Lumajang I'm coming....

Pukul 9 malam. Tiba di Pura Luhur Semeru Agung Lumajang. Menikmati rehat sejenak, membersihkan diri, makan malam singkat dengan semangkok kecil soto ayam. Kujunjung pejati, kutuntun si kecil melangkahkan kaki ke Pura. Indahnya kedamaian melakukan semadi dalam rengkuhan Tuhan, di rumah Beliau, tertunduk malu mengingat kesalahan dan kealpaan ku selama ini. Mampukah aku jadi lebih baik dan semakin baik lagi? Bahkan, saat narsis mendera sehabis sembahyang, kupaksa suami dan anak-anak berfoto ria, demi alasan bisa memiliki foto-foto indah yg dapat dipajang dan dipamerkan pada teman-temannya dan keluarga besar....

Pukul 12 malam... Rombongan kami kembali bergerak, beringsut perlahan, kali ini menuju Probolinggo. Tiba pukul 3 pagi hari waktu Probolinggo, kami berhenti di Restoran Tongas Asri. Anak - anak mulai berlarian, dan merengek dengan berbagai permintaan, dari sarung tangan bermotif spiderman, Sarung kepala ala ninja, hingga membuka bekal dan berbagai tuntutan lainnya. Akh... Bahkan pergantian kendaraan ke mobil Isuzu dengan kapasitas cuma 15 orang ini untuk menuju puncak Penanjakan membutuhkan perjuangan tersendiri.

Dua jam perjalanan menuju puncak Penanjakan untuk menikmati matahari terbit juga membutuhkan usaha tersendiri. Medan yang terjal, lebih terjal dibanding jalan Denpasar - Asah Badung, dilakukan pada pagi hari buta, membuat hati ini sedikit waswas. Anak-anak yang masih dalam kondisi mengantuk, mobil yang sudah tua, bangku kayu yang kududuki patah sehingga duduk ini tak nyaman terasa, medan dengan seribu kelokan.... Tuhan... beratnya perjalanan ini menuju jantung hati Mu, bantulah kami semakin menghargai dan menghormati keberadan Mu...
Sunset kami nikmati, kukeluarkan roti tawar besar dan susu cair terbungkus plastik kecil (sachetan) dan menawarkan pada banyak teman, walau kutahu takkan cukup bagi mereka semua. Bahkan saat anakku merengek minta makanan jenis lainnya yang tak kumiliki. Ah... satu bentuk perjuangan lainnya lagi...

Pukul enam pagi, tiba di Pura Poten, ini kah suku Tengger dan kebudayaan mereka? Kebanggaan mereka? Kehidupan mereka? Tak sanggup kusamai perjuangan mereka, rasa sombong yg sering menggugah diri, tidak lah ada artinya dibanding mereka ini. Seribu kali penjelmaan kembali, rasanya tak kan mampu menyamai jejak kaki mereka dalam memuliakan Tuhan.

Indahnya semilir angin dingin 18 derajat Celcius, deru debu kaki kepundan Bromo ditingkahi derap kuda berlari, matahari yang mengintip manja, penjaja bunga kering yang coba merayu... semua temani iring langkah kaki terayun ke hadapan Pura Poten.
Pemangku mulai mengurai doa, wangi bunga dan dupa yang terangkat ke udara menghantar kami memuja Tuhan. Inikah rahasia yang Kau tawarkan? Kebahagiaan dan kepuasan batin, yang sesungguhnya ada dalam diri, sementara kami mengejar kepuasan materi semu...
Tiada jalinan kata terucap, semua terpekur dalam diam. Bahkan anak - anak dalam pangkuan orangtua pun tertunduk. Mengantuk kah mereka? Atau, berpasrah dalam doa masing masing? Apakah yang mereka panjatkan? Tak terasa mengalir air mata perlahan...

Pukul tiga sore, kami kembali bergerak menuju Tongas..
selamat tinggal Bromo, selamat tinggal masyarakat Tengger, selamat tinggal Pura Poten... Sebagian hatiku tertanam di sana, pada sapaan ramah sang Mangku, pada kebesaran Beliau yang tertata di alam negeri atas langit (karena kulihat awan di bawah kami, karena entah kapan bisa kugapai lagi, kembali merengkuh keberadaan di sini...

Pukul lima sore... iringan bis mulai menata diri di jalanan Probolinggo menuju Banyuwangi. Ladang tembakau terhampar di sepanjang jalan raya Besuki, ditingkahi perkebunan jagung, hamparan tanaman tebu, semua ini memberikan gambaran kehidupan masyarakat di pedesaan pulau Jawa. Bahkan perbukitan dengan pemandangan lahan kritis sepanjang perjalanan menuju Situbondo dan kondisi perumahan yang sempat terekam dalam ingatan telah menunjukkan rendahnya level perekonomian masyarakat.. Ah.. semoga mereka berhasil melalui ini semua dengan sebaik mungkin..

Pukul dua belas malam waktu Denpasar. Akhirnya kami tiba di sini...
Bis berhenti di depan terminal Ubung,
kami disambut rinai hujan yang jatuh satu satu.
Tuhanku...
Takkan lelah ku ajak dan ku hantar keluarga ku
melangkah ke hadapan Mu, menghampiri Mu, walau dengan segala lelah ini,
walau dengan segala heboh ini... dengan penuh keyakinan, bahwa
mereka akan tetap baik-baik saja, sejauh tetap berada dalam jalan Mu.

Minggu, 05 Juli 2009

Perjalanan Hidup 3

Emakku memang benar....

Setelah engkau punya anak, wahai anakku....
Baru akan engkau sadari... betapa indahnya dunia ini,
dengan segala kesusahan dan kebahagiaan yang engkau dapat karenanya dan darinya.

Kubayangkan diriku,
Saat di bangku SMP, dengan jiwa pemberontak yang kental...
Dengan laku diam, menunjukkan kegalauan hati, ketidakterimaan,
kecemburuan terhadap kakak sendiri, kebencian terhadap adik yg bagai raja..

Emakku memang benar....

Dulu aku bukan jiwa yang gampang menyerah,
tak kan kubiarkan orang lain menaklukkan hatiku...
Tapi kini... malam ini...
Kutonton ber jam jam Calonarang Bedoyo depan Gedung Ksirarnawa ini
dengan menggendong anak seberat 35 kg di punggungku
demi pemandangan terbaik yang bisa dia dapatkan
karena hanya dengan begitu dia bisa menonton ditengah kerumunan orang banyak ini

Malam ini seperti semakin melengkapi siang dan malam hari lainnya...
Jiwa dan raga bisa berubah...

Emakku memang benar...

Kamis, 02 Juli 2009

Kidung

Ikang wwe sinangguh suci, tan suci ika, dening purisya ning matsya.
Ikang pehan sinucyan, tan suci ika an tedan ing putrnya.
Mangkana kembang sinangguh suci, tan sucyan dening brahmara nityangaras sarinya. Sanghyang Wulan sira sinangguh nirmala tanpacala,
acala sira anon sasa ring jronira.
Kalinganya: wwang juga gumawayaken suci.

Air itu disebut suci, sebenarnya ia tidak suci oleh karena dikotori oleh ikan.
Susu (sapi) disebut suci,sebenarnya juga tidak suci karena pernah dihisap oleh anaknya. Demikian pula halnya dengan kembang yg disebut suci, namun tidak suci karena kumbang selalu menghisap sarinya. Bula disebut suci tanpa cact, sebenarnya cacat juga karena didalamnya terlihat gambar kelinci. Singkatnya: manusia lah yang mengatakan dan membuat suci itu.

(Kidung Tantri Kamandaka)

Sekali lagi, tentang Bali

Hem....
Sarasehan Kebudayaan di Gedung Natya Mandala kanpus Institut Seni Indonesia hari ini, semakin memperlihatkan gambaran konflik yang dihadapi global.
Keberhasilan selalu melibatkan berbagai komponen, baik itu faktor alam, sumber daya yg dimiliki, kemajuan teknologi, dan unsur manusia itu sendiri.....
Bali memiliki sumber daya yg sesungguhnya amatlah rrruuuuaaaarr biasa....
Keindahan dan kesuburannya sudah terkenal di seantero dunia...
Namun, kebijakan leluhur yg sudah terbukti sejak lama ternyata tidak mampu didukung oleh hampir sebagian besar komponen masyarakat yg terlibat....
Mulai dari sistem irigasi yg sesungguhnya sudah berjalan baik dengan adanya Subak...
kearifan lokal dari adanya Desa Adat - Desa Adat, awig awig... namun seringkali justru digunakan secara salah kaprah, disalah artikan, banyak kasus yg bisa jadi rujukan....
belum lagi pembuktian dari adanya bantuan bantuan pihak perbankan yg sering disalah gunakan.
Ah... ternyata...
Man behind the gun tetap jadi faktor penentu yg utama...