Rabu, 30 Juni 2010

Septer Suarti Laila


Penerimaan Mahasiswa Baru di Lembaga dimana aku bekerja mengabdi diri menjadi pelayan.... Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali. Ratusan wajah brondong dan bronis hiasi kampus ini pada hari Kamis, 1 Juli 2010, jadwal wawancara. Setelah tiba di Gedung Dosen Ruang Administrasi Perhotelan, aku bergeser menuju Gedung Rektorat lantai dua, mengambil berkas. Berpindah lagi ke Gedung lain. Tiba di Gedung Rebab, bagian A, lantai dua, sejak pukul 08.30. Akhirnya tiba Gungku dan Ayu Trav. Masuklah seorang gadis cantik.

Namanya Septer Suarti Laila. Gempa baru saja menghancurkan kampung halamannya. "Rumah kami hancur, orangtuaku cuma petani, kami punya sepetak lahan sawah" Demikian kisahnya. Tiada wajah sedih lagi tergurat dalam wajahnya, namun wajah itu.... hmm, sangat cerah menatap wajah kami, tiada ragu sedikitpun berceritera tentang segala harapannya di masa depan, walau ini kali pertama berpisah jauh dari keluarga. Ah.... Septer, jauh kaleeee kau berlari dari Gunung Soli, Nias, yang jatuh karena gempa. Hmmm. Baiklah... Gempa boleh hancurkan rumahmu, porak-poranda kan kampung halamanmu, namun takkan cukup kuat hancurkan mimpimu, anganmu, harapanmu tentang masa depan. Kita buktikan bersama, tak satu jua bisa bunuh pikiranmu, ...

"Beri aku sepuluh pemuda, maka akan kuubah dunia!" Demikian Bung Karno pernah berkata. Andai.... jauh lebih banyak pemuda generasi penerus yang penuh harap seperti dia, bukannya hanya dengan bermanja, dan selalu sibuk berkeluh kesah memohon belas kasihan, asyik ber hura-hura, bikin huru hara dan berbuat aneh yang merusak diri sendiri juga orang lain. Paling jengkel aku, jika ada orang yang gampang berputus asa, merajuk dan ngambul berhari, dendam dan menghancurkan diri sendiri bahkan orang lain dengan bermabuk. Hweleh.... padahal, aku sendiri kadang juga bisa alami down. Hwalah... Hmm, sisi manusiawi dah...

Selasa, 29 Juni 2010

Hamemayu Hayuning Bhawana


Hamemayu Hayuning Bhawana, Pak Donny Harimurti jelaskan, adalah permintaan Tuhan agar kita menghias bumi dimana kita berpijak dan langit dimana kita menjunjungnya. Untuk itu Beliau menyediakan segalanya yang sudah ada dari lingkungan X, Y dan Z tersebut".

Hmmm, sungguh sebuah makna filosofis yang sungguh dalam. Perlu pemahaman agar tidak rancu dan timbulkan kegalauan hati karena apa yang dicari dianggap tak pernah tercapai, padahal, sesungguhnya ada begitu dekat dan begitu akrab dengan diri kita sendiri. Padahal, susah dan senang, baik dan buruk, sakit dan sehat, kaya dan miskin, bukankah, ini juga adalah aspek-aspek yang warnai kehidupan kita? Jika punya suami cerewet, jadi orang miskin, pekerjaan numpuk dan harus lembur, anak yang sakit-sakitan, tubuh yang ringkih, atasan yang menekan bawahan tanpa penghargaan, ini juga adalah warna kehidupan.

Manusia terkadang hanya ingin yg enaknya, tidak mau bersusah payah, menghindari yang sakit dan jelek, menolak diri jadi tua dan ringkih, menghindari tanggungjawab, lari dari kenyataan, tidak mau hidup bersosialisasi, terlalu pemimpi dan idealisme tinggi.

Bagaimana kita mengaplikasikan apa yang telah kita pelajari dan kita dapatkan sepanjang garis kehidupan kita mengenai ajaran Tuhan, dengan berpijak pada bumi dan menjunjung langit dimana kita berada. Adaptasi dan asimilasi. Indahnya jika selalu bisa demikian....

Senin, 28 Juni 2010

Lembur, ngebut, dan.... menggila demi Tantowi Yahya di Bandara

Asyiknya kerja dengan adrenalin memuncak. Ketegangan demi ketegangan hadir menguras intensitas perhatian. Dari berkeliling ruang Rektorat, ke percetakan, antar ruang dosen, saling konfirmasi dan mengintip progres kerja rekan lain menjadi rutinitas sejak pagi. Bahkan, saat seluruh rangkaian kerja berakhir pukul 17.00, adrenalin masih harus berpacu dengan waktu. Ketiga Charlie Angels : STI, IRN, SUK, masih harus meluncur ke bandara. Target, bisa temui Kepala Suku untuk dapatkan tandatangannya agar bu IRN dapat berangkat dengan damai se keluarga ke Jakarta melihat ompungnya yang telah meninggal.

Pukul 17.30 tiba di bandara Ngurah Rai, kami duduk berjejer pada sebuah bangku. Bu IRN yg pertama berseru, "Ada Tantowi Yahya, batik hijau, baru keluar dari mobil". Ah, tampan sekali dia.... berjalan mengiringi ibunda yang terlihat jelas gurat wajah cantik beliau. Aku jarang mengikuti berita mengenai aktivitasnya, namun wajah fotogenik dan ramah dari mas Tantowi sungguh menyenangkan untuk dilihat berlama. Entah siapa yang memulai, kami berjalan cepat, menghampiri mas Tantowi. Jejaknya yang terpisah jauh dengan kami, tidak menyurutkan niat hati ini untuk sekedar menyapa. Dan... akhirnya, aku sempat berpose mendampingi mas Tantowi yg tampan bagai Richard Gere bagiku, diabadikan dengan kamera saku sohibku. Ah.. narsis pula kami semua ini disini, berlarian nguber artis. Bahkan, sempat berfoto dengan bapak polisi tampan berkumis. Ahahay. Hmm, andai, ada murid yg pergoki tadi, gimana, ya? hehehe...

Berjumpa bapak Kepala Suku, istilah ku pribadi, bagi bapak ketua, dan memohon pengesahan bagi Serdos yg sedang kami susun, kami berpamitan dan mengucap salam perpisahan. Hmm, aku bersama ibu SUK masih harus beli beberapa perlengkapan, termasuk hadiah bagi anak masing-masing, yaitu buku gambar dan mewarnai, dilanjutkan kemudian membuat pasfoto. Smoga, bisa kudapatkan fotoku bersama mas Tantowi Yahya yang masih tersimpan di kamera ibu IRN... bisa kutunjukkan pada anak-anakku, emaknya berhasil foto bareng, hihi... Waktu menunjukkan sudah pk.19. Saatnya pulang dan bermain bersama keluarga.

Sungguh, satu hari lain lagi, dimana hari-hari dipenuhi dengan se abreg aktivitas, namun tetap menjaga persahabatan dan keberadaan diri sendiri. Ehm, self actualization need juga deh....

Minggu, 27 Juni 2010

Astungkara, Tuhan.....

Astungkara, Tuhan..... Rumahku kebanjiran namun ujan dah berhenti
(bayangkan mereka yg belum punya rumah, punya anak bayi dan rumah kebanjiran, palagi bu ENS yg rumahnya langganan banjir lebih heboh lageee)

Astungkara, Tuhan, anak-anak aman dalam dampingan suamiku berlibur di kampung
(bayangkan jika mereka bermain air dan berhujan di sini..)

Astungkara, Tuhan, aku dah sempat jumpa banyak kawan lama beserta keluarganya dalam Temu Alumni Fak. Psikologi Gadjah Mada angk. '87 kemarin. Wlo mrk cemas aku pulang sendiri pk. 2 pagi. Hmm, blon tau siapa bu STI... preman (perempuan mandiri), eh hehe.

Astungkara, Tuhan, aku ga ikut rafting hari ini
(bayangkan jika abis rafting, gue masih harus rafting di tengah rumah, krn banjir, capcay dah....)

Astungkara, Tuhan, koleksi buku kami ga ada yg rusak
(aku harus berterima kasih pada suami atas segala ide brilliant nya)

Astungkara, Tuhan, wlo iparku ga bisa nulungin, tapi dia dah nelponin para ipar lain di kampung bahwa iparnya yg satu ini sedang bekerja keras membersihkan rumah, bukannya tidur dan merawat diri belaka...)

Astungkara, Tuhan, wlo simbok sakit demam dia ga rewel, mau minum obat dan makan banyak
(bayangkan, jika aku masih harus ngempu dia lagi)

Astungkara, Tuhan, aku masih punya banyak persediaan makan di rumah, sehingga masih sempat sarapan mie telur rebus dua diisi sayur ijo.
(bayangkan Krisna, lembur overtime, high season, belum tidur setelah double shift, belum sarapan, ga sempat mikirin malming, pacaran, ngerumpi, jjs, tepe-tepe, pedekate, ade-ade aje, bete abis, dia...)

Astungkara, Tuhan, akhirnya kerja ku beres disini, dan akan kupenuhi janjiku pada anak asuhku yang lain. Hmm, maklum, aku kan nini yg heboh, dengan anak dimana-mana, dan orang yg manggil nini dimana-mana. Eh hehe, nini yg baik, ramah, pintar, cantik, rajin menolong sesama, suka menyanyi, menari dan baca puisi, juga gemar menabung (hwalah.... narsis teteup harus terjaga, bukan?)

Jumat, 25 Juni 2010

Benar dan Salah Menurutku, Belum Tentu menurutmu...


Yuke Kristian-Luc Picard katakan, "As long as there exist consciousness, there will exist attachment". Martin Kurniawan Purwanto menimpali, "some people said for us to try to climb up till only the consciousness itself persist..., even the principle of letting go of every attachments could become a new, subtler form of attachment altogether...:)

Seperti yg Budha katakan... "Melekat kepada satu pandangan saja dan memandang rendah pandangan orang lain adalah tidak baik dan orang bijaksana menamakan ini satu belenggu."

Hmmm, makna yg sungguh dalam....
Seringkali kita begitu gampang dan mudahnya menghakimi orang lain, dan beranggapan dirinya benar, paling baik, paling sempurna. Padahal, kesadaran itu sendiri tetap butuh faktor ikutan lainnya, tetap berpijak dibumi, perhatikan etika, estetika, lingkungan, ipoleksosbudhankamrata.

Tiap orang miliki eksistensinya sendiri, keunikan dan keistimewaan masing-masing. Namun, klo ga siap bertetangga, lupa kewajiban pada keluarga dan pekerjaan, menolak hidup bermasyarakat, hanya utamakan ego sendiri, whoaaa, kelaut ajee deh...

Kamis, 24 Juni 2010

Sahabat Sejati Adalah....

DEAR FRIEND,
THIS HUG CERTIFICATE IS FOR YOU !
WITH KISSES

This poem is very sweet.
It will be interesting to see who sends it back.
Forward this on and back.

If I could catch a rainbow
I would do it just for you
and share with you its beauty
on the days you're feeling blue.

If I could build a mountain
you could call your very own;
a place to find serenity,
A place to be alone.

If I could take your troubles
I would toss them in the sea,
But all these things I'm finding
are impossible for me.

I can't build a mountain
or catch a rainbow fair,
but let me be what I know best,
a friend who's always there.

This is a Hug Certificate!

Send one to all your friends who you think deserve a hug
~which, hopefully includes the person who sent it to you~.

Intinya ssiiiihhh....
Gue kaga bakal bunuh diri buat org lain,
Kaga bakal dah, gue mati-matian demi org lain,
Kita hidup di bumi, bukan di alam mimpi....
Namun, bakal jadi sahabat yg baik, terbaik,
yang selalu luangkan waktu buat para sahabat....

Let It Be....

...someone told me a long time ago,
that "if I face my past, I back my future" ...
gotto keep checking to see if I’m facing the right way...
(Asana VL)

Hmmm...
Jangan benci dirimu, jangan sesali masa lalumu.
Tegakkan kepala dan hadapi masa depan

Minggu, 20 Juni 2010

Lagi, Pulkam ke Sepang dan Kerambitan, 19 Juni 2010

Sabtu, 19 Juni 2010. Setelah selesaikan beberapa pertemuan dan urusan dengan beberapa sahabat, kuputuskan akan pulang kampong. Berangkat pukul 15.15 bersama simbok dan putra bungsuku, meluncur melalui jalan raya Kapal, Tabanan, melewati Bajra, menuju ke arah Negara, berbelok di jalan menuju ke hutan Bading Kayu, di Kawasan Yeh Leh Yeh Lebah. Tembus di Dapdap Putih, kembali berbelok ke arah Sepang Kelod, dan akhirnya tiba di Asah Badung. Aroma kebun kopi, cokelat dan cengkeh menyeruak udara yang mulai mendingin. Waktu menunjukkan pukul 17.15. Hmm, dua jam tembus dari Denpasar hingga ke kampung halaman. Kuantar simbok, Ayu, ke rumah orangtuanya, di Gunung Sari. Dia masih terbilang cucu jauh dari suamiku. Dialah yang menjadi pengempu kedua anakku selama ini. Sebelum berpisah, kami berjanji keesokan hari bakal kembali bertiga ke Denpasar pada pukul tiga sore hari.

Akhirnya, aku dan anakku tiba di rumah tua, Pangkung Singsing, sisin tukad yang airnya mengalir bening. Keponakanku menyambut dengan senyum ramahnya, menghidangkan kopi panas. Ia tinggal sendiri disini. Lalu aku bersembahyang ke Sanggah, menghaturkan gagapan kue yang kubawa di pelinggih Surya,Dewa Hyang,Bethare Hyang Guru,Penunggun Karang, dan Anglurah. Kemudian kami bergerak Ngauhang, ke arah Barat, menuju ke rumah ipar, Beli Made Miasa beserta istrinya. Sekitar tiga puluh menit berjalan kaki naik dan turun bukit. Kuputuskan kami akan bermalam di sini. Mereka hanya tinggal berdua, karena anak semata wayang telah menikah dan tinggal di Jepang. Malam kian larut, kami masih berdiskusi, menikmati pemandangan indah langit malam bertabur bintang tiada kabut. Anakku sungguh menikmati udara malam dingin di kampung, tidak seperti di kota, sama sekali tidak rewel walau tanpa teve dan hanya berteman kidung santi yang disenandungkan lewat radio. Ah, andai bisa lebih sering tinggal disini, udara segar menanti.

Pagi menjelang, mentari merambah bumi, embun luruh dari dedaunan tanaman yang ada di sekeliling rumah ipar. Udara dingin pagi hari membuatku menikmati waktu dengan bungut api. Beli Made berangkat ngayah, memperbaiki rurung aspal yang terkoyak digerus hujan dan terik panas matahari bersama Sekehe Santi. Mbok Tut menanak nasi dari tungku batubara. Kupersiapkan dungki dan kukalungkan ke leher anakku. Kami beringsut ke abian. Kopi menanti untuk dipanen. Satu demi satu dahan kutarik, berusaha merenggut buah kopi agar terlepas dari dahan, menjatuhkannya ke dungki yang dibawa anakku. Anakku tak mau kalah, dia mendekati jejeran pohon kopi top dengan dahan rendah, menghentak dahan dan menarik buah kopi berwarna kemerahan, menjatuhkan buah kopi yang berhasil didapatnya kedalam dungki.

Mentari semakin terik, kami bergerak kembali ke arah rumah iparku. Menjatuhkan buah kopi yang berhasil kami peroleh sepanjang pagi ke halaman dimana timbunan kopi berserakan. “Sudah tiga hari ini hujan lebat turun tiada henti, kopi tidak bisa kering” komentar Mbok Tut. Kuambil tulut, semacam garpu dari kayu, anakku menarik kopi dari timbunan, mulai membebernya sepanjang halaman agar matahari yang bersinar bisa membantu mengeringkan biji kopi yang basah. Kami terus membalik balik buah kopi yang basah, meratakannya sepanjang halaman hingga penuh terisi. Keringat membasahi wajah dan baju yang kami kenakan, namun hatiku sungguh damai merasakan angin semilir menerpa wajah. Mbok Tut menghidangkan nasi anget, sambel mekukus, telor rebus, dan pes an celengis hasil nandusin enam buah kelapa hingga menjadi sebotol minyak kelapa beraroma harum. Ah, sungguh, tak ingin kuberpaling dari kehangatan suasana kampung ……

Namun kami harus beranjak pergi. Masih ada rumah ipar lain yang harus kukunjungi. Maka bersama anakku, kami berjalan. Kali ini Ngajanan, ke Kaja, rumah Beli Wayan dan Mbok. Ku sunggi pisang satu kampil penuh di atas kepala, kami bergerak menyusuri jalan ke arah air terjun, membimbing anakku menaiki tebing terjal perlahan, setapak demi setapak. Ia melangkahkan kaki mungilnya dengan menggandong ransel di bahu. Ah, andai, kakaknya dan suamiku bisa ikut berada bersama kami disini…. Alangkah menyenangkannya menikmati perjalanan se keluarga. Lebih dari dua jam kulewatkan di rumah iparku yang satu ini. Beli Wayan asyik membuat kandang kambing. Dua ekor kambing hasil ngadasang menanti untuk menempati kandang barunya. Anakku sibuk bermain dengan keponakannya, cucu dari Beli Wayan, dari bermain bulu tangkis, memetik jeruk bali sebesar semangka, hingga mengejar ayam kampung yang berkeliaran di halaman.

Pukul 15.00 tepat, aku, simbokku Ayu, bersama putra bungsuku berpaling dari pangkung Singsing. Kali ini tujuan kami adalah Kerambitan, Batuaji. Aku ingin mampir di Jeroan, sejenak mengunjungi Dewa Biyang Nyoman, juga para Paman dan Bibi, para ponakan. Hmm, sungguh acara pulang kampung penuh kesan, sebelum akhirnya kembali ke rutinitas sehari-hari…….

Jumat, 18 Juni 2010

Pontianak, Pawiwahan, Kenangan. Di Batas Rinduku Berlabuh....


Setelah beres urusan keluarga di pagi hari seperti rutinitas sehari-hari, ijin dari kantor karena harus ke Plasa Telkom selesaikan kasus Speedy Internet yg termelet-melet dan bikin bete se keluarga ber minggu2, aku meluncur ke Blahbatuh. Hmmm, kali ini dalam rangka penuhi titah si emak. Emak tinggal di Pontianak. Adikku terkasih, Dewa Komang Diwya Artha, mengirim pesan singkat atas nama emak. "Teman bapak dahulu, Ir. Nyoman Sudana & Pak Wayan Korem, menikahkan anak mereka. Di Banjar Teruna, Blahbatuh Gianyar. Kalau sempat, kesana, ya".

Tiba disana, kutemui Ibu dan Pak Nyoman Sudana. Baru teringat setelah menggali kenangan, beliau ini yang dikenal dengan nama, Pak Nyoman PLN, sewaktu masih berdiam di Pontianak. Maklum, selama dirantau, untuk lebih memudahkan, membedakan satu dengan lainnya, dalam hal berkomunikasi diberilah gelar berdasar pada tempat dimana mereka berdiam atau bekerja. Berlanjut ceritera bahwa Ibu Nyoman pernah operasi jantung, sering kollaps berkali dalam sehari. Dan, para anaknya yang juga teman bermainku waktu SD dahulu. Kini, salah satu dari anaknya menikah. Nyoman Manik dan Ketut Ratna Leoni.

Lalu, kulihat ada Pak Dewa Made Sumerta yang merupakan guru tariku dahulu, yang dikenal dengan Pak Dewa Topeng. Baru beberapa tahun terakhir beliau beserta istri yang seorang wanita Dayak berdiam kembali di kampung halaman, Banjar Gede, Batuan. Kami sejak kecil sudah diajar mengerti dan mengaplikasikan seni, termasuk seni tari dan gending Bali, walau sering ditolak ikut bareng jika akan pentas. Hmm, maklum, harus sadar diri jika suaraku fals banget. Hiks.

Ada pula Pak Putu BPN, yaitu Pak Putu Palgunadi yang ber dinas di BPN Pontianak, beserta istrinya seorang guru di SMP X Gatsu. Ada lagi Pak Wayan Brimob, yaitu Pak Wayan Sukadana, yang kini bertugas di Polda Bali, hadir pula beserta istri. Jumpa pula dengan Pak Agung PLN, yang kini sudah pensiun dari PLN Pontianak, juga hadir sekeluarga.

Aaahhh, ini sungguh sebuah reunian dari orang Bali yang pernah bertugas di rantau, yaitu di Kalimantan Barat. Sungguh membangkitkan kenangan di masa kecilku. Masa dimana kulewatkan sebagian dari kehidupan di kota Equator, SD hingga SMP di Santo Josep. Bolak balik ke Mempawah, kota dimana kakek dan nenek tinggal. Menyusuri jalan-jalan sepanjang ParitBaru, SungaiRaya, Supadio, Rasau Jaya, Mempawah, Pemangkat, Sambas, Ketapang, Sanggau, Tayan, Sintang, Ngabang. Naik Vespa, atau motor RX King. Ber ratus kilometer keluar kota bersama kedua orangtua, kakak dan adik2ku. Hmm, jiwa petualangku kudapatkan dari mereka....

Kembali, ke Pawiwahan.....

http://ilushi.blogspot.com/2008_11_01_archive.html Jelaskan bahwa dari sudut pandang etimologi atau asal katanya, kata pawiwahan berasal dari kata dasar “ wiwaha”. Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata wiwaha berasal dari bahasa sansekerta yang berarti pesta pernikahan; perkawinan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997:1130).

Perkawinan merupakan peristiwa suci dan kewajiban bagi umat Hindu karena Tuhan telah bersabda dalam Manava dharmasastra IX. 96 sebagai berikut:

“Prnja nartha striyah srstah samtarnartham ca manavah
Tasmat sadahrano dharmah crutam patnya sahaditah”,

Artinya: “Untuk menjadi Ibu, wanita diciptakan dan untuk menjadi ayah, laki-laki itu diciptakan. Upacara keagamaan karena itu ditetapkan di dalam Veda untuk dilakukan oleh suami dengan istrinya (Pudja dan Sudharta, 2002: 551).

Sesuai dengan undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 yang dijelaskan bahwa perkawinan dilaksanakan dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( rumah tangga) yang bahagia dan kekal maka dalam agama Hindu sebagaimana diutarakan dalam kitab suci Veda perkawinan adalah terbentuknya sebuah keluarga yang berlangsung sekali dalam hidup manusia. Hal tersebut disebutkan dalam kitab Manava Dharmasastra IX. 101-102 sebagai berikut:

“Anyonyasyawayabhicaroghaweamarnantikah,
Esa dharmah samasenajneyah stripumsayoh parah”,

Artinya: “Hendaknya supaya hubungan yang setia berlangsung sampai mati, singkatnya ini harus dianggap sebagai hukum tertinggi sebagai suami istri”.

“Tatha nityam yateyam stripumsau tu kritakriyau,
Jatha nabhicaretam tau wiyuktawitaretaram”,

Artinya: “Hendaknya laki-laki dan perempuan yang terikat dalam ikatan perkawinan, mengusahakan dengan tidak jemu-jemunya supaya mereka tidak bercerai dan jangan hendaknya melanggar kesetiaan antara satu dengan yang lain” (Pudja, dan Sudharta, 2002: 553).

Ini sesuai dengan ajaran Veda dalam kitab Manava Dharma sastra III. 60, sebagai berikut:

“Samtusto bharyaya bharta bharta tathaiva ca,
Yasminnewa kule nityam kalyanam tatra wai dhruwam”,

Artinya: “Pada keluarga dimana suami berbahagia dengan istrinya dan demikian pula sang istri terhadap suaminya, kebahagiaan pasti kekal” ( Pudja dan Sudharta, 2002: 148).

Ah, semoga mereka bisa jalin hubungan ini kekal abadi selamanya, hingga hidup terpisah kematian, walau rintangan menjelang di depan mereka.

Rabu, 16 Juni 2010

Lagi, Tentang Anakku......

Pagi ini selesaikan beberapa tugas di Nusa Dua, lalu anak asuhku curhat tentang rasa gundah dan frustrasi yang melanda. Terpuruk dan sedih, merasa sendiri tanpa ada orang yang dapat pahami dirinya. Naluri keibuan bangkit seketika... hmm, aku harus bantu dia lalui fase ini, walau hanya sekedar dampingi dan dengarkan keluh kesahnya, namun ini terkadang efektif membuat seseorang merasa diperhatikan. Maka, luangkan waktu sejenak untuk peduli pada orang lain akan jauh lebih berarti karena rasa yang hadir dapat bantu bangkitkan persaudaraan dan persahabatan, dan hasilkan perilaku positif yang dapat berkembang ciptakan prestasi dalam berbagai bidang kehidupan.

Lalu malam ini, anak didikku yang lain ungkapkan rasa kecewa karena merasa telah jadi pribadi yang gagal, membenci diri sendiri, menyesali nasib yang selalu tidak lebih baik, gagal dalam wawancara bagi penempatan training setelah tahap ke sekian kali.

Ah...
Kalian masih sangat muda, begitu beningnya tatap mata itu, begitu tegar dan besar harap yang tertanam dalam diri, namun begitu rapuhnya dalam hadapi segala coba dan tantangan yang ada.

Jangan pernah menyerah, jangan mudah menyerah hadapi in semua. Walau terkadang hidup tidaklah adil terasa, sungguh berat dan terjal jalan menghadang di depan mata... yakinlah, bahwa suatu masa, di suatu tempat, kalian akan temui keberhasilan, juga kegagalan lain.

Down, frustrasi, masa lalu kelam, ego, nafsu, angan, hanyalah sebagian dari nuansa kehidupan yang membuktikan bahwa kita masih di bumi, berkalang langit, bahwa kita buka dewa yang bisa selesaikan semua dengan kerling mata. Maka, majulah terus, walau kadang sayap kalian tidak bisa mengepak sempurna, walau sakit hati dan terpuruk kembali berkali....

Senin, 14 Juni 2010

Satria Bukan Pengecut


Seorang satria adalah mereka yang masih tegak di atas kesadarannya, tidak akan berpaling lari dari kenyataan hidup, bersifat munafik dan gunakan topeng tutupi luka hati, menipu diri sendiri dan banyak orang lain. Tiada beda antara pikiran dan perasaan, juga kalimat dan keadaan sesungguhnya, membiarkan orang lain yang menilai dirinya.

Arnandya Poetri Semara Dewi katakan " Aku masih mampu berdiri di atas sepasang kakiku,nafas masih mengikat jiwaku,sehingga kehidupan msh aku jalani,tidak usah di kawatirkan,...aku masih bisa tersenyum spt biasa,dgn sisa perih yg ada,ini konsep maya dan nyata sama,seorang satria tak akan berlari dari hal itu,tidak ada beda kalimat,dan keadaan aku sesungguhnya,biarlah orang menilai aku apa adanya"

Ah,
Maka, Tuhanku....
Biarkan aku jadi satria itu
sepanjang hidupku, takkan lari dari ketakutanku
takkan resah gundah dan egoku kubiarkan kuasai hatiku
jangan ada angkara yang lahirkan korbanku

(Terinspirasi dari Bisma,
terkesan karena The Gladiator,
teragungkan kisah Narnia....)

Minggu, 13 Juni 2010

PKB adalah Pesta Rakyat

Pesta Kesenian Bali telah dimulai, dibuka oleh bapak Presiden Sabtu, 12 Juni 2010 kemarin. Seabrek kegiatan telah disusun dan dirancang oleh panitia. Hari Minggu ini ada lomba merangkai bunga, rangkai janur, dan seni kuliner, Gender Wayang, Tari Klasik dari Pasemetonan Pragina Mas, Paduan Suara Prop.Gorontalo, dari Jakarta Barat, dan Calon Arang persembahan Batuyang, Sukawati Gianyar. Dipentaskan diberbagai ruang / gedung yang ada di Art Center.

Hmm, jadi ingat pembukaan PKB ini tahun lalu, juga oleh Bapak Presiden Susilo Bambang Yudoyono, dilanjutkan pentas sendratari pada malam harinya oleh ISI di Panggung Terbuka Art Center.

Kuangkut 15 anak-anak tetangga se Perum, tentu setelah mendapat ijin dari orangtua mereka, dengan gunakan mobil pick up. Dari yang telah menginjak bangku kelas 6 SD, hingga yang masih duduk di klas satu SD. Berangkat pk 18.30 sore, dengan harapan bisa tiba di Panggung Terbuka pukul tujuh malam, dan dapat nonton bersama bapak Presiden. Penuh sesak ribuan orang berjubel, namun kami berhasil duduk di tribun Timur setelah bersusah payah menerobos, duduk diam menyaksikan sendratari yang diisi puluhan anak kecil, dan orang dewasa, dari tarian kijang dengan liukan menggemaskan tubuh para penari, mengisahkan tentang perjalanan kehidupan di hutan belantara, hingga percakapan yang terkadang tidak dimengerti oleh rombonganku tersebut...

Berkali kuajak mereka berkunjung ke pesta yang dihelat selama sebulan tersebut, melihat berbagai produk seni dan budaya, mengamati, dang melakukan evaluasi. Termasuk, naik ke pohon dan menonton sendratari Calon Arang yang dicampur dengan Bedaya Ketawang? Karena tubuh mereka terhalang tinggi tubuh penonton dewasa di depan. Walau sedikit, kuyakin, pasti mereka bisa tanamkan dan aplikasikan dalam berbagai aspek kehidupan mereka. Entah dengan ikut terjun langsung, turut serta dalam berbagai aktivitas seni dan budaya, atau sebagai pengamat dan pengevaluasi yang baik dan bijak.

Jumat, 11 Juni 2010

Seorang Ibu Sebagaimana Adanya, Bukan Seperti Seharusnya Atau Sebaiknya...

Ibu adalah sosok yang tiada kan pernah tergusur
Ibu adalah wanita yang berjuang untuk menjadi dewasa dan bijak bagi anak-anaknya
Ibu adalah wanita biasa pula, yang bisa menangis terharu dan alami gejolak emosi
Ibu adalah senyum yang pancarkan keteduhan jiwa, walau sakit dan cemas melanda
Ibu adalah tiang peneguh bagi hati anak yang gundah agar dapat jadi cerah
Ibu adalah peneduh bagi mereka yang sedang murka dalam angkara yang liar
Ibu adalah pembimbing dan pengarah agar anak tiada hilang arah
Ibu adalah pengalir susah agar hadapi konflik dengan tabah
Ibu adalah teladan sikap dalam hadapi berbagai gunjing yang tiada reda
Ibu adalah tipikal yang, tidaklah sempurna, namun berani hadapi semua
Ibu adalah ibu, yang berkali terjatuh, namun tetap bangkit berdiri dan melangkah
Ibu adalah ibu, sebagaimana adanya, dengan segala yang ada....


Ah, jadi kangen emakku, hiks....

Aku Ibu yang Kejam??

Pernah ada yang bilang, aku ibu yang perlakukan anak dengan tidak seharusnya. Mengajak mereka bepergian jauh dengan kendarai motor. Ke Buleleng, ke Tanah Lot, ke Negara, ke Batukaru, ke Batur, ke Besakih, Ke Goa Lawah.

Ah, kami bukanlah keluarga kaya. Hanya motor yang kupunya. Aku mungkin bukanlah ibu yang sempurna, bukan wanita sempurna, namun bukankah sempurna atau tidak kadang hanya se batas lembaran kertas bedanya? Dan... aku hanya ingin melewatkan banyak waktu berharga bersama mereka, sebelum waktu itu semakin terbatas, sebelum mereka miliki sendiri group nya, peers / kelompoknya, temukan pasangan hidup dan jalan hidup mereka. Mungkin, lebih tepatnya, waktu kebersamaan yg berkualitas. lagi pula, kupersiapkan diri mereka sebaik mungkin sebelum adakan perjalanan, karena, bukankah, tiap dari kita adalah juga pejuang dalam berbagai perjalanan hidup? Kenakan seperangkat perlengkapan, jaket, helm pengaman, sarung tangan, kaca mata lebar, kaus kaki dan celana panjang tebal. Lengkap dengan jas hujan untuk berjaga terhadap segala perubahan cuaca, air minum dan makanan ringan.

Maka, aku mungkin bukan ibu yang baik, tapi, tiap ibu bisa jadi macan pula, jika menyangkut urusan anak. Eh hehehe. lagipula, masih jauh lebih banyak anak yg tidak seberuntung mereka ini, anak2ku, dalam temui pengalaman hidup dan menarik pelajaran dari tiap peristiwa kehidupan yang mereka peroleh.

Ah, Semoga Tuhan bimbing tiap anak temukan cahaya yang akan menerangi tiap jalan hidup mereka..... walau, mereka tidak miliki orang terkasih, walau tanpa orangtua di sisi mereka...

Minggu, 06 Juni 2010

Aku Ibu Yang Kejam?

Pernah ada yang bilang, aku ibu yang perlakukan anak dengan tidak seharusnya. Mengajak mereka bepergian jauh dengan kendarai motor. Ke Buleleng, ke Tanah Lot, ke Negara, ke Batukaru, ke Batur, ke Besakih, Ke Goa Lawah.

Ah, kami bukanlah keluarga kaya. Hanya motor yang kupunya. Aku mungkin bukanlah ibu yang sempurna, bukan wanita sempurna, namun bukankah sempurna atau tidak kadang hanya se batas lembaran kertas bedanya? Dan... aku hanya ingin melewatkan banyak waktu berharga bersama mereka, sebelum waktu itu semakin terbatas, sebelum mereka miliki sendiri group nya, peers / kelompoknya, temukan pasangan hidup dan jalan hidup mereka. Mungkin, lebih tepatnya, waktu kebersamaan yg berkualitas. lagi pula, kupersiapkan diri mereka sebaik mungkin sebelum adakan perjalanan, karena, bukankah, tiap dari kita adalah juga pejuang dalam berbagai perjalanan hidup?

Maka, aku mungkin bukan ibu yang baik, tapi, tiap ibu bisa jadi macan pula, jika menyangkut urusan anak. Eh hehehe. lagipula, masih jauh lebih banyak anak yg tidak seberuntung mereka ini. Semoga Tuhan bimbing tiap anak temukan cahaya yang akan menerangi tiap jalan hidup mereka.....

Kedonganan Sabtu Sore 5 Juni 2010

Hari ini, setelah jalankan kegiatan Posyandu, berangkat bersama anak menuju Lap. Puputan Renon, namun kegiatan Donor Darah gagal kuikuti, karena panitia sudah membongkar tenda dan bubar pukul setengah sebelas. Padahal, di salah satu milist dari bbrp yg kuikuti, tertulis acara akan berlangsung hingga pukul dua belas. Hmm, yadnya bisa dilakukan dalam banyak bentuk lain. Namun, baru tahu dari komentar di status dinding, bahwa Avril (bukan yg Lavigne) dan teman-temannya ikut hadir kelola acara ini, dan hanya dapatkan kurang dari 30 pendonor.

Dari lap. Puputan Renon, langsung berangkat menuju rumah ipar, dan dari sana kuajak keponakan yang super sehat ini bergabung denganku dan si kecil dalam wisata kuliner. Tujuan kami adalah Pasar Ikan Kedonganan, di Jimbaran. Pukul dua sore berangkat, perlu waktu 40 menit dari jalan Antasura untuk tiba di pasar ikan ini. Berjalan menyusuri lorong yang becek, bau ikan menusuk hidup. Dari jejeran udang, kepiting, kerang, berbagai jenis ikan, menarik menggugah selera untuk segera diolah. Kupilih ikan kerapu dan ikan ekor kuning dua kilo, seharga sembilan belas ribu rupiah perkilonya. Ibu pedagang ikan segera mengibaskan sepotong kayu yang sudah di beri beberapa paku dibagian ujung, menggaruk sisik agar terlepas dari kulit ikan, membelahnya menjadi dua. Sekilo terdiri dari 5 ekor ikan. Sengaja kupilih yang tidak berukuran besar, agar daging ikan matang sempurna karena tidak tebal. Beralih ke bagian dimana cumi berada. Kupilih sekilo cumi seharga tiga puluh ribu yang kemudian dikuliti oleh ibu pedagang ikan. Lalu kami bawa kantung plastik berisi ikan dan cumi ke salah satu warung yang menyediakan jasa memanggang berbagai ikan yang telah dibeli dari pasar. Hmm, sungguh sebuah peluang jeli dalam menangkap pangsa pasar yang ada di depan mata. Sekilo ikan bakar lengkap dengan sambel matah dan sambel tomat dihargai senilai delapan ribu rupiah. Apalagi jika ingin menikmati hasil panggangan di tempat, tersedia nasi putih anget, juga plecing kangkung ditabur kacang kedelai goreng. Hmm, tawaran penggugah selera.

Ikan dan cumi pun segera berpindah ke atas pemanggangan ikan. Kami menunggu sesaat sambil meluangkan waktu mengobati narsis dengan berfoto ria di tepi pantai. Berpuluh jukung nelayan yang sedang terkapar, entah diperbaiki oleh nelayan, istirahat karena musim angin laut keras, bahan bakar solar yang kian mahal, menggelar hasil tangkapan di dalam pasar. Berpuluh lagi jukung yang terlihat melego jangkar di laut. Ah… sungguh pemandangan indah yang tak habis ingin kujumput.

Hanya dengan kurang dari tujuh puluh lima ribu rupiah, bisa ku berbagi nikmati ikan panggang bersama keluarga besar lebih dari sepuluh orang, bahkan, para tetangga juga kebagian hantaran seekor ikan panggang, walau kecil, eh hehehe. Semoga, kemesraan ini tiada kan pernah berhenti, walau terkadang masalah datang bertubi….

Jumat, 04 Juni 2010

Bungan Sandat (AA Chakra, alm)

Ku suka banget lagu ini....
Disaat jaya dan sedang berkembang,
lakukan kesalahan,
dan, banyak orang bakal benci dirimu

Sesal kemudian selalu kurang berguna
Butuh waktu untuk bangkit dan berjuang kembali.....




Yen gumanti bajang
tan binaye pucuk nedeng kembang
disuba ye layu
tan ade ngerunguang ngemasin makutang
becik malaksana
de gumanti dadi kembang bintang
mantik di rurunge
makejang mangempok raris ka entungang

refff :
To ibungan sandat selayu-layune miik
too.. ye nyandang tulad seuripe melak sana becik
pare truna truni mangde saling asah asih asuh
ma nyama beraya to kukuhin rahayu kapanggih

Heboh Lain Lagi

Hari ini....
Setelah selesaikan urusan rumah tangga, mengantar anak bungsuku ke sekolah, suami dan putra sulung masih di rumah. Tiba di kantor, sudah harus selesaikan beberapa surat dalam rangka Wisuda XVI STPNDB. Dipanggil ke ruang Kabag ADAK selesaikan urusan para tamu VVIP yang akan hadir pula. Gilaa... banyak banget tambahan undangan, perubahan susunan acara, urusan lain lagi menanti. Bu Juli tetap tenang dengan se abrek perubahan yg menuntut kerja keras untuk tangani ini. Hmm, wanita arif nan pintar yang bisa beri keteduhan hati. Tiada munafik dan bisa diajak kerja sama dalam berbagai hal. Banyak rekan lain yang selalu sibuk berkeluh kesah dan menyesali jalan hidupnya, menuduh yg bukan-bukan, tanpa introspeksi diri. Ah,.. Semoga semua tugas ini bisa berjalan lancar dengan kekompakan kami semua...

Setelah itu harus bergegas temui 30 an anggota Senat Mahasiswa yang sudah menanti bersama PakJata di ruang Serba Guna dalam rangka penggalangan tenaga mereka saat Wisuda nanti, 11 Juni di BICC Westin Hotel. Lanjut ngecek data mutakhir jumlah calon wisudawan. Dan... bersiap menuju Westin untuk mengecek hotel.

Ternyata... rombongan telah meninggalkan kami, Ibu Juli, Ibu Mirah dan aku sendiri, bengong melamun di lobby Gedung Rektorat. Supir entah dimana. Sementara 10 teman lain telah tiba di lobby hotel Westin. Hmmm, tidak mengapa lah. Toh sudah cukup banyak orang di hotel. Kusampaikan Kartu Undangan Wisuda dan juga surat pemberitahuan pelaksanaan wisuda pada bapak polisi yang kebetulan hadir di ruang satpam, untuk disampaikan pada Kapolsek Kuta Selatan.

Sekarang bisa melanjutkan tugas, ngecek kartu undangan bagi 343 calon wisudawan, memindahkan 343 toga lengkap dengan medalinya, ke ruang bawah perpustakaan yang kami pinjang dari pak Tikel, staf AVA kami. Lumayan melelahkan, walau dengan dibantu 3 staf wanita koperasi. Namun, ini tugas, merengek dan menyalahkan orang lain, mencaci, tidak akan selesaikan masalah ini. Mengharap bantuan jatuh dari langit? Hmm, bahkan, Tuhan tidak suka orang manja yang cuma berdiam diri...

Setelah penataan in selesai, kukunci pintu dan kukantongi. Lalu... berangkat lagi bersama ibu Mirah ke PT BTDC, menyampaikan surat ijin penggunaan lahan parkir selama acara wisuda berlangsung nanti.

Setelah semua urusan selesai, tiba waktunya untuk pulang. Kuantar ibu Mirah ke rumahnya di Jalan Hayam Wuruk, Gg. Kecubung. Dan beli 5 bungkus es teler jalan kecubung yang terkenal enak, bagi suami dan anak2ku. Ah... Now, me time dengan rehat sejenak...

Anakku Permata Hatiku

Anak anakku
permata hatiku
terkadang tenang bagai laut biru di tengah laut
kadang terengah kendalikan mereka

Kahlil Gibran benar....
Kau bisa curahkan kasih sayangmu
pada anakmu hingga nyawa terlepas dari badanmu
Namun anak-anakmu bawa buah pikiran mereka sendiri...

Selasa, 01 Juni 2010

Sabar Nich, Sabar Ya, Sabar Donk.....

Bukan bu Santi namanya jika tidak terkadang iseng….
Hari Jum'at 28 Mei 2010 jumpa Sabar di pelabuhan PadangBai, dalam perjalanan menuju ke Nusa Penida mengikuti Tirta Yatra. Dia bersama rombongannya, ku jua dengan rombongan para sahabat berjumlah hampir 150 orang. Di atas kapal, sebelum merapat di pelabuhan di Nusa Penida, dia menawarkan diri membawa sebagian barang bawaanku. Maka, dua tas plastik berwarna merah besar yang berat kusodorkan padanya. Jadilah dia asistenku, ajudanku.
Ehm, cukup? Belum.

“Bawa barang saya ini ke dalam mobil kalian, dan bawa deh terus sampai di Pura Dalem Peed, nanti kita ketemu lagi disana. Jaga selalu dengan penuh perhatian” Demikian kukatakan padanya. Maka, Sabar pun membawanya dan menjaganya dengan penuh semangat secara berhati-hati sambil berjalan naik ke mobil yang mereka sewa. Sempat dia berteriak dan berkata dari jauh, "Gimana jika kita nanti terpencar, ibu?" Maka sahutku "Itu tugasmu, bawa dengan hati-hati!!" Ah hehehe...

Lima menit kemudian sebelum mobil bergerak, kuhampiri dengan senyum simpul dan meminta kembali barang bawaanku.

Ah... Sabar Nich, Sabar Ya, Sabar Donk..

Suami / Istri Satu Paket....

"Istriku sudah marah krn menunggu lama di Ramayana bersama anak2. Habis, mau bagaimana lagi…” Komentar sahabatku ini saat dia jalankan tugas tangani APM dari mahasiswa Prog.Berjenjang ini hingga larut malam Sabtu malam, 29 Mei 2010, di saat harusnya nikmati waktu bersama keluarga.

Ah, bukankah, saat kita menikah dengan seseorang, itu juga berarti siap menerima dan menghargai segala yang melekat padanya? Jabatan, gelar, susah dan senang, sibuk dan santai, baik dan buruk, benar dan salah… Kita tidak bisa menikah dan berharap suami atau istri tidak lagi memiliki sifat jelek yang tidak kita inginkan. Hal ini juga berlaku bagi hubungan persaudaraan, pertalian kekerabatan, dan persahabatan. Kubilang ini dengan.. “Suami satu paket”. Artinya, menikah dengan seseorang, berarti juga menikahi semua sifat jeleknya, kekurangannya, dan.. perlahan kita bersama satukan banyak sisi unik ini secara bersama, saling melengkapi, namun, perbedaan akan selalu tetap ada. Bersatunya dua orang tidak berarti hilangnya satu orang yang bahkan miliki ribuan perbedaan, namun bagaimana hidup dengan segala perbedaan tersebut untuk menjadi pribadi-pribadi yang makin dewas dan shanti.

Kita bisa saja meng kerangkeng suami atau istri, memaksakan kehendak dengan hukuman, atau memberlakukan pemaksaan lainnya. Kita bisa saja “menyinebkan” gelar atau jabatan. “Menyinebkan” diri, berlaku berpura, bersikap munafik, bertindak masa bodoh terhadap suami atau orang lain, memaksakan kehendak sendiri, menipu masyarakat banyak, hidup dengan menulikan dan membutakan diri dari lingkungan sosial. Namun kita tidak akan pernah bisa menipu diri sendiri dan berdusta di mata Tuhan. Maka… jadilah suami “satu paket”, sahabat “satu paket”, saudara “satu paket”.

Kalian berdua, sepasang suami dan istri, yang keduanya adalah sahabatku… Suamimu seorang pejabat, say…. Dan itu membuat dia harus selalu siap pada situasi dan kondisi yang menyangkut tugasnya pula. Laksanakan tugas hingga larut malam handle acara ini, yang juga kuhadiri bersama anakku dan simbok, dan banyak sahabat lain. Kalau kulihat dan kutahu dia berselingkuh disini, bisa kucekik dia demi kau, sahabatku.

Hari Sabtu 29 Mei 2010 pukul 17.00, Aku baru tiba dari perjalanan dua hari ke Nusa Penida yang lumayan melelahkan, hanya sempat mandi, lalu berangkat lagi bersama simbok dan anakku ke Charity Care yang diadakan muridku di Hotel Inna Bali jalan Veteran ini, hingga lumayan larut, karena simbok juga adalah “satu paket”. Dia tetap manusia yang butuh jalan dan hiburan, walau jabatannya juga adalah seorang “pembantu”. Maka kuangkut keluargaku untuk tetap bisa nikmati kebersamaan secara berkualitas. Aku mungkin bukan ibu yang baik, tapi aku adalah ibu “satu paket”, dengan segala kelemahan dan kelebihanku.....