Kamis, 29 Agustus 2013

Aku Mati Rasa.....

Aku mati rasa..... di hari Selasa.


Selasa, 27 Agustus 2013. Sudah semenjak seminggu ini simbok bekerja jadi penjual teh es di kantin sekolah salah satu SMP di Dalung. Dia diminta salah satu tetanggaku untuk membantunya berjualan di sana.

Well. Sudah selama tujuh tahun dia tinggal bersamaku, mengasuh kedua anakku semenjak mereka masih bayi. Kusekolahkan dia dari hanya tamatan SD, hingga kini dia telah miliki ijasah SMA. Biarlah, dia menentukan masa depannya. Dan, tetap kuijinkan dia tinggal bersama kami, menumpang makan dan tidur. Dia berangkat bekerja dari pukul 7 pagi hingga pukul lima sore hari. Bahkan, kubungkuskan bekal makan siang baginya setiap hari sebelum berangkat kerja.

Terganggu kah aku dengan bekerjanya simbok, yang adalah asisten rumah tanggaku pula?? Tidak juga. Karena semenjak awal dia bersama kami, aku juga adalah perempuan bekerja, kuliah, dengan tetap mencuci sendiri semua pakaian keluarga, memasak, beres-beres rumah. Kubiasakan anak-anak juga untuk ikutan bekerjasama dan terlibat dalam beragam urusan rumah tangga, dari bangun tidur, menyapu dan beres rumah tangga pula.

Semenjak seminggu ini, kugandakan kunci pintu rumah, kuberi pada anak-anak untuk mereka bawa dan jaga pula, seandainya mereka pulang terlebih dahulu, sementara orangtuanya masih bekerja. Namun memang kubutuhkan sesekali waktu sejenak untuk menenangkan diri..... Dan, terjadilah hal tak terduga ini.......

Pulang dari mengajar seharian yang sungguh melelahkan, empat kelas hari ini, aku tiba di rumah pukul lima. Langsung mandi agar tubuh kembali segar, sambil kucuci se ember pakaian kotor, dan lanjut menjemurnya. Suami menyiram tanaman di pekarangan, simbok menghangatkan lauk untuk makan malam kami. Aku ingin minum segelas penuh air putih sebelum rebahan sejenak. ku ambil gelas, dan mulai menuang dari dispenser kami..... kuminum, dan.... kumuntahkan kembali. Duh..... air panas mendidih dari dispenser kami, sudah setengah gelas di dalam mulutku.

Kuambil lap pel, dan, segera kuminum air dingin sebanyaknya. Mulutku panas terbakar. Aaarrgghhh, aku mati rasa. Air mata meleleh, lanjut rebahan. Anak-anakku berbaring di sampingku pula, sambil menghibur. Enjoy aja dah...... nikmati dan syukuri semua yang ada. Tiga hari mulutku terasa tebal dan mati rasa......

Selasa, 27 Agustus 2013

Gung Gek Ika.... Kisah seorang anak perempuan kecil.









Senin, 19 Agustus 2013, adalah hari pertama kami mengajar. Minggu lalu adalah minggu perdana perkuliahan untuk semester ganjil tahun ajaran 2013-2014 di Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali, dan diisi dengan berbagai pengenalan struktur program, sistematika perkuliahan, para dosen dan pegawai, penyusunan kartu rencana studi, pemantapan sikap dalam menempuh perkuliahan di lingkungan kampus. Minggu ini kami mulai dengan program belajar mengajar secara aktif, baik untuk teori dan juga praktek.

Jadwal perkuliahan telah selesai dicetak dan juga dikirim kepada masing2 alamat email para dosen.
Para dosen sudah mengetahui akan memegang mata kuliah apa berdasar jadwal perkuliahan sementara, kami mulai mengajar ke berbagai kelas yang telah ditentukan dimana para mahasiswa berada.

Pukul dua siang, ibu Mirah panik. Dosen yang duduk di sebelah meja ku ini mendapat telepon dari adikkandungnya, bahwa Gung Gek Ika tidak ditemukan di sekolahnya. Ahhh......

Dra. I Gusti Ayu Mirah Darmayanty, M.Si,  memiliki rasa persaudaraan yang begitu erat terhadap keluarga besarnya. Meski Gung Gek Ika hanya keponakan, namun beliau yang merawatnya semenjak masih bayi. Dan, kini, Gung Gek Ika tidak ditemukan setelah jam pulang sekolah usai pukul dua siang oleh Gung Dewi, tantenya. Kepanikan melanda keluarga mereka. Ibu Mirah harus mengajar tepat pukul dua siang. Ahhh.....

Aku tahu, bagaimana rasanya panik dan kecemasan melanda saat tidak bisa mengetahui dan mengendalikan situasi. Aku terbayang saat anakku alami kecelakaan tabrakan naik sepeda ke sekolahnya, sedang aku tak disisinya. Aku terbayang saat orangtuaku meninggal, aku tak disisinya. Aku teringat masa-masa Kelompok Peduli Kampus, dan dikucilkan banyak orang yang memfitnah, menuduh, menjauhi tanpa bisa kupahami apa salahku atas segala intrik dan politik yang mereka permainkan dan perebutkan. Selama berhari, berminggu, berbulan, bertahun sesudahnya, banyak doa kugelar demi keselamatan mereka. Aku teringat, saat harus berjuang sendirian tanpa siapa pun dapat mendampingiku melewati masa-masa berat. Tiada tempat bersandar, tiada tempat untuk dimintai bantuan.

Dan, kini, seorang sahabat dalam situasi panik. Aku harus melakukan apa yang mungkin bisa kulakukan deminya...... Kuajak dia bersiap pulang bersama motor yang kukendarai. berganti pakaian untuk berkendaraan, dan meluncur melaju di jalan raya Nusa Dua Denpasar. Kuhantar beliau hingga ke rumahnya, namun menolak, dan memilih turun di halte bis Sarbagita Jimbaran, yang menuju ke arah kota. Well.... terus kupantau berita mengenai Gung Gek Ika.

Pukul lima sore, saat kudapati info dari ibu IGA Mirah, bahwa Gung Gek Ika ternyata ikut pulang ke rumah sahabatnya yang terletak di deretan rumah bedeng, dan asyik mengajari para sahabatnya yang belum bisa menulis. Ahh...... dasar anak-anak !!! Tidak menyadari para orangtua cemas dan hampir melaporkan kehilangan anak ke kantor polisi.



Sabtu, 24 Agustus 2013

Pujawali ring Padma Pondok kami ring Tumpek Landep, Hari ini.... 24 Agustus 2013








Sabtu, 24 Agustus 2013. Warga Hindu di Perumahan kami mengadakan piodalan atau pujawali di Pura Padma. Piodalan merupakan upacara Dewa Yadnya yang disebut juga pujawali. Kata wali mengandung pengertian: wali berarti wakil dan wali berarti kembali. Wali yang berarti wakil mengandung makna simbolis filosofis bahwa banten itu merupakan wakil daripada isi alam semesta yang diciptakan oleh Sang Hyang Widhi. Wali yang berarti kembali mengandung makna bahwa segala yang ada di alam semesta ini yang diciptakan oleh Sang Hyang Widhi dipersembahkan kembali oleh manusia kepadaNya sebgai pernyataan rasa terimakasih




Sudah semenjak hari Rabu, 21 Agustus 2013, kami, para ibu umat Hindu, ngaturang ngayah. Ngayah bersama, mulai dari mejejahitan dan nanding bebantenan, kami lakukan di aula perumahan kami. Mulai dari pukul 7 malam hingga pukul 10 malam hari. Hal ini sudah semenjak bertahun lalu kami lakukan. Maknanya untuk mempererat persahabatan dan pertetanggaan di antara kami semua. Dari yang tidak tahu beragam hal tentang banten bagi upacara dan upakara piodalan, hingga yang paham banten, seperti ibu Ida Ayu Puspaadi, dan Ibu Laswitarini.





Aku sungguh kagum pada para ibu ini. Mereka bersungguh meluangkan waktu di tengah kesibukan urusan rumah tangga dan juga pekerjaan kantor, bersama menggalang kebersamaan menuntaskan urusan per bantenan. Mungkin, bagi sebagian orang, umat Hindu hanya menghabiskan waktu, biaya dan juga tenaga demi banten, banten dan banten, urusan upakara dan upacara. Namun, dibalik itu semua, ada makna historis, menjaga, melestarikan dan mengembangkan warisan leluhur, suatu genius local wisdom. Makna kebersamaan, dimana di kota, dengan beragam kesibukan, menyebabkan bahkan tetangga hanya sempat menyapa tetangga lainnya bila berjumpa di jalan. Makna kerja sama, karena beragam upaya dilakukan demi tercapainya hasil yang diinginkan. Makna ujian kesabaran, karena bekerjasama dan berada bersama dengan orang dari beragam latar belakang budaya, pendidikan, dan juga pengalaman.

Ibu Ida Ayu Sri Puspaadi, S.Pd., M.Si., adalah juga rekan kerjaku di Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali. Di samping sibuk sebagai sesama dosen, beliau adalah seorang pakar per banten an. Dengan menjadi ibu dari tiga orang anak, tanpa pembantu, dan juga harus pulang pergi ke kampung di Tabanan dan di Gianyar, karena ada upacara ngaben di kampung, sudah tentu menjadi hal yang sangat melelahkan. Namun beliau masih menyempatkan diri meluangkan waktu untuk ngaturang ngayah bersama kami semua.

Ibu Laswitarini, juga tamatan master. Namun tidak sombong, mau tetap duduk bersama kami, mengajari kami masalah per banten an. Istri dari bapak Made Sudana ini sungguh cekatan dalam bekerja. Ada juga ibu Ngurah. Istri dari I Gusti Ngurah Putu Suarya ini adalah tipe pekerja keras yang tetap ramah dan mau memberi penjelasan mengenai mejejaitan yang tidak kami pahami. Sungguh kami senang bekerja sama dan di motivasi oleh para ibu yang penuh semangat ini.






Piodalan di Pura di lingkungan perumahan kami jatuh pada Tumpek Landep.

Sabtu Kliwon Wuku Landep. Pada Tumpek Landep, umat Hindu memuja Ida Sang Hyang Widhi dalam prebawa-nya sebagai Sang Hyang Pasupati yang telah menganugerahkan kecerdasan atau ketajaman pikiran sehingga mampu menciptakan teknologi atau benda-benda yang dapat mempermudah dan memperlancar hidup, seperti sepeda motor, mobil, mesin, komputer (laptop) dan sebagainya. Tetapi dalam konteks itu umat bukanlah menyembah mobil, komputer, tetapi memohon kepada Ida Sang Hyang Pasupati agar benda-benda tersebut betul-betul dapat berguna bagi kehidupan manusia.


Landep dalam Tumpek Landep memiliki pengertian lancip. Secara harfiah diartikan senjata tajam seperti tombak dan keris. Benda-benda tersebut dulunya difungsikan sebagai senjata hidup untuk menegakkan kebenaran. Secara sekala, benda-benda tersebut diupacarai dalam Tumpek Landep.

Namun dalam konteks kekinian, senjata lancip itu sudah meluas. Tak hanya keris dan tombak, juga benda-benda hasil cipta karsa manusia yang dapat mempermudah hidup seperti sepeda motor, mobil, mesin, komputer dan sebagainya. Benda-benda itulah yang diupacarai. Namun harus disadari, dalam konteks itu umat bukanlah menyembah benda-benda teknologi, tetapi umat memohon kepada Ida Sang Hyang Widi dalam prebawa-nya sebagai Sang Hyang Pasupati yang telah menganugerahkan kekuatan pada benda tersebut sehingga betul-betul mempermudah hidup.




Setelah selesai ngayah selama 3 hari ber turut-turut, hari Sabtu, 24 Agustus, tiba hari dimana kami melangsungkan piodalan. Biasanya piodalan Pura berlangsung pada sore hingga malam hari, namun kali ini berlangsung pagi hari. Pinandita pemuput, bapak Mangku Made Sedana Putra, SE., MM., melangsungkan prosesi semenjak pukul 10 pagi hari. 

Kami, para umat Hindu di lingkungan perumahan, sudah bersiap semenjak pukul 8 pagi, menata banten pecaruan, munggahan daksina, pejati, sodan banten, dan lain-lain perlengkapan.




Para bapak dan ibu melantunkan kidung yang melambangkan pujaan pada kebesaran Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Kemudian kami bersiap melangsungkan prosesi yang pertama. Mecaru.









Upacara Mecaru bisa juga disebut Butha Yadnya, ini adalah suatu upacara untuk menjaga mengharmoniskan hubungan antara manusia dengan alam lingkungan sekitarnya, sementara caru sendiri arti nya cantik atau harmonis (kitab Samhita Swara). Pada upacara ini dibuatkan Caru/persembahan  menurut kemampuan dari yang melaksanakannya. Pecaruan sendiri merupakan penyucian/pemarisudha Bhuta Kala dan segala kotoran  yang ada dan berharap  semoga sirna semuanya dan menjadi suci kembali. Caru/persembahan berisikan atau terdiri dari; nasi manca warna (lima warna), lauk pauknya ayam brumbun (berwarna-warni) disertai tetabuhan arak/tuak. Permohonan ini ditujukan kepada Sang Bhuta Raja, Bhuta Kala dan Bhatara Kala agar supaya mereka tidak mengganggu umat manusia.
Butha Yadnya pada hakekatnya merawat lima unsur alam yang disebut panca maha butha (tanah, air, api, udara dan ether). Kalau kelima unsur alam itu berfungsi secara alami maka dari kelima unsur itulah lahir tumbuh-tumbuhan. Seperti kita ketahui bahwa tumbuh-tumbuhanlah sebagai bahan dasar makanan hewan dan manusia. Kalau keharmonisan kelima unsur alam itu terganggu maka fungsinya pun juga akan terganggu.
Upacara mecaru ini berfungsi untuk menanamkan nilai-nilai luhur dan spiritual kepada umat manusia agar selalu menjaga keharmonisan alam, lingkungan beserta isinya (wawasan semesta alam). Sementara makna upacara mecaru sendiri adalah kewajiban manusia merawat alam yang diumpamakan badan raga Tuhan dalam perwujudan alam semesta beserta isinya.








































Pada malam harinya, kembali kami berkumpul di pura, bersama anggota keluarga, suami, istri, juga anak-anak, melakukan persembahyangan bersama, sekaligus menikmati hidangan yang dibikin bersama secara sederhana.
































Minggu, 18 Agustus 2013

Kisah di balik layang-layang........ Bukan cuma sekedar layangan biasa.





Masih kuhapal lagu masa kanak dahulu......

Ku ambil bambu sebatang
Ku potong sama panjang
Ku raut dan kutimbang dengan benang
Ku jadikan layang-layang.....

Bermain, berlari.....
Bermain layang-layang
Bermain, dan kubawa ke tanah lapang
Hatiku riang gembira......





Putra ke duaku, bersama para sahabatnya di perumahan Pondok kami, terdiri dari beragam remaja dengan beragam latar belakang budaya, kepribadian, dan juga kemampuan masing-masing. alah satunya, dengan merancang bersama, membuat bareng, dan juga menaikkan layang-layang dengan beragam bentuk dan ukuran tersebut.

Entah sudah berulang kali kudapati beragam informasi...... "Mak, adek Yudha kena pecahan kaca kakinya saat lompat naik ke pagar tembok rumah orang untuk mengambil layangannya yang putus" Ujar putra sulungku, Adi, suatu ketika. "Bu, Yudha memakai pisau untuk mejejaitan banten, untuk memotong bambu layangannya", ujar simbok, saat aku bingung mencari pisau dan gunting yang hilang, padahal akan segera kupakai.




Well....

Anak-anak..... akan tetaplah anak-anak, dengan segala keceriaan dan ide-ide kreatif mereka, dalam berbagai ruang hidup dan kehidupan yang mereka miliki. Bahkan, terkadang menakjubkan bila mengingat betapa tenaga dan semangat mereka selalu mengalir deras seolah tiada henti......




Pada hari kemerdekaan Republik Indonesia ke 68 kemarin, mereka bahkan mengikuti perlombaan layangan yang diadakan oleh para pemuda Banjar Umedui. Beramai-ramai mereka menggotong lima buah layangan yang berukuran raksasa, dan sangat berat. Meski pada akhirnya, tak satupun dari layangan mereka yang mendapat gelar juara, namun kami semua sangat bangga..... Bukan Juara dan Piagam Penghargaan, serta sejumlah uang, yang menentukan keberhasilan mereka, namun usaha dan kerja keras, semangat dan kebersamaan, yang sungguh mengagumkan..... dalam mewujudkan keinginan dan harapan mereka bersama....







Layang-layang sudah lama dikenal sebagai permainan tradisional anak-anak di seluruh Indonesia. Mainan ini mudah dibuat. Bahan dasarnya adalah kertas, potongan bambu kecil, dan lem. Untuk memainkannya, layang-layang diterbangkan ke angkasa dengan segulung benang gelasan yang bisa ditarik-ulur. Di angkasa layang-layang diadu. Siapa yang terlebih dulu memutuskan benang lawan, dialah pemenangnya.





Seutas tali cukup bagi sebuah layangan sederhana, namun mereka bekerja sama dan mengumpulkan uang bersama pula, untuk memiliki gumpalan benang khusus bagi layangan mereka.....




Layang-layang juga berfungsi menjalin kebersamaan di tengah masyarakat...... Seorang bapak yang menggendong putranya, menyaksikan perlombaan layangan, seorang ibu berbincang dengan sahabatnya, sambil menggendong anjing kesayangan.... kakek dan nenek yang mendampingi para cucu menonton perlombaan.



17 Agustus an di Pondok kami