Jumat, 31 Agustus 2012

Denpasar - Nusa Dua - Ubud - Denpasar, Sesuatu tentang Cinta (Jum;at, 27 Juli 2012)

Jum'at pagi, 27 Juli 2012.  Tuntas di pagi hari dengan urusan dalam negeri alias rumah tangga, dari mencuci dan jemur baju, mempersiapkan sarapan dan bekal makan siang anak2ku di sekolah mereka. Made Yudhawijaya berangkat menuju sekolah, SDN 3 Padang Sambian Kelod, dengan kakaknya, Wayan Adi Pratama, yang lalu menuju sekolahnya sendiri, SMAN 1 Denpasar, di Jalan Angsoka, daerah Kreneng Denpasar. Aku menuju ke Nusa Dua.

Pagi ini ada Gladi Kotor Upacara Pembukaan Pembinaan Sikap Dasar Profesi, bagi 800 an mahasiswa baru Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali.  Juga ada Ujian Sidang Tugas Akhir / Skripsi, bagi para mahasiswa yang telah menuntaskan bimbingan dengan para dosen.

Banyak orang mengatakan, "Ibu, sibuk selalu, terlihat pada banyak aktivitas dan peristiwa". Hmmm, aku bukanlah orang yang sok aktif dan berusaha untuk terlihat dimana-mana. Aku juga bukan termasuk orang yang sering muncul dalam deretan nama pada berbagai SK mengenai orang yang terlibat dan bertanggungjawab terhadap berbagai kegiatan, khususnya di STPNDB. Ini semata-mata hanya didorong keinginan untuk memberikan pelayanan yang terbaik, karena aku mencintai pekerjaanku, menyayangi setiap aspek kehidupan, dan sekaligus, dorongan untuk berbagi informasi.

Banyak orang yang tidak mendapatkan peluang sebaik diriku, banyak orang yang tidak mengetahui duduk permasalahan sesungguhnya, banyak orang yang bersikap tidak mau tahu dan tidak perdulian. Aku ingin menikmati berbagai situasi dan kondisi, mengumpulkan informasi, memberikan yang kumampu bagi sesama, dan juga, berbagi dengan yang lain tentang kebahagiaanku, suka dan dukaku.

Maka, dengan semangat yang sama pula, aku berangkat pagi hari itu, mengendarai motor tercinta, menembus jalan raya Denpasar - Nusa Dua, tiba pada pagi hari pukul 7.30, di lapangan olah raga STPNDB.

1346429140912365300

Kulihat, jajaran dan jejeran mahasiswa baru dengan mengenakan uniform baju kaos putih dan celana hitam. Panitia, baik dari kalangan dosen dan pegawai, juga mahasiswa STPNDB, telah berada di tengah lapangan. Perlahan aku menaiki anak undakan yang menuju ke lapangan OR.

13464291731993765737

Seorang mahasiswa, dengan mengenakan uniform baju kaos seragam STPNDB dan celana cokelat menghampiriku. Dari uniformnya, jelas, dia adalah Warga Kampung. Istilahku bagi mahasiswa yang telah bertahun mengikuti pendidikan di STPNDB, namun belum mengikuti PSDP, sebagai prasyarat untuk mengikuti Ujian Sidang.

13464292051876277745

"Ibu, saya mohon bantuan ibu. Ijin agar saya bisa mengikuti PSDP ini. Saya baru keluar dari rumah sakit kemarin, karena operasi paru-paru yang saya ikuti. Saya sekarang sudah semester 5, bu. Saya ingin ikut ujian semester 6 nanti, tahun 2013".

Ah, anakku ini..... Dia baru saja keluar dari rumah sakit, dan bersikeras ikut PSDP agar tahun depan bisa berkonsentrasi pada skripsi dan ujian sidang. Hmmm. Tidak ada perlakuan khusus dan perbedaan perlakuan bagi seluruh mahasiswa STPNDB, dalam mengikuti PSDP. Ini bertujuan bagi pembinaan dan pengembangan sikap dalam diri, agar mereka mengenali bagaimana seorang hotelier sesungguhnya. Karakter seseorang sudah tentu tidak bisa dibentuk semudah kita membalik telapak tangan, namun mereka harus paham dan bisa mengaplikasikan ini dalam berbagai ruang kehidupan mereka. Tidak akan pernah ada kontak fisik. Tapi tidak akan ada toleransi bagi sikap manja dan kekanakan. Maka, kusuruh dia beristirahat, mempersiapkan diri bagi kuliah yang akan berawal di bulan September kelak, dan mengikuti PSDP tahun 2013.

1346429253568667417

1346429280434605623
13464293071794316961

Tuntas di lapangan olah raga STPNDB, aku bergerak ke ruang ujian sidang. Aku terjadwal menguji bersama bapak I Nyoman Sudiksa, SE., M.Par., juga I Made Mentra, SE., MM. Ujian sidang kali ini berlangsung di 15 kelas, dangan masing-masing kelas terdiri dari 3 mahasiswa yang mengikuti ujian. Dan aku menguji 3 mahasiswa yang ketiganya berasal dari Program Diploma IV, Program Studi Administrasi Perhotelan.

134642948033175953
13464295361344909419
1346429574302335589
1346429630123780131

Pada Ujian Sidang kali ini, terdapat pula beberapa mahasiswa bimbingan skripsiku. Misalnya, Putu Ivan Krisnantha.

Pukul 11.30, ujian sidang tuntas, banyak revisi yang harus dilakukan para mahasiswa, sebelum mereka dinyatakan lulus, dan berhak mengikuti Wisuda STPNDB, yang berlangsung April tahun 2013. Aku bergerak pulang ke rumah. Ada beberapa janji yang harus kupenuhi.

Tiba di rumah, kudapati Yudha, putra bungsuku ini, menangis tersedu2 dengan mata bengkak. Hmmm, dia berduka. Layangan yang dia naikkan kemarin sore bersama teman2, terputus, dan hilang entah kemana. Padahal, pagi hari, bapaknya sudah mengingatkan untuk menurunkan layangan tersebut. Dia bersikeras membiarkan layangan tersebut berkibar sepanjang hari, agar bisa dipamerkan pada teman2 sekolahnya. Sekolahnya berjarak 50 meter dari perum kami, dan, dia berharap bisa sesekali memandang layangan tersebut dari sekolahnya. Maka, simbok juga ketiban panik tatkala siang hari Yudha pulang dari sekolah sambil berlari dan menangis tersedu2, hingga melupakan sapu yang dibawa dari rumah, tertinggal di sekolah. Ah ha.... anakku berduka.....

Adi, si putra sulung, pulang dari sekolah, dengan laporan, dia akan mengganti lensa kamera temannya yang telah tanpa sengaja dijatuhkan. Dia membongkar uang hasil tabungannya, dari menjual baju hasil rancangan sendiri, stiker dan gelang yang dibuatnya. Hmmm. Rp 500 ribu yg harus dia berikan, untuk mengganti lensa kamera seharga Rp 1.500.000. Jumlah yang sungguh besar. Namun, dia harus bertanggungjawab terhadap hidupnya. Ini adalah sebuah proses menuju ke arah tersebut. Menjadi seseorang yang bijak dan dewasa dalam kehidupannya.

Waktu menunjukkan pukul 3 sore, saat aku bersama suami bergerak menuju Campuhan di Ubud. Setelah urusan kantor dan rumah tangga, kini saatnya urusan keluarga besar. Dewa Ajik Dewa Gede Sudiastawan, pamanku, beristrikan seorang perempuan dari Campuhan Ubud, Nyoman Yeni. Besok adalah hari pelebon ibunda dari bu Jro Yeni, yang telah meninggal dua tahun silam. Kami melayat ke sana. Dan, karena kami hanya memiliki motor, maka, aku bergandengan berkendara di atas motor Mio, bersama suami tercinta.

Panas menyengat sepanjang jalan raya. Berboncengan berdua, mengingatkan kami pada banyak kebersamaan melewati masa2 23 tahun bersama. Tatkala baru berkenalan di Jogja, dia menuntaskan S2 di UGM tahun 1992, dan kutuntaskan S1 di Psikologi UGM tahun 1993. Kami berkendara dengan menggunakan motor pula. Hmmm, tanpa terasa, 23 tahun berlalu, dengan segala rasa, suka dan duka, lara dan nestapa, bahagia dan sukses. Semoga aku masih diberi kesempatan pada tahun-tahun yang akan datang berdua bersamanya....


1346427720674399388

Kini, kami bersama menempuh program pascasarjana S3, Doktoral, Program Studi Kajian Budaya, pada Universitas Udayana. Dia masuk tahun 2008, dan aku masuk tahun 2010. Ah, semoga kami bersama bisa meraih sukses dalam arungi berbagai ujian dan tantangan dalam kehidupan ini.

13464270131586504261

Tiba di Campuhan, Ubud, pukul 5 sore, kami diterima di Restoran Miros, yang sekaligus merangkap sebagai tempat tinggal. Ibu Jro sedang mundut tirta, hanya ada Dewa Ajik beserta Dewa Kadek dan Dewa Nyoman, anak2 mereka, juga beberapa keluarga lain.

13464270481554254793

Tak berapa lama, tiba rombongan yang mundut tirta dari Beji. Sungguh, sebuah family gathering dalam situasi begini. Keluarga yang berasal dari berbagai lokasi, di luar pulau, juga di luar negeri, berkumpul menjadi satu, melangsungkan upacara Pitra Yadnya, sebagai simbol penghargaan terhadap leluhur dan budaya yang ada,yang diwariskan turun temurun.

13464270911568689566
1346427164460930657

Banyak pihak beranggapan, budaya bukan hal utama, dan hanya menghabiskan biaya, waktu dan tenaga. Namun..... di balik segala kontroversi yang ada, ini juga memperlihatkan, betapa manusia diberi akal sehat, budi dan daya, untuk menuntaskan berbagai problema yang ada, untuk mencapai harmonis di antara mereka.
Tinggal diri kita sendiri yang bisa memilih dan memilah, apakah hanya akan terhenti pada polemik semata, atau akan mengaplikasikan kearifan luhur tersebut dalam diri kita, juga bagi sesama yang ada pada lingkungan kita. Pukul 7 malam, tuntas acara di Ubud, aku berpamit pada seluruh keluarga besar. 

Melintasi Puri Ubud, yang juga bersiap melaksanakan perhelatan Ngaben / Pitra Yadnya, kusempatkan berhenti dan mengambil gambar indah yang tersaji. Banyak sawa / jenasah yang merupakan keluarga dari kalangan masyarakat biasa fi sekitar puri yang juga bakal ikut di aben.

13464276371550009689

Lembu raksasa yang terbuat dari kayu dan bambu, dan Bale raksasa yang akan diikutsertakan dalam rangkaian prosesi Pitra Yatra terlihat telah siap.

1346427911938564629

Bade atau tempat berundag / bertingkat yang akan digunakan meletakkan mayat yang akan dikremasi juga sudah terpampang dengan megahnya.

1346427982575103706

Puluhan patung lembu dengan ukuran lebih kecil dibanding milik keluarga puri, yang terbuat dari kayu dan bambu sebagai tempat diletakkannya mayat dari kalangan masyarakat yang akan ikut prosesi ini juga telah berjejer dengan rapi.

13464281481309820372
13464287861354492807

Sungguh, sebuah maha karya yang memperlihatkan kualitas kerja masyarakat pembuatnya, melambangkan seni dan budaya masyarakat penyunjung dan penyungsung budaya tersebut, bahwa, pariwisata tidak hanya sekedar hura-hura. Pariwisata juga takkan menenggelamkan budaya luhur suatu bangsa, yang bisa menyikapi ini dengan arif, dan dewasa....

1346428368997244287

Deretan boncengan sang ibu dan para anaknya. Hmmm, mereka asyik menikmati pemandangan, meski sungguh berbahaya dalam situasi demikian.

Dan, kunikmati makan malam berdua, bersama suamiku, sahabat terbaikku, teman dalam selimutku, musuh di setiap debatku, ayah dari kedua anakku, kakak tercinta, yang kini sedang menempuh program doktoral di Kajian Budaya UNUD, Drs. Wayan Tagel Eddy, M.S. Kami duduk di Warung Teges, Ubud, menikmati nasi campur, sebelum pulang kembali ke rumah.

Minggu, 26 Agustus 2012

Pura Samuan Tiga, Bedulu Gianyar, dimana semua janji berawal.... Dan, tugas kita semua mengawal.

Sehabis mengantar simbok pulkam jelang Galungan, kuarahkan laju motor menuju Bangli. Cakrawayu akan berbagi dengan sesama umat Hindu berkaitan dengan hari raya Galungan dan Kuningan di beberapa Kabupaten di Bali. Kusempatkan mampir di beberapa Pura, pertama adalah Pura Samuan Tiga yang terletak di Bedulu Gianyar. Sebelum kemudian bergabung dengan para sahabat di Puri Kanginan di Bangli kota.


Literatur sejarah Bali kuno menguraikan pemberian nama Samuan Tiga terkait dengan adanya suatu peristiwa penting musyawarah berbagai tokoh pada masa Bali Kuna. Pelaksanaan musyawarah para tokoh di Bali pada masa pemerintahan raja suami-istri Udayana Warmadewa bersama permaisurinya Gunapriyadharmapatni yang memerintah sekitar tahun 989 – 1011 Masehi.

Menurut R. Goris, pada masa itu di Bali berkembang kehidupan keagamaan yang bersifat sektarian. Ada sembilan sekte yang berkembang pada masa itu. Sekte-sekte tersebut adalah Pasupata, Bhairawa, Siwa Sidhanta, Waisnawa, Bodha, Brahma, Resi, Sora dan Ganapatya. Masing-masing sekte memuja Dewa-Dewi tertentu sebagai istadewata (Dewa Utama) dengan simbol tertentu. Penganut setiap sekte berkeyakinan bahwa istadewata merekalah yang paling utama di antara dewa yang lain. Keyakinan sektarian itu mengakibatkan benturan konflik dan ketegangan antar-sekte. Hal ini berpengaruh terhadap stabilitas  kerajaan dan masyarakat.

Menyadari hal itu, raja suami-istri Gunapriyadharmapatni dan Udayana berusaha mengatasinya dengan mengundang tokoh-tokoh spiritual dari Bali dan Jawa Timur (Gunapriyadharmapatni adalah putri raja Makutawangsawardhana dari Jawa Timur) untuk mencari jalan keluar gejolak antar-sekte ini.

Pada waktu itu di Jawa Timur ada lima pendeta bersaudara. Ke-lima pendeta bersaudara tersebut kerap dijuluki Panca Pandita atau Panca Tirta. Mereka adalah Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, Mpu Gnijaya dan Mpu Bharadah. Empat di antara kelima pendeta tersebut didatangkan ke Bali secara berturut-turut, yaitu:
1. Mpu Semeru datang di Bali pada tahun saka 921 (999 M) berparhyangan di Besakih.
2. Mpu Ghana datang pada tahun saka 922 (1000 M) berparhyangan di Gelgel.
3. Mpu Kuturan datang pada tahun saka 923 (1001 M) berparhyangan di Silayukti, Padangbai.
4. Mpu Gnijaya datang pada tahun saka 928 (1006 M) berparhyangan di Lempuyang (Bukit Bisbis).

Mpu Kuturan yang berpengalaman  sebagai kepala pemerintahan di Girah dengan sebutan Nateng Girah, oleh Gunapriyadharmapatni diangkatlah beliau sebagai senapati dan sebagai Ketua Majelis Pakira-kiran I jro Makabehan.

Melalui posisi yang dipegang itu, Mpu Kuturan melaksanakan musyawarah bagi sekte keagamaan yang berkembang di Bali bertempat di Pura Penataran kerajaan. Pada masa itu, setiap kerajaan di Bali memiliki tiga pura utama: Pura Gunung, Pura Penataran (di pusat kerajaan) dan Pura Segara (laut). Musyawarah tersebut berhasil menyatukan semua sekte untuk penerapan konsepsi Tri Murti yaitu kesatuan tiga manisfestasi Tuhan (Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa) dalam satu kesatuan yang tak terpisahkan.

Konsepsi "three in one" ini (aryapengalasanblogspot.com) berlaku di seluruh Bali dan menghapuskan dominasi satu sekte terhadap sekte lainnya, meskipun belakangan sekte Siwa Sidhantalah yang tampil dominan. Penyatuan ini serupa dengan apa yang dilakukan oleh Mpu Kuturan di Jawa dengan mendirikan Candi Loro Jonggrang (Prambanan) yang memuja Dewa Brahma, Wisnu dan Ciwa.

Untuk memperingati peristiwa penting tersebut maka tempat dimana terjadi musyawarah tersebut, yakni Pura Penataran kerajaan tersebut, diberi nama Pura Samuantiga.

Konsep Tri Murti yang diperkenalkan oleh Mpu Kuturan kemudian diterapkan dalam pola Desa Pakraman dengan pendirian pura Kahyangan Tiga yakni Pura Desa (Brahma), Pura Puseh (Wisnu) dan Pura Dalem (Siwa) pada setiap desa. Bagi setiap keluarga, diterapkan pembangunan Sanggar Kamulan Rong Tiga (tempat pemujaan dengan tiga pintu).

Ini yang menjadi pitenget bagi siapapun, bahwasanya, harmoni akan tercipta bila didasari dengan niat tulus dalam diri setiap insani, pemahaman mendalam terhadap latar belakang sejarah, saling menghargai satu sama lain, dan aplikasi nyata dalam berbagai aspek kehidupan. Karena.... bukankah, setiap orang memiliki peranan dan fungsi nya masing-masing yang akan saling melengkapi satu sama lain. Pedagang, penyanyi, nelayan, guru dan murid, pemimpin dan rakyat, penguasa dan pengusaha, tokoh spiritual dan umat. Semua sama penting dan mulianya.

Santidiwyarthi dari berbagai sumber.

Selasa, 21 Agustus 2012

Denpasar, Bongancina, Banjar, Denpasar, di hari Senin, 20 Agustus 2012

 
Hari Minggu kemarin, aku pulang bersama simbok, Ayu, ke Kerambitan. Dan Desak Gede menyampaikan info bahwa Dewa Ajik, Dewa Nyoman Sudirga, akan menikahkan putrinya, Desak Putu Putri, di Bongancina. Hmmmm. Dewa Ajik Dewa Nyoman Sudirga, adalah pamanku. Dahulu, waktu aku masih berada di Pontianak, beliaulah yang menghantarku bersama kakak dan adik2, bergantian naik sepeda onthel, menuju dan pulang sekolah, sejauh belasan kilometer. Dan.... Bongancina, aku pernah ke sana dua kali. Mampukah aku? Mungkinkah aku? Namun..... bila panggilan itu tiba, akan kubiarkan semua mengalir bagai aliran air di sungai. 
 
Senin ini, masih dalam rangka liburan Lebaran. Namun suami tidak bisa mengiringi jejak langkahku, karena harus mempersiapkan seminar yang akan mereka selenggarakan. Adi akan mengadakan sesi pemotretan bersama teman-teman, Yudha sudah asyik berkumpul bersama sekeha layang-layangnya, Ayu dengan setumpuk setrikaan. Maka, kupersiapkan sebuah perjalanan panjang.

Waktu menunjukkan pukul 8, tatkala motorku menyusuri jalan raya sepanjang Tegallantang, mengarah ke Dalung, Kapal, jalan raya Dps - Gilimanuk, hingga Selemadeg. Jalan terasa lenggang karena jarang kendaraan melintas. Tiba di Suraberata, aku berbelok ke kanan, naik ke arah perbukitan, Kedatuan, Kalawista, Belatungan, dan Bongancina. Hingga akhirnya, 1.30 menit kemudian, tiba di rumah sang mempelai wanita. 
 

 


 

Kulihat, keluarga besar dari Jeroan Batuaji Kelod sudah berada di sana. Ada Sang Mangku, ada pula paman yang Kades Batuaji, Dewa Ajik Dewa Nyoman Suagiman, dan keluarga lainnya. Segera kusingsingkan lengat baju, dan lanjut ikut terlibat membantu berbagai hal yang mungkin kulakukan.
 
 
 
 
Pukul 11.00, rombongan mempelai tiba. Ya, Desak Putu Putri telah berada di Karangasem semenjak dua hari lalu, di rumah calon suaminya, yang merupakan seorang anggota Korps Kepolisian, dan bertugas di Polda Bali. Hari ini mereka akan melakukan sungkeman, dan berpamitan pada pihak keluarga mempelai putri.








 
Sungguh menyenangkan, bisa menjadi saksi dan bagian, dari berbagai peristiwa yang ada di muka bumi ini, dan turut terlibat secara emosional. Astungkara, hangayubagia, semoga hanya damai dan harmoni yang tercipta di antara kita semua, di berbagai belahan dunia, tanpa memandang warna yang ada........

Pukul 13.30, seluruh rangkaian acara telah tuntas di Bongancina. Sang paman menghantarkan anaknda tercinta menuju ke Karangasem. Dan, aku berpamitan pada seluruh keluarga besar, untuk kembali melanjutkan perjalanan, menuju tempat lainnya.

Dari Bongancina, aku bergerak menuju Pupuan, lalu Kekeran, dan, tiba di Desa Bubunan. Berbelok ke kanan, kususuri jalan, memintasi Pura Dalem Desa Pekraman Bubunan, dan tiba di Desa Banjar, pukul 14.30. Masih sempat kusaksikan sejenak kegiatan yang berkaitan dengan Pitra Yadnya Dadia Arya Kenceng, keluarga Pucangan, Banjar, yang akan dilangsungkan keesokan harinya, Anggara Paing Sungsang, 21 Agustus 2012, di Desa Banjar.












Selanjutnya, aku bergerak menuju ke arah jalan Wihara Ashram Dharma, dan tiba di Gang Srikandi. Dengan dihantar oleh seorang perempuan tua yang dengan sukarela menawarkan diri menjadi penunjuk arahku, aku tiba di rumah Putu Singgih Permana. Seorang lelaki tua menyapaku ramah, bapaknya si Putu.

Putu akan menikah. Namun, berkali tanggal tersebut mengalami perubahan, dari semula bulan Juli, kemudian bergeser, tanggal 18 Agustus, kemudian tanggal 20, tanggal 22, dan akhirnya, tanggal 23 Agustus 2012. Upacara pernikahan bakal dilangsungkan di Jalan menuju Vihara Ashram Dharma, Gang Srikandi, Banjar Tegehe, Desa Banjar, Singaraja.






Mulanya aku telah menghubungi beberapa rekan, seperti Pak Kantha Adnyana, Pak Nyoman Suharta, untuk bersama menuju Singaraja memberi motivasi pada Putu, bahkan, memesan sebuah kendaraan mobil sewaan, bagiku dan keluarga, juga para sahabat sekolah Putu dan Maysiah, seperti Dian Akadianti, Rudy, Santi, Bu Agung. Namun perubahan berkali membuatku tidak bisa mengikuti kembali. Maka, pada hari Senin, 20 Agustus 2012, setelah mengunjungi kerabat di Bongancina, aku bergerak ke Banjar, mengunjungi Putu dan May, juga para kerabat mereka.
Putu Singgih Permana dan Maysiah, anak-anakku terkasih........
Hidup, tidak lah selalu indah. Kalian memasuki gerbang mahligai rumah tangga. Perjuangan tidak berhenti hingga disini. Tetaplah tegar berpijak selalu, pada bumi dimana kalian berada, dan menjunjung tinggi langit di mana pun kalian berada. Tersungkur berkali, bangkitlah kembali berkali dan berkali, anakku.......
 
Tuntas hingga pukul 15.15 di rumah tersebut, aku kembali bergerak melanjutkan perjalanan. Menuju Asah Gobleg. "Jalan ini rusak parah, bu. Namun akan membuat jarak tempuh lebih cepat satu jam" Demikian pesan Putu padaku. Hmmm, kenapa tidak, naluri petualang memicuku untuk mencoba tantangan ini.

Well, meski dengan berkali harus tegang melewati jalan terjal, menaik dan menurun curam, lubang menganga, nyaris meluncur bebas ke bawah bukit, kunikmati perjalananku tersebut. Dan.... bukankah, jalan menuju ke Sepang, jauh lebih tragis lagi. Hehehe......
 
 

Setelah Asah Gobleg terlewati, Pedawa, dan....... amazing view of Tamblingan Lake menyambutku, wooowwww. Indahnya karunia Tuhan, membuatku tak henti berdecak mengagumi. Selanjutnya, kembali amazing view of Beratan Lake. Ah ha..... indahnya negeri nusantara ini, tak kan pernah cukup untuk dikomentari......
 

 


 


Melalui Sembung, Kapal, dan tiba di rumah pukul 7 malam, keluarga menyambutku dengan sepenuh sukacita. Aku membersihkan diri, dan..... seperti biasa, tugas sehari-hari, langsung mencuci pakaian kotor sehabis bepergian jauh, menjemurnya dengan rapi, lanjut bersembahyang bersama, lalu berbagi ceritera sebelum tertidur bersama anggota keluarga.


Angayubagia, Sang Hyang Widhi, masih Dikau perkenankan aku menikmati hari-hari dengan sepenuh syukur, dengan berbagai pengalaman, yang akan semakin membuka cakrawala pengetahuanku, hingga menjadi pribadi yang bijak dan dewasa, dari hari ke hari.........

Putu Singgih Permana & Maysiah

Akhir September tahun 2010. Seorang pemuda tiba di depan SD malam hari. Di dalam kelas sedang berlangsung proses belajar mengajar Kelompok Belajar Paket A, B, dan C. Situasi di pintu gerbang salah satu SD di dekat persimpangan jalan Teuku umar, dan Imam Bonjol tersebut dalam kondisi gelap. Aku tak bisa melihat jelas, namun yakin, dia adalah Putu, yang berjanji akan tiba menemui ku. Dia hanya terdiam di depan gerbang, tidak beranjak. Kami menghampirinya, kuajak dia untuk masuk dan berdiskusi bersama.



Dia terdiam, tidak berani mengawali pembicaraan. Hanya untaian jawaban ya dan tidak, yang diajukan mengomentari tiap pertanyaan. Disodorinya selembar berkas fotokopi ijasah bagi persyaratan melanjutkan pendidikan pada lembaga pendidikan yang melaksanakan Program Kelompok Belajar Paket C, dimana aku menjadi salah satu tenaga pengajar.

Pemuda di hadapanku, terlihat tatapan matanya cerdas, namun menolak untuk bertatap muka secara langsung, terlihat gelisah dan ingin segera berlalu dari ruang dimana kami berkumpul. Curiga an, dan tidak mudah percaya pada orang lain. Tipikal pemuda kritis yang ingin memperlihatkan jati diri dan eksistensi. Keingintahuan yang besar dan terkadang sering terkesan sebagai pemberontak atau pembangkang...... 

Di ruang dengan cahaya lampu terang ini, terlihat jelas tato di lengannya menyembul keluar dari lengan baju. Namun aku percaya, baik dan buruk seseorang tidak diukur dari banyaknya tato di tubuh..... Hmmm, namun tekadku ingin membuka cakrawala dunianya, bahwa, masih banyak orang yang sungguh peduli pada sesama, yang menginginkan kemajuan bagi orang lain pula, yang bisa membuat masa depannya semakin cerah bila dia membiarkan dirinya berkembang dan melangkah ke depan.

Pertemuan itu adalah pertemuan pertama. Aku hanya mengenalnya melalui dunia maya, lewat jejaring internet, yakni face book. Tulisan-tulisannya mencerminkan pandangan luas dengan jawaban logis, mengenai kegelisahan jiwa muda, tentang berbagai topik, mulai dari spiritual, sosial, pengalaman, dan juga keinginan2 nya. Dan, sesungguhnya, banyak karya nya, baik berupa coretan gambar, maupun tulisan, yang memperlihatkan, sesungguhnya dia orang religius dan romantis.

Dia menyebutku dengan ibu. Dan, hal sama juga bagi banyak orang, aku tidak suka memaksakan kehendak pada orang lain, atau mendekatkan diri dalam berbagai urusan orang lain, meski dia menganggapku sebagai ibu. Jika kita bisa melakukan sesuatu demi kebaikan orang lain, sesuai dengan batas kemampuan kita, kenapa tidak? Maka, hari-hari selanjutnya, bergulir bagai bianglala yang warnai setiap sisi kehidupan. Dia berjuang dengan segala cara dan gayanya, khas seorang yang berjiwa muda dn kritis......



Kami berkali melakukan kegiatan bersama, seperti persembahyangan ke Pura Luhur Sad Kahyangan Lempuyang, bersama sahabatnya, dan juga Ayu, simbok, pada tanggal 21 Januari 2011.














Ke Pura Besakih, pada tanggal 3 April 2011, bersama Ayu dan pak Albertus Djatmiko Armadi, sahabatku dari Malang, yang kebetulan sedang berada di Bali.


Lalu berikutnya, dia memperkenalkan pacarnya. Hmmm, seorang perempuan yg penuh kelembutan. Maysiah, seorang gadis cantik dari Lombok. Tatapan ramah yang bisa meneduhkan hati Putu, yang terkadang sering meledak karena emosi jiwa mudanya. Gadis cerdas ini akan menjadi teman debat Putu yg seimbang, dan sangat cocok mendampinginya. Hehe... kudoakan, semoga mereka bisa menjalani hari demi hari dengan bersama.....



Dan, kemudian, bagaikan tiada hari dimana mereka jalani terpisah..... Dimana ada May, disitu pula bergulir kisah tentang Putu. Mereka bagai pasangan mur dan bautnya. Banyak suka dan duka mereka untai bersama, terjatuh dan terpuruk, gelisah dan amarah yang sertai hari-hari mereka, kesedihan dan nelangsa yg mendera, hingga nyaris memisahkan mereka berdua.

Aku selalu membiarkan mereka secara bijak merpikir dan memutuskan pilihan hidup mereka. Suka atau tidak, mereka bertanggungjawab atas jalan hidup yang mereka ambil sebagai pilihan. Termasuk banyak keputusan besar yang akan menentukan arah langkah masa depan mereka, seperti Sudi Wedani, dan Menikah.......


Ke Pura Dalem Pengembak, pada tanggal 24 November 2011.  Kembali kami melakukan kegiatan bersama, bersembahyang bersama suami dan kedua anakku.









Ke Pura Besakih, pada tanggal 26 Februari 2012, dalam rangka sudi wadani Maysiah, bersama YJHN. Aku berangkat bersama Ayu dengan mengendarai motor. Bergabung dengan rombongan mereka di Penataran Agung Pura Besakih, dan kemudian memisahkan diri dari rombongan, kembali pulang terlebih dahulu.








Ke Pura Gunung Payung, lanjut menuju Pura Niti Bhuwana STPNDB, dan kemudian Pura Jagatnatha Puja Mandala, di Nusa Dua pada tanggal 8 April 2012. Kembali aku berangkat bersama Ayu, Putu dan Maysiah.







Ke Pura Petitenget pada tanggal 10 Juni 2012, bersama pak Miko dan keluarga ku dari Pontianak, Dw Byang Desak Ketut dan kedua anaknya yg kuliah di Bali. Alit, baru di terima di kelas internasional STIKOM Denpasar. sedang Ayu baru wisuda dari fakultas Sastra Inggris Universitas Udayana.

Dan, akhirnya, berita bahagia kuterima. Mereka akan menikah. Namun, berkali tanggal tersebut mengalami perubahan, dari semula bulan Juli, kemudian bergeser, tanggal 18 Agustus, kemudian tanggal 20, tanggal 22, dan akhirnya, tanggal 23 Agustus 2012. Upacara pernikahan bakal dilangsungkan di Jalan menuju Vihara Ashram Dharma, Gang Srikandi, Banjar Tegehe, Desa Banjar, Singaraja.









Mulanya aku telah menghubungi beberapa rekan, seperti Pak Kantha Adnyana, Pak Nyoman Suharta, untuk bersama menuju Singaraja memberi motivasi pada Putu, bahkan, memesan sebuah kendaraan mobil sewaan, bagiku dan keluarga, juga para sahabat sekolah Putu dan Maysiah, seperti Dian Akadianti, Rudy, Santi, Bu Agung. Namun perubahan berkali membuatku tidak bisa mengikuti kembali. Maka, pada hari Senin, 20 Agustus 2012, setelah mengunjungi kerabat di Bongancina, aku bergerak ke Banjar, mengunjungi Putu dan May, juga para kerabat mereka.


Putu Singgih Permana dan Maysiah, anak-anakku terkasih........
Hidup, tidak lah selalu indah. Kalian memasuki gerbang mahligai rumah tangga. Perjuangan tidak berhenti hingga disini. Tetaplah tegar berpijak selalu, pada bumi dimana kalian berada, dan menjunjung tinggi langit di mana pun kalian berada. Tersungkur berkali, bangkitlah kembali berkali dan berkali, anakku.......