Minggu, 03 Agustus 2014

Mengulas jejak Rsi Markandya, Tamblingan - Sangsit, 19 - 20 Juli 2014










Ibu Mangku mengirim sebuah pesan pendek di mobile phone ku, mengajak untuk bepergian bersama. Ah, sudah lama kami tidak bepergian bersama, bersembahyang, sekaligus mekemit, atau bermalam di salah satu pura di danau Tamblingan. Kuputuskan untuk bergabung dan mempersiapkan diri.

Hari Sabtu pagi,19 Juli 2014, jam 7, kami bergerak menuju danau Tamblingan. kubawa canang dan dupa sebagai persiapan bersembahyang.
adalah sebuah danau yang terletak di lereng sebelah utara Gunung Lesung, kawasan Desa Munduk, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, Bali. Danau ini merupakan satu dari tiga danau kembar yang terbentuk di dalam sebuah kaldera besar. Di sebelah timur berturut-turut terdapat Danau Buyan dan Danau Beratan. Diapit oleh hutan disekelilingnya serta dikarenakan letaknya di dataran tinggi membuat lingkungan danau ini berhawa sejuk.
Sebagai salah satu objek wisata alam, Danau Tamblingan tidak dikembangkan ke arah pariwisata modern demi menjaga kelestarian alam dan lingkungannya. Yang menjadi daya tarik utama tempat ini bukan hanya pesona alamnya, namun juga karena banyaknya pura yang menyimpan sejarah dan perkembangan peradaban dan kebudayaan Bali khususnya menyangkut pembentukan dan perkembangan Desa Tamblingan.
Diceritakan pada abad 10M sampai 14M lingkungan Danau Tamblingan adalah pemukiman yang pusatnya berada di Gunung Lesung sebelah selatan danau. Karena suatu alasan penduduknya kemudian berpindah ke empat daerah berbeda yang jaraknya masih berdekatan dengan areal danau. Keempat desa itu kemudian disebut Catur Desa , yang berarti empat desa yakni : Desa Munduk, Gobleg, Gesing, dan Umejero. Keempat desa ini memiliki ikatan spiritual dan memiliki tanggung jawab dan kewajiban untuk menjaga kesucian danau dan Pura yang ada di sekitarnya.
Nama Tamblingan berasal dari dua kata dalam Bahasa Bali yaitu Tamba berarti obat, dan Elingang berarti ingat atau kemampuan spiritual. Diceritakan dalam Lontar Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul bahwa masyarakat di wilayah itu konon pernah terkena wabah epidemi. Sebagai jalan keluar seseorang yang disucikan kemudian turun ke danau kecil di bawah desa untuk mengambil air untuk obat. Berkat doa dan kemampuan spiritual beliau air itu kemudian dijadikan obat dan mampu menyembuhkan masyarakat desa. Kata Tamba dan Elingang inilah lama kelamaan menjadi Tamblingan.
Oleh karena peradaban ini di kawasan Danau Tamblingan banyak terdapat pura. Pura-pura itu diantaranya :
  1. Pura Dalem Tamblingan
  2. Pura Endek
  3. Pura Ulun Danu dan Sang Hyang Kangin
  4. Pura Sang Hyang Kawuh
  5. Pura Gubug
  6. Pura Tirta Mengening
  7. Pura Naga Loka
  8. Pura Pengukiran, Pengukusan
  9. Pura Embang
  10. Pura Tukang Timbang
  11. Pura Batulepang dll
Perlu dicataat Pura Embang dan Pura Tukang Timbang adalah sebuah kawasan Pura kecil yang dibangun dari batu " bebaturan ". Diperkirakan pura ini adalah peninggalan masyaraakat pra Hindu yang sebelum abad 10M telah bermukim di kawasan ini.












































































































































Bisama/pesan Ida Maharsi Markandeya saka 844 (922M) diwilayah Danau Buyan


PRASASTI Tamblingan yang ditulis pada tahun 844 Saka (922 M), ketika Sri Ugrasena menjadi Raja di Bali menetapkan bahwa wilayah Danau Buyan, Tamblingan dan sekitamya (sekarang dikenal sebagai kawasan Bedugul) adalah kawasan suci. Pada tahun Saka 858 beberapa keturunan Ida Maha Rsi Markandeya yakni warga Bhujangga Waisnawa menetap di Buyan Tamblingan ditugaskan untuk menjaga kesucian kawasan itu. Beliau membangun pura dan pasraman. Raja-rajà dari dinasti Warmadewa berikutnya antara lain Sri Jayapangus di tahun 1177 M dan Sri Bhatara Hyang Hyang Adidewa Paramaswara di tahun 1320 M menguatkan keyakinan kesucian wilayah Buyan-Tamblingan dengan menegaskannya dalam prasasti-prasasti yang berisi “kutukan” (bhisama) bagi pelanggar kesucian






 Lontar Usana Bali, di kawasan Bedugul terdapat pura-pura yang sangat disakralkan oleh seluruh umat Hindu di Bali. Pura-pura itu dibangun pada tahun 1042-1045M oleh Mpu Kuturan, seorang pendeta agung dari Kadiri (Jawa Timur) yang ketika itu dipimpin oleh Raja Sri Jayawarsa Digjaya Sastraprabhu. Mpu Kuturan diminta datang oleh Raja Bali Dwipa, yakni Sri Udayana Warmadewa, keturunan Airlangga untuk memimpin umat Hindu di Bali serta menjaga keajegan Bali