Minggu, 25 Januari 2015

Dahulu aku mencintaimu......




Dahulu aku mencintaimu....
karena kupikir engkau lah pria sempurna bagi hidupku

Seiring berjalannya waktu.....
seiring gerak kehidupan,
seringkali dalam banyak suka dan duka hidup
yang kita temui,
kusadari.....
Engkau bukanlah pria sempurna.

Berkali tak mau kau kabulkan permintaanku
Berulang kau buatku kecewa dan murka
Berbilang waktu kau buat airmata mengalir sia-sia
Bahkan, untuk bermanja sepenuh romansa

Namun yang kutahu, yang kusadari....
Aku semakin mencintaimu dari hari ke hari
Engkau bukanlah pria sempurna
Engkau tidaklah sempurna
Engkau pria yang tampil apa adanya
Dan aku semakin mencintaimu, sangat mencintaimu......

Kekasih hatiku,
Suamiku,
Bapak dari kedua putraku
Kakak dan teman curcolku
Musuh di setiap debatku,
Selimut tidurku,
Tempat kusandarkan segala beban hidupku.....

Minggu, 18 Januari 2015

Siwa Ratri


Coma Pon Pahang, Senin, 19 Januari 2015. Hari Raya Siwaratri bagi umat Hindu. Hari yang dikenal sebagai pengendalian diri dari sikap egois dan emosi.

Umat Hindu berupaya mengendalikan diri dari beragam sifat dan sikap negatif. Sikap ini terwujud dalam rangkaian hari-hari yang mereka miliki, baik itu . mengapa, karena sikap ini akan senantiasa meningatkan kita semua, bahwa dengan pengendalian diri, akan terhindar konflik batin dan konflik antar umat. Dengan pengendalian diri, akan terjaga toleransi dan terjalin kebijakan di setiap tindakan. Dengan pengendalian diri, setiap orang menjadi dewasa dalam mencapai tujuan hidupnya.
 
Pada dasarnya dalam diri manusia ada dua kecenderungan, yakni kecenderungan berbuat baik dan kecendrungan berbuat jahat. Dua kecenderungan tersebut,  yaitu :
  1. Daiwi Sampad, yaitu sifat kedewaan.
  2. Asuri Sampad, yaitu sifat keraksasaan.
Daiwi Sampad bermaksud  menuntun perasaan manusia ke arah keselarasan antara sesama manusia.
Sifat – sifat ini perlu dibina. Perkembangan kecendrungan sifat – sifat Daiwi Sampad dan Asuri Sampad pada manusia ada yang timbul karena faktor luar dan ada pula faktor dari dalam diri sendiri, serta ada pula dari kedua faktor tersebut.

Manusia didalam bertingkah laku sangat di pengaruhi oleh tiga sifat yang disebut Tri Guna, Tri Guna adalah tiga macam sifat manusia yang mempengaruhi kehidupan manusia. Tri Guna terdiri dari :
  1. Satwam atau sattwa adalah sifat tenang.
  2. Rajas atau rajah adalah sifat dinamis.
  3. Tamas atau tamah adalah sifat lamban.
Tri Guna terdapat didalam diri setiap manusia hanya saja ukurannya berbeda – beda. Tri Guna merupakan tiga macam elemen atau nilai – nilai yang ada hubungannya dengan karakter dari makhluk hidup khususnya manusia

I Wayan Sudira (2012) menjelaskan bahwa sudah seharusnya seseorang yang mendalami dan memahami ajaran agama, mengaplikasikan ajaran tersebut pula di dalam kehidupannya. Seharusnya lah, ajaran agama mampu membuat seseorang menjadi semakin bijak, dari perilaku yang tidak baik (seperti: . Dari belengu Asuri Sampad menjadi Daivi Sampad. Dari pengaruh Danawa (sifat-sifat destruktif raksasa) menjadi perilaku Madhawa (Dewa / kemuliaan). Dari Wisya (racun, bencana, ketidak beruntungan) menjadi matemahan Amerta (penghidupan, karunia, kemuliaan)

Terkadang, orang bisa terjerat kesombongan, iri hati dan keinginan berkuasa. Dengan semangat Siwaratri, berpuasa dan pengendalian diri berkali-kali, beragam energi negatif dan destruktif / merusak ini di somya, dilebur, dikikis dan dikendalikan menjadi kearifan, kecerdasan, dalam menyikapi beragam situasi kehidupan.


Makna Siwaratri
Siwaratri memiliki arti Malam Siwa. Kata Siwa (Sanskerta) bermakna baik hati, suka memaafkan, memberi harapan dan membahagiakan. Siwa merupakan gelar atau nama kehormatan bagi Tuhan, yang diberi nama atau gelar kehormatan Dewa Siwa, dalam fungsi beliau sebagai pemerelina untuk mencapai kesucian atau kesadaran diri yang memberikan harapan untuk kebahagian. Sedangkan kata Ratri artinya malam, malam disini juga dimaksud kegelapan. Jadi Siwaratri berarti malam untuk melebur atau memralina (melenyapkan) kegelapan hati menuju jalan yang terang.

Kekawin Siwaratri karya Mpu Tanakung di kalangan masyarakat Hindu di Bali lebih dikenal dengan nama Kekawin Lubdaka. Kekawin ini biasanya dibaca pada hari raya Siwaratri, yaitu pada hari Caturdasi Krsnapaksa artinya panglong ping 14 Sasih Kepitu atau sehari sebelum bulan mati pada bulan magha (ke-7) yaitu malam yang paling gelap di dalam satu tahun.

Ajaran Siwarati bersumber pada : Siwapurana, Padmapurana, Garudapurana, dan Kekawin Siwaratri Kalpa. Mpu Tanakung telah berasil menggubah karya sastra yang bermutu yaitu Kekawin Siwaratri Kalpa atau Lubdaka pada jaman Majapahit (Abad ke-15). Beliau mengambil sumber Padmapurana yang memuat percakapan antara Dilipa dengan Wasistha. Bagian Uttara Kanda dari Padmapurana sangat dekat dengan kekawin Siwaratri Kalpa. Bagian-bagian tertentu dalam kekawin Siwaratri Kalpa merupakan terjemahan dari sumber tersebut. Dengan menggubah kekawin Siwaratri Kalpa, Mpu Tanakung bermaksud menyebarluaskan cerita itu lewat media seni sastra.

Siwaratri dan Brata
Hari Raya Siwaratri di Bali dilaksanakan oleh masyarakat dengan melakukan Brata. Berbagai macam Brata atau ajaran tentang latihan pengekangan diri oleh Tuhan Yang Maha Esa bertujuan untuk kembalinya diri manusia kepada kesadarannya yang sejati, yakni atma yang berstana pada diri pribadi seseorang. Kegelapan oleh berbagai fator terutama oleh keterikatan terhadap keduniawian menghambat usaha manusia untuk meningkatkan kwalitas dalam hakekat kehidupan. Kata Brata dalam bahasa Sanskerta berarti Janji, Sumpah, atau kewajiban, laku utama atau keteguhan hati, penyucian diri. Dengan demikian Brata Siwaratri berarti kewajiban sebagai laku utama, atau janji untuk teguh hati, untuk melaksanakan ajaran Siwaratri.

Salah satu ajaran tentang brata adalah Brata Swaratri yang mengandung ajaran yang sangat luhur, guna meningkatkan sradha dan bhakti kita kepada Tuha Yang Maha Esa. Dan melalui brata ini pula seseorang akan dapat meningkatkan keluhuran budhi pekertinya sehingga perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama dapat dicegah, diredam dan dihindari termasuk pula emosi yang dapat meletup dalam kerusuhan sosial yang dapat mengorbankan jiwa dan harta benda.

Brata bertujuan untuk memperoleh kesadaran diri dengan  melenyapkan papa. Kata papa dalam bahasa sanskerta artinya sengsara, neraka, buruk, jahat dan hina.

Brata Siwaratri terdiri dari tiga tingkatan, yaitu :
1. Tingkat Utama yang terdiri dari Monobrata, Upawasa, dan Jagra yang dilaksanakan sekaligus.
2. Brata Tingkat Madya terdiri dari upawasa dan jagra dilaksanakan sekaligus.
3. Brata Tingkat Nista hanya dengan melaksanakan jagra.

Monabrata artinya pantangan bicara atau berdiam diri tanpa bicara
dari pukul 06.00 pada panglong ping 14 sampai pukul 18.00
Tileming sasih Kepitu selama 36 jam.

Upawasa artinya berpuasa tidak makan dan minum lamanya sama dengan monabrata.

Jagra artinya berjaga, bangkit, maksunya tidak tidur selama 36 jam.


Pelaksanaan Brata Siwaratri di India dan di Indonesia
Pelaksanaan Brata Siwaratri di India pada paro petang ke-14 bulan phalguna (februari-maret) hyampir sama dengan di Indonesia yang dilakukan pada paro petang ke-14 bulan magma (januari-februari), yakni mereka tidak tidur selama 36 jam, sembahyang Kepura-Pura Sanghyang Siwa dengan mengucapkan japa pancaksara OM NAMAH SIWAYA. Sejak pagi hingga keesokan harinya menjelang mata hari terbenam.

Berbagai perayaan dan pelaksanaan Brata tidak akan banyak memberikan manfaat bila umat tidak mampu menangkap makna dibalik perayaan atau Brata tersebut, untuk itu hal yang penting adalah merenungkan semua makna keutamaan Brata itu kemudian mengejewantahkannya, menerapkan dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan sosial.

Brata Siwaratri adalah hari untuk meningkatkan kesadaran kita untuk senantiasa memuja keagungan Sanghyang Widi dalam hal ini salah satu abhiseka atau manifestasi utama-Nya adalah sebagai Sanghyang Siwa. Tujuan utama dari Brata Siwaratri adalah melenyapkan sifat-sifat buruk atau jahat dan hina.

Pemujaan terhadap Dewa Siwa dalam upacara Siwaratri karena manusia dalam menghadapi segala hambatan baik yang berasal dari dalam maupun dari luar diri, memerlukan tuntunan dan waranugraha Dewa Siwa sebagai pemeralina segala sesuatu yang menghalangi tujuan suci. Dewa Siwa sebagai penuntun dan pelindung manusia dalam perjuangannya melenyapkan kegelapan batin, menuju kehidupan yang penuh kesadaran, karena hidup yang penuh kesadaran dapat melenyapkan kepapaan dan kesengsaraan.

Orang yang mencapai pencerahan / Enlightment, orang yang telah berhasil berjuang melenyapkan kepapaan adalah orang yang penuh dengan pengendalian diri dalam bidang makan dan minum yang disimboliskan dalam upawasa (puasa). Orang yang penuh pengendalian diri dalam kata-katanya disimboliskan dengan monabrata, dan orang yang selalu waspada dan sadar dalam segala tingkah lakunya sehingga selalu dapat berbuat dharma disimboliskan dengan jagra. Orang yang demikian selalu mendapat perlindungan dan waranugraha dari Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam manifestasi beliau sebagai Dewa Siwa, baik selama hidupnya di dunia maupun di akhirat.




Sumber :
Gorris, R. 1984. Sekte-sekte di Bali. Jakarta: Bhatara Karya Sastra

Mantra, Ida Bagus. 1970. Bhagavad Gita. Denpasar: Parisada Hindu Dharma Indonesia Provinsi Bali.

Pendit, Nyoman S, 1994,  Bhagavad Gita, Jakarta, P.T. Hanuman Sakti, Jakarta.

Putra, I. Gst. Ag, 2003, Panca Yadnya, Pemerintah Propinsi Bali, Kegiatan Peningkatan Sarana dan Prasarana Kehidupan Beragama, Denpasar.

Sudharta, Tjok. Rai dan I.B. Oka Punyatmaja. 2001. Upadesa. Surabaya: Paramita.

Sudharta, Tjok. Rai. 1993. Mendidik Anak Sejak Dalam Kandungan. Denpasar: Upada Sastra.
—————–. 1996. Manawa Dharmasastra. Jakarta: Hanuman Sakti.

Sura, I Gde,dkk.2000. Siwatattwa. Denpasar: Proyek Peningkatan Sarana dan Prasarana Kehidupan Keagamaan.
_____________. 2003. Kamus Istilah Agama Hindu. Denpasar: Proyek Peningkatan Sarana dan Prasarana Kehidupan Keagamaan

I Wayan Sudira

Ida Made Pidada Manuaba, S.Ag., M.Si.