Kamis, 24 Desember 2009

Bersama Mangku Danu, di suatu hari.....

Wrespati Umanis Matal, Kamis, 24 Desember 2009

Hari indah buat memulai sebuah perjalanan di hari libur. Setelah selesaikan seluruh urusan RT, bergerak untuk berkumpul bersama teman-teman setelah janji mengadakan perjalanan spiritual lain lagi. Setelah dapatkan kesempatan berjumpa Pak Deepak, Pak Donny Harimurti, kali ini, berjumpa untuk pertama kali dengan Mangku Danu.

Hmmm, menurutku, tidak setiap orang mendapatkan kesempatan yang sama dalam memaknai kedalaman kehidupan beragama melalui perjalanan spiritual mereka masing-masing. Tak berani kubayangkan di awal perjumpaan, apa saja yang bakal terjadi kali ini. Heboh? Ato, apa? Bahkan, saat tiba di rumah keluarga Pak Nyoman Suma dan berjumpa Komang Suarthana, kusadari antengku tertinggal. Whaa, awal yang jelek. Bahkan, kami harus berpusing ria temukan alamat yang diberikan Mangku Danu, Jl. Kori Agung, Sading, Sempidi. Ah. Untunglah, akhirnya rombongan kami temui rombongan Mangku Danu. Hanya sempat bersalaman sejenak, lalu mobil kembali bergerak.

Mobil rombongan bergerak meretas jalan. Dua Kijang abu-abu, satu Yaris putih berjalan beriringan. Tujuan pertama, Pura Puncak Penulisan. Pura Puncak Penulisan terletak 1745 dari permukaan laut kira-kira 3 Km dari Kintamani atau 30 Km dari ibukota Bangli, di sebelah timur bagian atas dari jalan Denpasar – singaraja. Pura Pucak Panulisan di Desa Sukawana, Kintamani, Bangli, memang kerap disinggahi orang-orang. Tak sebatas orang Bali, juga tetamu asing yang berkunjung ke Bali.
Tempat suci berjarak kira-kira 70 km dari Denpasar ini memiliki banyak sebutan. Ada menamakan Pura Panarajon, ada pula menamai Pura Tegeh Koripan. Karena letaknya di Bukit Panulisan, orang-orang pun kebanyakan menyebut Pura Pucak Panulisan.

Tiba di ajeng pura, seluruh rombongan turun dari mobil, berkumpul dan berkenalan. Rombongan kami bertambah dengan satu mobil karimun abu-abu, sahabat Mbok Gek Putu Artati. Ah, dunia ternyata sungguh kecil. Putu Artati yang juga member HD net, cantik, manis dan sangat ramah adalah keluarga dari istri pak Wayan Suasthana, yang juga member HD net. Ada pula anggota rombongan yang berasal dari Banjarangkan, Klungkung, asal suamiku. Hmmm. Mengenal Mangku Danu lebih jauh, sosok yang sangat biasa... tidak seperti Afghan, idola remaja kini, atau Nicholas Cage, idolaku. Namun tatap mata yang teguh kukuh, dan tutur kata yg manis menghibur, membuat hati menjadi damai...

Kami menapaki jalan menanjak menuju Pura Pucak Penulisan, ku persiapkan banten pejati yang kubawa, lalu mulai bersila di belakang rombongan. Ya, bersila, karena posisi ini membuatku merasa nyaman untuk berkontemplasi dengan Tuhan. Aku tidak dapat menahan isi hati yg berbunga, ber bangga, tatkala Mangku Danu mengatakan bahwa ada energi yang besar, bagai memiliki link kuat antara diriku dengan Beliau yang bersthana di Pura Pucak Penulisan. Hhhmmm, sombong sekaleee. Padahal, sejauh ingatanku, pura ini pernah kukunjungi hanya sekali seumur hidup. Itu pun waktu kumasih teramat kecil.

Hari beranjak siang, selesai memanjatkan doa di sini, rombongan kembali bergerak. Kali ini menuju Pura Dalem Balingkang. REDITE Umanis Warigadian adalah saat upacara piodalan di Pura Dalem Balingkang, Desa Pinggan, Kintamani, Bangli. Lokasinya, dari Denpasar mengikuti jalur Denpasar-Singaraja lewat Kintamani, dan di Pura Pucak Panulisan menuju arah timur laut kira-kira 15-20 km. Tempatnya sangat unik dikelilingi Sungai Melilit, yang dianggap sebagai benteng utama menuju ke Kerajaan Balingkang.

Tiba disini, kami sudah ditunggu oleh Mangku Pura Saraswati. Hmm, sungguh unik Pura ini. Pada Pelinggih Beliau, terdapat dua batang pohon menyembul keluar. Bahkan, para penglingsir dan penyungsung pura menggambarkan usia ratusan tahun bagi usia pohon dan pura. Hmm, sungguh kebesaran Tuhan terlihat di sini...

http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2006/11/5/jak1.html
kiriman dari Putra semarapura, menjelaskan bahwa ihwal Pura Dalem Balingkang ini dijelaskan dalam Prasasti Sukawana (Goris, 1954) disebut, Desa Sukawana diserang hujan badai dan Keraton Jaya Pangus hancur, sehingga jong les pindah ke Balingkang. Keberadaan Pura Dalem Balingkang (PDB) sebagai pura maupun sebagai Keraton Raja Bali Kuna tercatat pula dalam "Pengeling-eling Desa Les-Penuktukan, Tejakula, Buleleng" yang dikeluarkan oleh Raja Jaya Kasunu sekitar abad ke-11. Ia tercatat sebagai leluhur Raja Jaya Pangus Harkajalancana.

Masyarakat Bali dewasa ini terbagi menjadi dua kelompok utama -- Bali Mula (Aga) dan Bali Majapahit. Prof. Dr. I Gusti Bagus (alm.) dalam tulisannya "Kebudayaan Bali" (1979) menyebut, masyarakat Bali Mula mendiami daerah pegunungan di Bali, sedangkan Bali Majapahit mendiami daerah dataran. Bahasanya pun berbeda, disebut "omong negari" dan "omong pojol" oleh masyarakat Bali Mula.

Dalam konteks PDB, nama balingkang berasal dari kata "bali + ing kang". Secara tuturan dan bukti tertulis, ini dikaitkan dengan pernikahan Raja Jaya Pangus Harkajalancana yang memerintah pada tahun saka 1103-1191 atau 1181-1269 Masehi. Raja Jaya Pangus punya dua permaisuri, Paduka Bhatari Sri Parameswari Indujaketana dan Paduka Sri Mahadewi Cacangkaja Cihna -- (Cihna-Cina). Dalam cerita rakyat yang berkembang disebut, istri Cinanya bernama Kang Ci Wi, putri Tuan Subandar pedagang dari Cina. Maka digabunglah Bali-Ing-Kang jadi Balingkang.

Masyarakat Bali Kuna di sekitar Danau dan Gunung Batur tercatat amat sulit ditundukkan oleh Raja Sri Kresna Kepakisan yang ditempatkan oleh Maha Patih Gajah Mada. Sampai dewasa ini, mereka amat sulit terpengaruh oleh budaya Hindu Majapahit. Sampai tahun 2006 ini, Pura Pucak Panarajon belum mau menggunakan Ida Pedanda sebagai Sang Trini-nya, tetap menggunakan Jro Mangku dan Jro Kebayan dengan upacara podgala atau mewinten pang solas.

Masyarakat Bali Mula di sekitar Danau Batur menyebut dirinya dengan Gebog Domas (Kelompok Delapan Ratus). Kelompok ini dibagi jadi empat bagian Gebog Satak (Dua Ratus) Sukawana, Kintamani, Selulung dan Bantang. Kelompok ini memiliki Tri Kahyangan yakni

(1) Pura Pucak Panarajon sebagai pusatnya terletak di Sukawana, Kintamani, dengan tiga tingkatan pura yang disebut Gunung Kahuripan. Tingkatannya, Pura Panarajon (Ida Bhatara Siwa Sakti), Pucak Panulisan (sejajar dengan pusat pemerintahan -- dulu sebagai keraton Raja Jaya Pangus), dan Pucak Wangun Hurip (simbol membangun kehidupan.

(2) Pura Bale Agung di Sukawana dengan Ida Bhatara Ratu Sakti Kentel Gumi, setara dengan Bhatara Brahma,

(3) Pura Pusering Jagat -- Pura Puseh Panjingan di Desa Les-Penuktukan, Tejakula, Buleleng, berstana Ida Ratu Sakti Pusering Jagat setara dengan Bhatara Wisnu, dan

(4) Pura Dalem Balingkang berstana Ida Dalem Kepogan (Dalem Balingkang) setara dengan Dewa Siwa.

Kelompok Satak Sukawana terdiri atas beberapa desa di Kecamatan Kintamani dan Tejakula, Buleleng. Sebagai ikatan yang padu, Desa Pinggan ditugaskan oleh Sukawana sebagai kesinoman membawa surat ke kelompok Tejakula. Di Sukawana banyak ada peninggalan tanah pelaba pura, serta di Balingkang ada 175 ha. Rupanya secara diam-diam keduanya saling menguasai tanah itu.

Pada 1960, Sukawana menugaskan Pinggan mengirim surat ke kelompok Buleleng Timur. Surat itu "disembunyikan" sehingga semua warga Buleleng tak tahu ada upacara di Panarajon. Ini berlangsung sampai 1963, sehingga pada 1964 Sukawana malu menugaskan Pinggan. Akhirnya, kelompok pemuja PDB pada 1964 yakni Pinggan, Siakin, Tembok, Gretek Sambirenteng, Les-Penuktukan menyatakan keluar dari kelompok Sukawana dan membuat kelompok baru bernama Gebog Satak Balingkang.

Lalu, sejak 1964 kelompok pemuja Pura Pucak Bukit Indra Kila, Desa Dausa, Kintamani juga melepaskan diri dari Pura Panarajon.

PDB yang dipuja kelompok Gebog Satak Balingkang, juga dipuja oleh warga masyarakat di sekitar Desa Petak, Gianyar. Ini terjadi karena ada hubungan historis dengan keluarga Puri Petak Gianyar. Secara faktual, di utama mandala bagian sisi selatan ada kompleks bangunan pura lengkap dengan sanggar agung, meru 11 (tingkat 11), sebagai pemujaan Ida Dalem Klungkung (Raja Klungkung) dan meru 9 (tingkat 9) sebagai pemujaan pada Ida Dalem Bangli (Raja Bangli).


Berikutnya, selesai seluruh rangkaian persembahyangan di Pura Dalem Balingkang, rombongan di ajak menikmati suguhan hidangan kopi, nangka, nangka goreng, di rumah sang mangku. Masih terletak di Desa Pinggan pula. Ah. per lambang keramahan yang sungguh kami nikmati.

Selanjutnya, kami mendapatkan bentuk berkah lain. Jamuan makanan berlimpah di rumah sang Mangku Danu, persis di sebelah kantor Puskesmas IV di Kintamani. Hamparan sayur mayur menyambut kami, sejauh mata memandang. Dari sayur kol, tomat, terong Belanda, cabe besar, bayam, daun bawang dan seladri. Bahkan, di kejauhan, untaian keramba berisi mujair menari-nari memanggil mendekat ke danau Batur.

Ah. Tak sanggup kutolak se piring penuh nasi anget berlauk muncuk sayur jipang, ikan mujair berbumbu bali, kacang goreng. Hmm, aku sanggup tinggal abadi disini...

Hari jelang malam, tatkala kami kembali bergerak melanjutkan perjalanan tirta yatra kali ini... Mangku Sadeg, klian adat Desa Kintamani, bergabung bersama kami, menuju Pura Hulun Danu Batur Desa Songan. Rangkaian Upacara Danu Kerti yang masih berlanjut menyambut mesra dalam hangat malam yang memeluk hadirnya kami di tengah ribuan umat hadir tiada henti. Hmm, Entah apa yang merasuki kerinduan hati, malas beranjak dari hadapan Tuhan di Pura ini.

Menurut Songan.org, Pura Ulundanu Batur Songan terletak di Desa Songan, Kintamani, Bangli, sekitar 90 Km dari Denpasar. Pura terletak di timur laut Danau Batur yang merupakan danau terbesar di Bali. Pura ini juga berada persis di kaki perbukitan yang bernama Bubung Tegeh yang berderet sampai Gunung Abang. Sehingga pura ini memang seperti berada di tengah-tengah deretan gunung yang melingkari Danau Batur. Pura ini dipercaya sebagai stana Dewi Danuh, yang menjadi dewi bagi seluruh sumber air di Bali. Sehingga Subak, organisasi pengelola air di Bali, biasanya mengadakan persembahan pada setiap upacara di pura ini. Jadi, di pura ini, masyarakat Bali memohon kemakmuran sehingga hasil panen mereka berlimpah ruah.

Tidak ada yang dapat memastikan kapan pura ini dibangun pertamakalinya. Tetapi kisah Shri Aji Jayapangus yang menjadi Raja di Balingkang sekitar abad ke-12 Masehi bisa menjadi petunjuk tentang pembangunan pura ini. Pada zaman pemerintahannya, Jayapangus menaruh perhatian pada Danau Batur, sehingga sampai dimitologikan memperistri Dewi Danuh. Karena itu, besar kemungkinan pura ini dibangun pada masa itu. Tetapi bila dikaitkan dengan organisasi pengelolaan air yaitu Subak maka besar kemungkinan pura ini telah ada jauh sebelum abad ke-12 Masehi. Sebab Subak telah mulai dikembangkan pada zaman Rsi Markendya (pendeta India) yang datang ke Bali pada sekitar abad ke-7 Masehi. Jadi, pada abad ketujuh, pura ini mungkin masih kecil, seperti tempat pemujaan zaman-zaman purbakala. Shri Aji Jayapangus selanjutnya mengembangkan pura ini menjadi lebih besar.

Pura Hulundanu Batur di Desa ToyaBungkah, Kec. Kintamani, Kab. Bangli, adalah tujuan terakhir kami...Dinding gunung dengan rapatnya hutan menjulang di depan kami, seolah melengkapi misteri malam yang menantang, menghadang, dan mendekap. Pura yang terletak setelah obyek wisata Toyabungkah ini mengakhiri seluruh rangkaian perjalanan tirta yatra kami.

Toya Bungkah terletak di tepi sebelah Barat Danau Batur, 11 Km dari penelokan Kecamatan Kintamani. Tempat ini sangat menyegarkan dan cocok untuk memancing dan berenang. Disana juga ada air panas yang airnya berasal dari kaku Gunung Batur. Masyarakat disana percaya bahwa air ini dapat menyembuhkan segala jenis penyakit kulit. Tempat ini sudah dikenal sejal tahun 1930 terutama oleh para Ilmuwan Asing. Fasilitas yang terdapat disini antara lain, penginapan, hotel dan restoran serta aula untuk mementaskan tari-tarian tradisional maupun modern.

Waktu menunjukkan pukul setengah sebelas malam, saat kami berpisah di pelataran parkir Pura. Saling bersalaman, dan janji saling menjaga tali hubungan di antara kami. Hmm, sungguh indah karunia yang kudapat sepanjang hari ini. Semoga berkah Tuhan akan senantiasa hadir di hati tiap umat manusia di dunia....

Sabtu, 19 Desember 2009

Love Barb, Jadoel tapi everlasting memories akan selalu memotivasi

Kita semua, mungkin saja alami masa terindah atau terpahit dalam hidup. Saat dipuja dan dijunjung setinggi langit, lalu terhempas dan tercampak. Saat mendapat anugerah terindah, lalu direnggut dari orang terkasih atau benda kesayangan. Namun, segala ini harusnya dapat memicu untuk semakin berprestasi dan semakin bijak lagi, baik bagi diri sendiri, bagi lingkungan, bagi Tuhan.
Contohnya lagu ini, lumayan memotivasi. Jadi inget bahwa kasih Tuhan bagai kasih ibu pertiwi, slalu memberi tanpa harap kembali. Harusnya, seperti ini lah cinta, sudah cukup bagi cinta itu sendiri...

Barbra Streissand : Woman in Love

Life is a moment in space,
when the dream is gone
its a lonelier space
I kiss the morning goodbye
but down inside you know
we never know why

The road is narrow and long
when eyes meet eyes
and the feeling is strong
I turn away from the wall
I stumble and fall
but I give you it all

Chorus:
I am a woman in love
and I do anything,
to get you into my world,
and hold you within
It's a right, I defend,
over and over again, what do I do

With you eternally mine
in love there is
no measure of time
We planned it all at the start
that you and I
would live in each others hearts

We maybe oceans away
you feel my love
I hear what you say
no truth is ever a lies
I stumble and fall
but I give you it all

repeat chorus..

I am a woman in love
and I am talking to you
do you know how it feels
what a woman can do
it is a right
that I defend over and over again

Kamis, 17 Desember 2009

Mereka Menantiku

Rabu, tilem, tanggal 16 Desember 2009

Tiba di rumah pukul 6 sore dengan badan letih setelah seharian melaksanakan tugas kantor. Anak-anak tetangga telah berkumpul dengan manis di depan rumahku. "Ibu, kita sembahyang bersama lagi, ya?" Demikian sapaan mereka. Ah, tidak tega kukecewakan mereka yang punya niat dan semangat tinggi ini. Bergegas membasuh diri dan bersalin agar cukup pantas menghadap Sang Hyang Widhi, lalu aku keluar bersama putra bungsuku yang kelas 2 SD dengan membawa canang di atas baki. Diiringi oleh para bocah kecil ini, kami berjalan menuju Pelinggih Pesimpangan Ida Ratu Gede di bagian Timur Perumahan. Disana, kulihat Ibu Jero bersama Gek Ayu, anaknya, sedang menghaturkan sembah. Ku letakkan canang buatanku di atas pelinggih, menangkupkan tangan dan mulai menguntai doa memohon kesejahteraan bagi kami semua. Hujan mulai jatuh satu-satu basahi kepala, kian lama kian deras. Kutawarkan pada anak-anak ini untuk kembali ke rumah masing-masing, tapi mereka enggan. Semangat kebersamaan dan keinginan bersembahyang dalam diri mereka begitu kuat mendera. Jadi, kami mulai berjalan bergerak ke arah Pura yang terletak di bagian Utara (tepatnya, Timur Laut / Kaja Kangin) Perumahan.

Hmmm, bahkan, mereka yang masih bocah dan belum ternoda banyak godaan dunia ini, memiliki hasrat tinggi memuliakan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan jiwa dan semangat kekanakan mereka. Aku masih harus banyak belajar dari mereka.

Bahkan, mangku Danu menjelaskan bahwa Bhagavadgῑtā (VII.16-17) memberikan uraian mengenai tipologi empat jenis orang yang berusaha mendekatkan diri pada Tuhan,
berbhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa, mereka itu adalah: orang yang sengsara,
yang mengejar kekayaan, yang mengejar ilmu pengetahuan dan orang yang berbudhi
luhur. Di antara ke empat macam orang tersebut, maka orang yang berbudhi luhur
dinyatakan yang paling mulia. Mengapa demikian, orang yang berbudhi pekerti
luhur sepenuhnya menyerahkan diri kepada-Nya. Penyerahan diri secara total
kepada-Nya disebut prapatti, demikianlah bhakti-prapatti mengandung makna
bhakti yang murni, sebab mereka telah merasakan dalam kebhaktiannya itu, ia
berada dalam lindungan-Nya. Bila kita bhakti dan menyerahkan diri sepenuh hati,
maka Tuhan Yang Maha Esa hadir di hadapan kita.

Dari uraian tersebut di atas, kita menjumpai
dua jenis atau bentuk bhakti, yaitu para bhakti dan apara bhakti. Para bhakti
mempunyai makna yang sama dengan prapatti, yakni penyerahan diri secara total
kepada-Nya sedang apara bhakti adalah bhakti dengan berbagai permohonan dan
permohonan yang dipandang wajar adalah mohon keselamatan atau mohon
berkembang-mekarnya budhi nurani.

Dan...
Bocah kecil ini telah mengajarkan padaku, memperlihatkan padaku, membuka mata hatiku, bhakti mereka pada Beliau, sungguh murni, terwujud dalam kasih gaya kanak-kanak mereka, dalam gaya kesahajaan mereka, dalam tingkah polah mereka, berlari kian kemari, namun, tetap mengarah pada Hyang Widhi. Tidak goyah karena hujan deras yang semakin mendera mereka, sekalipun dengan gaya senang berhujan yang mereka miliki.

Ah, seandainya, semakin banyak orang yang mau belajar dari mereka ini. Mereka hanyalah bocah, namun mereka mengajarkan banyak hal yang sering terlupakan... Yakin deh, gak bakal banyak konflik dan perpecahan di muka bumi ini, karena yg bakal tercipta hanya jiwa-jiwa polos dan akal budi berdasar hati nurani suci sebagai bentuk yadnya, pada Hyang Widhi, pada sesama, dan pada lingkungannya.

Muridku Ujian Teori Mulai Hari Ini

Rabu, 16 Desember 2009

Hujan deras sejak malam hari, disertai petir menyambar...
Putra sulungku yang kini kelas 3 SMP berangkat ke sekolahnya dengan mengenakan jas hujan. Hmm, musim hujan telah dimulai bulan Agustus, namun, cuaca sering kali tak menentu. Panas hawa mendera kami berkepanjangan. Tapi tatkala tiba hujan yang menjanjikan udara lebih sejuk segar, aku tetap waswas...

Suami tercinta telah selesaikan urusan pagi harinya, merapikan tanaman dan buku yang tuntas dibaca saat malam hari, sebelum beranjak ke kampusnya. Kuantar putra bungsu ke SD nya dengan kenakan jas hujan, lalu menyusuri jalan menuju Nusa Dua. STPNDB, I'm coming... Gayatri mantram kulantunkan sepanjang jalan, sesekali menyeka wajah karena terpaan air hujan yang masuk dari sela helm motor, dan... mobil-mobil yang ngebut ditengah hujan telah dengan suksesnya berikan cipratan air yang basahi celana panjang yang kukenakan.

Pukul delapan pagi tiba di kampus, masih cukup waktu berganti pakaian, mengambil soal ujian di Gedung Rektorat, dan, berjalan menuju Gedung Padma. Hmm... aku harus melewati dua block Gedung Ratna, melewati Gedung Perpustakaan, dua block lagi Gedung Lontar, dan, akhirnya tiba di block Gedung Padma. Hujan yang masih turun telah sukses membasahi bajuku dan amplop besar yang berisi puluhan soal dan lembar jawaban. Kusadari, ternyata aku tidak punya payung...

Naik ke lantai dua di Gedung Padma block A. Kali pertama ini, aku bertugas menjaga Program Diploma IV, Program Studi Administrasi Perhotelan, Kelas C semester 3, di ruang PA 203. Masuk ke kelas dan mulai membagikan lembar soal, kulihat Agus, mahasiswaku, bajunya penuh lumpur, juga celananya. Sepatunya robek, tasnya basah dan berisi noda lumpur. "Saya jatuh, bu. Jalanan licin". Demikian ujarnya. Ada tanda goresan di sikunya. Dan... ah, telapak tangan kirinya berdarah. Kubayangkan, jika anak-anakku terluka, hmmm.. tidak tega rasanya.. Kucoba hubungi ruang Ekstensi untuk bertanya, jika mereka miliki obat bagi luka Agus. Sayangnya jawaban yg kuterima tidak sesuai harapku.

Setelah berpikir sejenak, aku beranjak ke ruang sebelah, menemui dosen pengawas. Kulihat Bu Lasmini disana. Kutitip padanya untuk se sekali mengawasi kelasku pula, lalu bergegas ke kantin. Ah, jarak yang berjauhan ini, cukup merepotkanku. Berlari menuruni anak tangga, berjalan menyusuri jalur setapak, menuju kantin. Tiba di kantin, kuambil satu minyak sumbawa dan satu payung baru, dengan janji akan kubayar siang hari selesai mengawasi ujian pada penunggunya, aku bergegas kembali ke kelas. Agus, muridku, mengatakan, mungkin dia akan mengobati lukanya setelah ujian berakhir, agar tangannya tidak terkena minyak karena akan mengakibatkan lembar jawabannya terkena minyak pula. Hmm, akan terlalu terlambat. Lukanya bakal menjadi biru lebam, dan pembuluh darah kadung beku. Kutarik lengannya, kugosok dg obt minyak sumbawa. Beres, selesai sudah. Lalu aku mulai berkeliling, melanjutkan tugasku mengawasi kelas.

Pintu kelas terbuka, dan masuklah Pak Jata. Dosen sahabatku ini bertugas sebagai pejabat di bidang akademik. Ada beberapa murid kami yang pagi itu alami kecelakaan juga. Kuberikan minyak sumbawa yang baru kubeli tanpa sempat kubayar pada Pak Jata, lalu dia beranjak menuju Gedung Padma block B, memberikan obat tersebut bagi seorang mahasiswi Program Studi Business Hospitality semester satu yang alami kecelakaan karena jalan licin akibat hujan.

Ah...
Rabu tanggal 16 Desember 2009 adalah hari pertama ujian teori dilaksanakan. Minggu lalu mereka telah selesai dengan ujian praktek. Baik Praktek memasak di dapur, menghidangkan makanan di restoran, di Manajemen Divisi Kamar dengan making up room, florist, moping the floor, spa, handling reservation, dan, bermacam ujian praktek lain. Semoga mereka sukses lalui ujian ini hingga selesai, tanggal 23 Desember nanti. Karena, jika mereka gagal, alamat tertunda pula keberhasilan yang harus mereka raih dalam menamatkan pendidikan mereka segera.

Dalam Gelap Malam Bertabur Bintang 14 Desember 2009

Senin, 14 Desember 2009

Pukul 16.30 tiba dari Besakih, sehabis lakukan Pengabdian Masyarakat bersama rombongan dosen MAP STPNDB, aku tiba di rumah. Bermain sejenak bersama anak-anakku, lalu HP nokia bekasku berbunyi. Sebuah pesan singkat masuk. "Bu, kami ingin nangkil ke Pura Tanah Kilap ntar malam. Ibu bisa kan ikutan sembahyang? gak ada ibu gak seru. Ada yg ingin kami perbincangkan" Demikian bunyi pesan yang dikirimkan oleh Desak.

Hmmm. Jika topik bahasan mengenai spiritual dan sembahyang, selalu ada getar yang seolah tiada henti menyapa mesra hati ini. Apalagi jika ada permintaan dari mereka yg sedang alami galau hati, gak tega rasanya menolak atau mengecewakan hati mereka. Segera kukirim pesan bagi Nyoman, sahabat lain yang juga senang temui dunia spiritual seperti ini, mengajaknya ikut sembahyang dan membantu memberi solusi bagi para remaja yg sedang galau hati. Lalu kami berjanji berjumpa pukul tujuh malam di Pura Tanah Kilap.

Menyusuri jalan sunset road menuju Pura ini, kusadari area ini mendapat giliran listrik mati. Hmm, suatu cobaan dan tantangan lain, bersembahyang dalam keadaan gelap gulita. Namun, misi tidak boleh berlalu, the show must go on. Dan, pukul tujuh tepat tiba di depan Pura. Setelah setengah jam kulewatkan bersama Jero Mangku Sadia, baru Nyoman tiba. Lolak, demikian panggilannya. Kali ini dia tiba tanpa anak dan istri yang sering menemaninya dalam perjalanan bersembahyang bersama. Sedangkan, Desak Widya dan Kadek Adi Suryanegara masih tuntaskan persembahyangan mereka di Pura Narmada, sebelum akhirnya bergabung dengan kami 30 menit kemudian.

Bersembahyang bersama di Pura Anyar Tanah Kilap, tempat berstana Ida Ratu Niyang Shakti, Bethari Lingsir, dalam temaram sinar bintang di angkasa, dilanjutkan dengan diskusi berkepanjangan tentang aspek kehidupan, memberikan nuansa spiritual yang kental. Tidak ada perasaan takut bersembahyang bersama dan duduk dalam gelap. Hanya ada pasrah dan kedekatan dengan Sang Hyang Widhi, mencoba memahami, bahwa diri ini bukanlah apa-apa, bukan siapa-siapa. Setiap orang miliki karma masing-masing, tidak cuma diriku dan keluargaku, bukan cuma Nyoman, tak hanya Desak dan Kadek, bahkan, setiap orang di muka persada ini. Kita hadapi perjuangan kita masing-masing, miliki problema dan tantangan kehidupan di alam dunia ini.

Dalam diam doaku, dalam gelap malam yang temani sembahyangku, dalam kesunyian yang melingkupi kami saat itu, dalam kepasrahan yang kami tunjukkan, dalam diskusi berkepanjangan, bahkan ternyata, kita hanya setitik debu, yang coba tentukan arah langkah dan jejak kaki....

Minggu, 06 Desember 2009

Akhirnya, jejak langkahku tiba disini....

Sabtu, 5 Desember 2009
Saniscara Kajeng Paing Merangkih...

Setelah browse data tentang Om Maslow yang kubutuhkan bagi penelitianku tentang Kelompok Usaha Jukung di Kawasan Pariwisata Nusa Dua selesai pukul 1 dini hari, kucoba terlelap dalam pelukan malam. Terbaringku tanpa bantal yang coba kulakoni akhir-akhir ini. Dan... derai hujan yang semakin deras bangunkan diri dari lelap. Hmmm, harus berlari menurunkan tirai bambu di teras agar tetes bulir hujan tidak mencapai perabot kursi, dan anjing kesayangan bisa tenang terlelap tanpa terkena basah hujan. lalu kucoba lanjutkan bercengkerama dengan malam. Kubutuhkan tidur ini, karena pukul 7 pagi sudah harus di By Pass IB Mantra berkumpul bersama para sahabat. Namun ternyata bahkan malam enggan bercinta denganku. Baru jelang pukul 4 pagi bisa terlelap, untuk kembali terjaga pukul 5. Hmm, harus kusyukuri, ini pun, mungkin adalah bentuk lain dari anugerah Tuhan yang diberikan Nya bagi ku...

Segera bangun dan memulai persiapan pagi hari demi keluarga tercinta, mengecek dan memastikan sekali lagi, persiapan keberangkatan anak-anak ke sekolah, keperluan suami di pagi hari, lalu kumulai dengan persiapan bagi diri sendiri.

Kuletakkan satu pejati terbungkus sokasi / besek di bagian belakang motor astrea grand 800 yang telah setia menemani di hampir sebagian besar perjalanan ku, lalu satu pejati lagi di bagian depan motorku, juga canang 25 buah. Kugantung ransel berisi kebaya, dompet, buku untuk mencatat hal-hal penting di jalan, dan beberapa makanan ringan yang mungkin berguna selama di jalan. Kukenakan pakaian kebesaran, celana panjang, jaket dan slayer di leher, tak lupa, sarung tangan, kaca mata hitam seharga 15.000 perak dan kaus kaki, serta sandal kulit satu-satunya seharga 250 ribu yang telah setia menemani selama tiga tahun ini. Hmm, bahkan, suamiku kalah heboh dg dandananku.

"Ibu, apakah kami harus mengenakan kain dan kebaya dari rumah menuju pura?" Tanya murid wanita yang ingin bergabung dengan perjalananku kali ini. Hmm, tentu kusarankan mereka mengenakan celana panjang saja. Perjalanan jauh akan lebih aman ditempuh jika mengenakan pakaian yang pantas dan bisa melindungi diri dari angin dan debu.

Rasa khawatir sempat mendera bahwa hujan deras tadi malam bakal berlanjut, namun, kuasa Hyang Widhi memperlihatkan indahnya sebuah pengharapan. Pagi mersinar cerah, mentari mengintip manja saat ku selesaikan persiapan pagi hari... Pukul 7 lewat 10 menit. Tiba ku di depan gerbang jalan By pass IB Mantra. Sudah ada tiga muridku di sana. Suzane, yang anak bu Endang, rekan dosen STPNDB yang sudah pensiun, Dian Lesmana, dan Sri Yulianti yang pernah kutangani kasus kejiwaannya secara pribadi. Mereka adalah ketiga mahasiswi cantik yang sedang menyusun skripsi di STPNDB, semester 8. Saat kulontarkan rencana untuk mengadakan perjalanan spiritual, mereka tertarik untuk bergabung. Hingga akhirnya, kami putuskan, Pura Sad Kahyangan Andakasa adalah tujuan perjalanan kami hari ini, Sabtu, 5 Desember 2009. Hmm, siapa bilang, wanita adalah mahluk lemah dan cengeng belaka? Siapa bilang, mahasiswi STPNDB hanya bisa dugem dan tidak bisa tunjukkan prestasi? Kali ini kami buktikan, bahwa, narsis sekalipun, sembahyang tidak bakal kami tinggalkan, menyusun skripsi, sedang bekerja pun, sudah berkeluarga sekalipun, tidak berarti, lantas tidak bisa luangkan waktu untuk menikmati pemandangan dan bertirta yatra, bahkan, walau kami hanya mampu gunakan motor untuk berjalan melaju, susuri jalan ini, merengkuh jejak kaki ke haribaan Tuhan Yang Maha Kuasa....

30 menit kemudian, pak Nyoman tiba bersama keluarganya. Mereka turun dari mobil swift ungu metalik, saling menyapa, dan mereka menyayangi bahwa kami tidak bisa bergabung dengan mereka di dalam mobilnya. Dengan tulus, kukatakan, bahwa, tidak bermasalah dengan kendaraan yang berbeda. Sejauh niat kita sama, mencapai Beliau, tidak peduli apakah kita berangkat sendiri atau bersama, apa yang mampu kita persembahkan atau kita bawa, Beliau akan dengan sukacita menerima kehadiran kita. Berkali ku yakinkan pada mereka, bahwa para wanita yang berkendara motor ini adalah para pejuang spiritual yang sudah terbiasa menempuh jarak jauh dalam mengembangkan jati diri. Akhirnya, hanya banten yang ada di motor kami masing-masing, yang kami pindahkan ke mobil pak Nyoman.

Setelah memastikan bahwa beberapa sahabat lain tidak bisa ikut bergabung dalam perjalanan kali ini, Kadek Adi bersama pacarnya, Ngurah Jayen dan tunangannya, serta Komang Suartana, jelang pukul 8 pagi kami mulai bergerak menuju Karangasem. Melaju di se panjang jalan IB Mantra, bersaing dengan berbagai jenis kendaraan yang semakin bertambah jumlahnya di Propinsi Bali, tujuan pertama kami adalah Pura Andakasa. Setelah tiba di Desa Pikat, sebelum Warung Pesinggahan yang terkenal, kami berbelok ke kiri, menyusuri jalan aspal pedesaan, sepanjang 10 km, lalu tiba di pelataran parkir Pura, Banjar Pakel, Desa Gegelang, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem. Motor kami parkir berjejer, bergegas mengganti pakaian dengan yang lebih pantas untuk menghadap ke rumah Tuhan, dan mulai mengeluarkan banten yang kami titipkan di mobil pak Nyoman.

Menyusuri jalan setapak berundak yang ditata menuju Pura, kami menikmati indah suasana alam yang asri, setelah berjalan selama 5 menit, kami tiba di Pura Pasar Agung. Sembahyang dipimpin oleh Pak Nyoman pada pura yang merupakan pura pesimpangan Ida Bethare Dalem Ped ini.

Selesai bersembahyang, kembali kami beranjak menuju Pura Andakasa. hampir 400 anakan tangga yang kami telusuri menuju rumah Tuhan. Sebuah perjuangan dalam upaya semakin mendekatkan diri dengan Beliau. Semoga kami menjadi manusia manusia yang semakin bijak dalam melangkah. Kami sadari, bukan rombongan kami saja yang hadir disini. Walau bukan odalan dan hari keagamaan, namun senantiasa ada umat yang berupaya mempertebal keimanan dengan mengadakan tirta yatra pula. seperti rombongan dari Bank Sinar Mukti dan rombongan dari panitia yang akan menyelenggarakan upacara pekelem di danau Batur yang hadir berbarengan dengan kami disini.

Waktu mulai beranjak jelang tengah hari, setelah puas menghadap Tuhan dalam manifestasi Beliau sebagai Bethare Brahma di Pura Andakasa, kami putuskan beranjak menuju Pura Silayukti yang terletak di Padang Bai.

Menurut iloveblue.com, Pura Silayukti merupakan salah satu Pura Dang Kahyangan di Bali. Pura ini terletak di sebuah bukit bagian timur Desa Padangbai, dipercaya sebagai parahyangan Ida Batara Mpu Kuturan, seorang tokoh yang sangat berjasa dalam menata kehidupan sosial religius masyarakat Bali sekitar abad ke-11 Masehi. Pujawali di pura Silayukti jatuh tiap Buda Kliwon Pahang (enam bulan sekali). Pada bagian timur, di tebing pantai yang curam ada Pura Payogan. Diduga di tempat ini Mpu Kuturan melakukan yoga semadi pada masanya.

Setelah tuntas bersembahyang di Pura Payogan dan Pura Andakasa, kami sempatkan menikmati pemandangan indah perairan Padang Bai dari bale bengong di bibir pantai, sambil menikmati lungsuran banten, lalu beranjak pulang kembali. Terima kasih Tuhan, kau beri kami satu hari lain lagi, untuk menikmati indah hari meniti ke dalaman kasih Mu yang tiada henti pada kami. Entah kapan bisa kuulangi kembali, perjalanan menuju salah satu rumah Mu kembali...
Terima kasih bagi pak Nyoman sekeluarga, kami diberi kesempatan menikmati makan siang di Warung Be Pasih Pesinggahan, lengkap dengan es klamut yang sejuk segar basahi tenggorokan kering ini. Terima kasih bagi para muridku, atas hadir kalian dan keceriaan yang telah kalian cipta sepanjang perjalanan. Jangan kapok buat rencana perjalanan lain lagi... Terima kasih untuk keluarga ku dan para sahabat lain, semoga masih banyak waktu tercipta bagi perjalanan spiritual lain lagi. Kucintai dunia ini, kucintai berkah Tuhan bagi setiap nafas yang kuhembuskan... sekarang, aku siap atas keberangkatanku kapanpun, hmmm, aku siap Tuhan...

Merujuk pada BabadBali.com, Pura Andakasa diperkirakan didirikan oleh Mpu Kuturan sekitar abad XI. Di samping itu Pura Luhur Andakasa juga memiliki kaitan dengan pemuka agama Hindu Sang Kulputih, yang pernah bertapa di tempat ini sebelum menuju Lempuyang dan Besakih. Dan berdasarkan observasi pada area-area di pura ini dapat diduga pura ini mengalami perkembangan dan perbaikan sekitar abad 17 - 18 Masehi. Sebuah prasasti terdapat di Pura Panyimpenan Pura Luhur Andakasa, namun tidak tertulis pada prasasti itu keberadaan pura ini. Seperti dikemukakan dalam berbagai lontar, Pura Luhur Andakasa berstatus sebagai salah satu Kahyangan Jagat, juga Sad Kahyangan yang berarti menjadi sungsungan seluruh umat Hindu di Bali khususnya, umumnya di Indonesia. Sebagai Kahyangan Jagat, Pura Luhur Andakasa merupakan stana dari Hyang Tugu atau Dewa Brahma yang menguasai kawasan selatan dalam struktur Dewata Nawasanga, manifestasi Hyang Widhi yang menghuni 9 arah mata angin. Dengan demikian, Pura Andakasa adalah pura kahyangan jagat yang didirikan atas konsepsi Catur Loka Pala dan Sad Winayaka. Pura yang didirikan berdasarkan konsepsi Catur Loka Pala adalah empat pura sebagai media pemujaan empat manifestasi Tuhan untuk memotivasi umat mendapatkan rasa aman atau perlindungan atas kemahakuasaan Tuhan. Keempat pura itu dinyatakan dalam kutipan Lontar Usana Bali di atas. Mendapatkan rasa aman (raksanam) dan mendapatkan kehidupan yang sejahtera (danam) sebagai kebutuhan dasar masyarakat yang wajib diupayakan oleh para pemimpin atau kesatria. (Manawa Dharmasastra I.89) Di arah selatan didirikan Pura Andakasa sebagai tempat pemujaan Batara Hyanging Tugu. Hal ini juga dinyatakan dalam Lontar Babad Kayu Selem. Sedangkan dalam Lontar Padma Bhuwana menyatakan: ''Brahma pwa sira pernahing daksina, pratistheng kahyangan Gunung Andakasa.'' Artinya Dewa Brahma menguasai arah selatan (daksina) yang dipuja di Pura Kahyangan Gunung Andakasa.Yang dimaksud Hyanging Tugu dalam Lontar Usana Bali dan Babad Kayu Selem itu adalah Dewa Brahma sebagai manifestasi Tuhan dalam fungsinya sebagai pencipta.

Pura Andakasa juga salah satu pura yang didirikan atas dasar konsepsi Sad Winayaka untuk memuja enam manifestasi Tuhan di Pura Sad Kahyangan. Memuja Tuhan di Pura Sad Kahyangan untuk memohon bimbingan Tuhan dalam melestarikan sad kertih membangun Bali agar tetap ajeg -- umatnya sejahtera sekala-niskala. Membina tegaknya Sad Kertih itu menyangkut aspek spiritual yaitu atma Kertih. Yang menyangkut pelestarian alam ada tiga yaitu samudra kertih, wana kertih dan danu kertih yaitu pelestarian laut, hutan dan sumber-sumber mata air. Sedangkan untuk manusianya meliputi jagat kertih membangun sistem sosial yang tangguh dan jana kertih menyangkut pembangunan manusia individu yang utuh lahir batin.

Jadinya pemujaan Tuhan Yang Mahaesa dengan media pemujaan dalam wujud Pura Catur Loka Pala dan Sad Winayaka untuk membangun sistem religi yang aplikatif. Sistem religi berupaya agar pemujaan pada Tuhan Yang Maha Esa itu dapat berdaya guna untuk memberikan landasan moral dan mental. Pura Andakasa dalam kesehariannya didukung oleh dua desa pakraman yaitu Desa Pakraman Antiga dan Gegelang.

Pemujaan Batara Brahma di Pura Andakasa ini dibangun di jejeran pelinggih di bagian timur dalam bentuk Padmasana. Di bagian jeroan atau pada areal bagian dalam Pura Andakasa di jejer timur ada empat padma. Yang paling utara adalah disebut Sanggar Agung di sebelah selatannya ada pelinggih Meru Tumpang Telu. Di selatan meru tersebut ada padmasana sebagai pelinggih untuk memuja Dewa Brahma atau Hyanging Tugu. Di sebelah selatan pelinggih Batara Brahma ada juga dua padmasana untuk pelinggih Sapta Petala dan Anglurah Agung.

Upacara pujawali atau juga disebut piodalan di Pura Andakasa diselenggarakan dengan menggunakan sistem tahun wuku. Hari yang ditetapkan sejak zaman dahulu sebagai hari pujawali di Pura Andakasa adalah setiap hari Anggara Kliwon Wuku Medangsia. Di samping ada pujawali setiap 210 hari, juga diselenggarakan upacara pecaruan setiap Anggara Kliwon pada wuku Perangbakat, wuku Dukut dan wuku Kulantir.