Senin, 30 Juli 2018

PSDP 2018 STP Nusa Dua Bali 23-27 Juli 2018




Melihat sekali lebih baik
daripada mendengar ratusan kali,
Mempraktikkan sekali lebih baik
daripada melihat ratusan kali..
(Vini, Vidi, Vici)

L’Esprit du Corps, semangat jiwa korsa, rasa bangga, rasa memiliki, kebersamaan, disiplin, kompetensi, prestasi, tidak bisa dibentuk hanya dalam semalam, seminggu, bahkan bertahun-tahun. Namun, bisa berawal dari berbagai macam cara, salah satunya adalah dengan Pembinaan Sikap Dasar Profesi.



Pembinaan Sikap Dasar Profesi 2018 kali ini memiliki maskot gajah. Mengapa gajah ? ya, karena tubuh nya besar dengan hati yang juga besar. Sering bila ada pengganggu kawanan ini, maka anggota kawanan gajah tersebut akan mendatangi dan menyerang sang pengganggu. Setia kawan yang merusak ? Enggak lah, mereka memperlihatkan kesetiaan dan dedikasi pada kelompoknya. Gajah mencerminkan kebijaksanaan, keabadian, dan kesabaran. Gajah juga perlambang kepemimpinan yang mampu mengarahkan bawahan mencapai tujuan bersama.



Pembinaan Sikap Dasar Profesi kali ini diikuti oleh 802 calon mahasiswa Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali, dengan 771 orang yang berasal dari calon mahasiswa baru, dan 31 orang merupakan mahasiswa semester 3, 5 dan 7 dari berbagai program studi, yang belum mengikuti atau tidak lulus Pembinaan Sikap Dasar Profesi yang diselenggarakan pada tahun sebelumnya.



Dengan tema Pembinaan Dasar Sikap dan Profesi adalah “Melalui PSDP 2018, kita wujudkan insan pariwisata yang Profesional, Inovatif dan Kreatif serta berjiwa Wirausaha”, diharapkan mahasiswa baru Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali bisa mengembangkan sikap profesional dalam belajar dan bekerja, memiliki prestasi kerja yang sesuai dengan kriteria standar atau kompetensi insan pariwisata dan perhotelan.


Motto PSDP 2018 adalah Discipline, Develop, Dedicate.
Discipline dengan harapan para calon mahasiswa STP Nusa Dua Bali mampu memiliki karakter disiplin, bertanggungjawab terhadap waktu, menegakkan dan mentaati peraturan, serta disiplin dalam bersikap sehingga dapat berkontribusi dalam pembangunan pariwisata Indonesia di masa yang akan datang.


Develop merujuk pada pelaksanaan PSDP 2018 ini para calon mahasiswa STP Nusa Dua Bali mampu mengembangkan seluruh potensi dalam diri sehingga bisa menciptakan ide kreatif yang inovatif, serta berpikiran kritis dalam setiap pemecahan masalah untuk peningkatan karya serta mutu, guna menciptakan Sumber Daya Manusia yang professional di bidang pariwisata.


Dedicate berarti calon mahasiswa STP Nusa Dua Bali diharapkan memiliki rasa dedikasi penuh dalam bentuk pengabdian terhadap almamater, ikut berkontribusi pada seluruh rangkaian kegiatan kemahasiswaan internal maupun eksternal, serta cakap dalam melakukan setiap tugas dan pekerjaan, guna menumbuhkan insane pariwisata yang unggul untuk kemajuan pariwisata Indonesia yang berkelanjutan.



Mengasah Mingis-ing Budhi,
Memasuh Malaning Bumi,
Hamemayu Hayuning Bawana.
Melatih ketajaman budi,
membersihkan angkara murka
Merawat berkah dan anugerah



Sepadan dengan Motto Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali yang berbunyi Solid, Speed and Smart, diharapkan seluruh civitas akademika lembaga ini mempunyai semangat yang solid, mampu berpikir dan bertindak cepat (speed), namun dengan tetap bijak atau cerdas, alias smart. Maka Pembinaan Sikap Dasar Profesi mampu menjadi dasar para calon mahasiswa dalam memasuki dunia pariwisata dan perhotelan secara solid, speed dan smart pula.



Seluruh kelompok pada PSDP STP Nusa Dua Bali terdiri dari 25 kelompok yang merupakan nama-nama gunung di Indonesia, masing-masing kelompok terdiri dari 32 orang calon mahasiswa dengan satu wali kelas yang merupakan senior mereka.


1.Kelompok Kerinci dengan wali kelas Rakanita Yuni, 2. Kelompok Krakatau dengan wali kelas Raka Wira, 3. Kelompok Dempo dengan wali kelas Rakanita Distry, 4. Kelompok Leuser dengan wali kelas Raka Rezy, 5. Kelompok Halimun dengan wali kelas Rakanita Anggun, 6. Kelompok Merapi dengan wali kelas Raka Putra, 7. Kelompok Pangrango dengan wali kelas Raka Dhany, 8. Kelompok Merbabu dengan wali kelas Raka Yoga, 9. Kelompok Muna dengan wali kelas Rakanita Trisia, 10. Kelompok Patuha dengan wali kelas Raka Dewa, 11. Kelompok Bromo dengan wali kelas Rakanita Mila , 12. Kelompok Kelud dengan wali kelas Raka Reza, 13. Kelompok Agung dengan wali kelas Raka Arsa, 14. Kelompok Malabar dengan wali kelas Raka Khrisna, 15. Kelompok Semeru dengan wali kelas Rakanita Ceri, 16. Kelompok Galunggung dengan wali kelas Raka Ryan, 17. Kelompok Rinjani dengan wali kelas Rakanita Berly, 18. Kelompok Ciremai dengan wali kelas Raka Mayun, 19. Kelompok Cikunai dengan wali kelas Raka Kencana, 20. Kelompok Sinabung dengan wali kelas Raka Dika, 21. Kelompok Talamau dengan wali kelas Rakanita Masintia, 22. Kelompok Tampomas dengan wali kelas Raka Ricky, 23. Kelompok Arjuna dengan wali kelas Rakanita Mayta, 24. Kelompok Lawu dengan wali kelas Rakanita Krisnayani, 25. Kelompok Baluran dengan wali kelas Rakanita Sinta.



I Ketut Adhi Astawan selaku Ketua Panitia Pembinaan Sikap Dasar Profesi 2018 menjelaskan bahwa setelah mengikuti PSDP 2018 dengan tuntas, calon mahasiswa diharapkan mampu beradaptasi dengan lingkungan kampus Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali. Mereka juga dapat mengenali seluruh fasilitas kampus, komponen kampus, baik dosen, pengajar, pegawai, staf honorer, mengenal civitas akademika, menjalin hubungan antar program studi yang ada dengan baik. Termasuk memiliki hati nurani yang bersih, adil, dan jujur dalam dunia pariwisata dan perhotelan, juga sikap mental yang kuat dan disiplin yang tinggi.



Rangkaian kegiatan Pembinaan Sikap Dasar Profesi 2018 yang terlaksana selama empat hari, diawali dengan Persiapan Pelaksanaan PSDP 2018 pada hari Jum’at, 20 Juli 2018 bertempat di Lapangan Olah Raga STP Nusa Dua Bali. Upacara Pembukaan dilaksanakan pada hari Senin, 23 Juli 2018, di Lapangan Olah Raga STP Nusa Dua Bali, diikuti oleh seluruh Panitia PSDP 2018, Senat Mahasiswa, jajaran pimpinan, dosen dan pegawai STP Nusa Dua Bali, dan sebanyak 802 mahasiswa peserta PSDP 2018.



Panitia juga dibantu oleh tim Brimob dari Polda Bali dalam membina fisik dan mental mahasiswa peserta PSDP 2018. Tim Kesehatan seorang dokter dan asisten yang senantiasa menemani para calon mahasiswa, meski beliau masih dalam suasana berduka, karena dua minggu yang lalu ayahnda tercinta meninggal dunia, bersama seluruh panitia PSDP 2018, juga para dosen dan pegawai beserta seluruh civitas academika.





Rangkaian kegiatan PSDP 2018 diisi dengan ceramah oleh berbagai instansi terkait, seperti “Membangun kebhinekaan keberagaman dan anti radikalisme”, oleh Kombes Pol. Andi Fairan selaku Dirreskrimum Polda Bali.



Aja Gumunan,
Aja Getunan,
Aja Kagetan,
Aja Aleman,
Aja Geleman.
Jangan mudah terkagum,
Jangan mudah kecewa,
Jangan mudah terkejut,
Jangan mudah tersanjung,
Jangan mudah tergiur.


Dan, rangkaian kegiatan Pembinaan Sikap Dasar Profesi 2018 berakhir dengan inaugurasi pada hari Jum’at, 27 Juli 2018, dimana seluruh panitia, mahasiswa peserta PSDP 2018, dosen dan pegawai, serta para undangan duduk bersama, berkumpul di Aula.


Jumat, 27 Juli 2018

Galungan Cina : Visual Art Exhibition Segara Lor Community at Museum Neka









Jiwa ini tidak terlahirkan dan tidak pernah binasa.
Baik di masa lampau maupun dimasa datang,
Ini juga tak akan terjadi.
Hanya badan yang rusak (binasa),
Sedang jiwa tidak (Bhagawadgita II.20)


Avidyayam antare vartamanah
Svayam dhirah….. panditam manyamana
Janghanyamanah pariyanti mudhah….
Andhenaiva niyamana yathandhah
Ketika Kebodohan tinggal dalam kegelapan,
Bijaksana tinggal dalam kesombongan mereka sendiri,
dan Kesombongan tinggal bersama pengetahuan yang sia-sia berputar sempoyongan tanpa menerima kritik atau saran orang lain,
maka, yang ada hanyalah bagai orang buta yang dipimpin oleh orang buta (Upanishad)

Rabu, 25 Juli 2018, pembukaan Visual Art Exhibition di Museum Neka, dihadiri oleh Muspika Ubud, Kapolsek Ubud, Kompol I Made Raka Sugita, Danramil Ubud yang diwakili Babinsa, Pemilik Museum Neka, Pande Wayan Suteja Neka, Penglingsir Puri Ubud, Tjokorda Putra Sukawati, Penglingsir Puri Peliatan, Tjokorda Putra Nindia, Penglingsir Puri Pemecutan, Tokoh Budayawan dan Seniman, wakil dari pers, dan para penikmat seni.

Komunitas Segara Lor merupakan kumpulan dari para alumni Jurusan Pendidikan Seni Rupa Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja. Kali ini merupakan pameran yang ketiga kali nya di Museum Neka. Pameran Visual Art Exhibition ini berlangsung semenjak 20 Juli hingga 20 Agustus 2018.

JMK Pande Wayan Suteja Neka menjelaskan “Pameran Ini adalah suatu upaya menghadirkan semangat multikulturalisme yang merepresentasikan akulturasi budaya Bali dan Cina yang sudah berlangsung semenjak ber abad lampau. Sebagai suatu proses belajar agar bangsa kita bisa menghindari konflik dalam kehidupan bersama, sekaligus menghadapi tantangan terkait ke bhineka an kita, ditengah derasnya arus teknologi dan informasi, ditengah perbedaan yang terjadi, namun bisa tetap menjalin harmoni. Inilah suatu wujud nyata dari Tri Hita Karana yang sudah berlangsung semenjak jaman nenek moyang. Dan. Museum Neka berupaya berperan aktif dengan memberi ruang kesempatan bagi banyak seniman untuk berpameran di sini”.

I Made Susanta Dwitanaya selaku kurator pameran kali ini menjelaskan bahwa pada pameran kali ini terdapat karya dari ke Sembilan belas perupa, meliputi Wayan Sudiarta, Tien Hong, Komang Trisno Adi Wirawan, Made Kartiyoga, Kadek Darmanegara, Made Jendra, Nengah Arimbawa, Wayan Juni Antara, Dewa Gede Purwita, Riski Nanda Riwaldi, Nyoman Arisana, Ni Luh Pangestu Widya Sari, I Gusti Agung Prawira Yuda, Ida Bagus Pandit Prastu, I Made Hendra Putrawan, Kadek Jefri Wibowo, Putu Suhartawan. Kadek Omo Santika, Dewa Johana.
Tien Hong menjelaskan sejarah pengalaman semenjak masa kecil yang dilalui nya di sebuah desa, yakni Desa Catur, Banjar Lampu, di Kintamani. Selama turun temurun, semenjak empat generasi lampau, etnis Tionghoa bercocok tanam. Hal ini juga dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sugi Lanus, dimana mereka ikut serta medesa adat, mendirikan sanggah, membuat tugu karang, aktif pada pura kayangan tiga, ikut berbagai ayahan klian adat, mecaru desa, megongan. Tidak ada bentrokan yang terjadi antara etnis Cina dan Bali, sehingga mencerminkan terjadinya akulturasi budaya yang berjalan harmonis.

“Kami ingin memperlihatkan bagaimana sebuah harmoni bisa berjalan baik bila kita memiliki niat baik”. Ada seniman yang perempuan dan juga lelaki, dengan beragam latar belakang pekerjaan yang kami miliki, dengan banyak hasil karya kami yang ditampilkan, namun semua bisa menjadi satu rangkaian yang kami persembahkan dalam bentuk pameran kali ini”, ujar ibu Pangestu, yang merupakan seorang Dosen, seniman, dan bergerak dibidang desain grafis, saat bertutur mengenai hasil karya di atas baju, hasil motif gambar dan warna dengan menggunakan komputer.

“Suami saya adalah seniman yang sedang bekerja di Luar Negeri. Dia seniman Lukis yang juga pekerja perhotelan. Bakat seni sudah muncul pula pada anak-anak saya ini”. Ujar ibu Dayu mengenai  Made Kartiyoga, suami nya yang mengikutsertakan hasil karya dengan judul Bersenyawa, Lukisan akrilik di atas kanvas.

“Saya bangga, bisa mengikutsertakan pameran hasil karya saya pada potongan kayu asem ini, pada pameran kali ini”. Tutur ibu Kiki, panggilan dari Riski Nanda Riwaldi. Setiap hasil karya membutuhkan waktu rata-rata satu bulan lebih. Seni bisa menyalurkan kreativitas positif seseorang, sehingga bisa dinikmati oleh banyak orang lain. Terlihat dinamis terpancar dari guratan bentuk dan warna yang dihasilkan ibu Kiki, bertutur tentang budaya yang terkait etnis Tionghoa, mulai dari makanan dimsum, yuebing atau mooncake atau kue bulan, tangyuan cake, kuih bakul, kuih chang, chay koeay teow atau yang lebih sering dikenal dengan kwetiaw.
Jika para seniman perempuan yang terlibat pada pameran bertajukkan Visual Art Exhibition kali ini menampilkan perpaduan dinamis warna bercorak cerah, para seniman pria memperlihatkan warna-warni yang terkadang sangat kontras. Hitam, gelap dan terang, merah, hijau, putih. Salah satu yang terlihat, adalah pada hasil karya I Wayan Sudiarta yang diberi judul Perjodohan Purba. Lukisan berukuran 120 X 150 cm ini merupakan Lukisan dengan Cat Minyak di atas kanvas.
“Cina identik dengan warna merah. Tarian dan lukisan yang menggambarkan perpaduan budaya Cina dan Bali muncul dalam warna merah yang merona, menyala, dan gerakan tarian yang berani, lembut dan gemulai, namun tegas. Saya juga munculkan itu dalam gerakan tari yang saya cetuskan, yakni Legong Lanang Nandira Jaya Pangus, pada tanggal 12 Desember 2012”. ujar salah satu tamu undangan yang turut hadir saat pameran Visual Art Exhibiton,  Anak Agung Gde Bagus dari Peliatan.
I Komang Trisno Adi Wirawan menjelaskan bahwa karya nya bercerita mengenai perpaduan budaya Cina dan Bali yang sudah berlangsung lama, hingga kini. “Saya ingin memperlihatkan bahwa bila kita bisa menjaga persatuan dan kesatuan, meski berbeda-beda sekalipun, tapi bisa harmonis. Komposisi dengan corak yang saling bertabrakan ini, bisa dinikmati oleh pencinta seni yang paham artinya, dimana hijau adalah bumi tempat kita berada, tumbuh berkembang, merah sebagai simbol Cina, menjadi satu aktivitas bersama di tengah masyarakat Bali dengan berbagai aktivitas kehidupan yang terjalin di antara mereka”.

I Komang Trisno Adi Wirawan menjelaskan bahwa karya nya bercerita mengenai perpaduan budaya Cina dan Bali yang sudah berlangsung lama, hingga kini. “Saya ingin memperlihatkan bahwa bila kita bisa menjaga persatuan dan kesatuan, meski berbeda-beda sekalipun, tapi bisa harmonis. Komposisi dengan corak yang saling bertabrakan ini, bisa dinikmati oleh pencinta seni yang paham artinya, dimana hijau adalah bumi tempat kita berada, tumbuh berkembang, merah sebagai simbol Cina, menjadi satu aktivitas bersama di tengah masyarakat Bali dengan berbagai aktivitas kehidupan yang terjalin di antara mereka”.

Ida Pedanda Manuaba (2011, Januari, di Ubud) menjelaskan bahwa akulturasi Tionghoa dan Bali sudah berlangsung pada awal abad XII. Dan hal ini mengalir dalam budaya kehidupan yang terjadi di tengah masyarakat. Baik dalam sisi ritual pemujaan sehari-hari, dalam bentuk patung yang dihasilkan, barong landung yang mencerminkan pria Bali berkulit cokelat gelap dan wanita berkulit kuninglangsat bermata sipit. Juga bahkan dalam berbagai bentuk pementasan kesenian. 

Sosok Barong Landung ini juga disertakan dalam rangkaian upacara sebagai upaya pemujaan untuk mengusir roh jahat dan membawa aura positif, menebarkan kedamaian serta kesejahteraan bagi warga masyarakat yang meyakininya. Barong Landung ini mencerminkan gambaran perpaduan dua budaya, Bali dan Cina, yang berjalan secara harmoni di Bali, yang bahkan hingga kini masih banyak dipentaskan di pulau Bali.

Dr. Made Pageh, dalam sambutan sebelum membuka pameran Visual Art Exhibition pada hari Rabu, 25 Juli 2018,  menjelaskan bahwa sesungguhnya budaya Cina dan Bali sudah mengalami perpaduan jauh semenjak dahulu, pada abad XI – XIII, yakni 1117 – 1118 Masehi. Sebelum masuknya agama Hindu dari India. Hal ini terjadi pada era kekuasan Raja Jaya Pangus yang menikahi Kang Cing Wie, anak dari Ping An, seorang saudagar kaya. Akulturasi budaya Cina dan Bali ini melahirkan representasi berupa Barong Landung. Hasil penelitian membuktikan bahwa Barong Landung ini lah sebenarnya wujud dari Agama Lokal di Bali saat itu.

Ini menjadi bukti bahwa konsep akulturasi budaya sudah terjadi dan berlangsung semenjak lama, sudah berakar semenjak leluhur, dan harus menjadi tonggak dasar harmoni yang berlangsung di tengah masyarakat pada saat ini dan seterusnya. Bahkan, Dr. Made Pageh menyebutkan dengan istilah, jangan sampai konsep monotheisme mengubah diri kita menjadi pribadi yang moneytheisme, konsep berketuhanan yang satu menjadi konsep dengan orientasi duit semata.

Pande Wayan Suteja Neka menjelaskan bahwa dinamisasi seni rupa membutuhkan keterlibatan banyak pihak, mulai dari pembuatnya, perancangnya, pemeliharanya, para pengamat, para penikmat, bahkan lingkungan masyarakat dimana seni rupa tersebut berada, termasuk pula para pemerintah dan orang-orang lain yang berperan bagi keberlangsungan budaya itu sendiri. Dan di dalam hal ini, Museum Neka membuka diri seluas-luasnya bagi berbagai elemen masyarakat yang ingin belajar, selalu berperan dalam proses seni, dan bermaksud melestarikan seni tersebut di tengah derasnya arus modernisasi yang berlangsung.

“Ini bukti dari komitmen kami untuk berperan aktif terhadap dinamika kreativitas para seniman Bali, agar bisa mendapatkan ruang mengekspresikan diri secara terbuka pada dunia luas, bahkan di tingkat dunia, secara berkelanjutan”. Ujar Pande Wayan Suteja Neka.

Tidak salah bila beliau mendapatkan penghargaan sebagai salah satu tokoh Bali “Outstanding Honorable Effort towards Sustainable Tourism in Bali”, yang disampaikan oleh organisasi BVA, di Puspem Badung pada hari Kamis, 26 Juli 2018, bersama dengan beberapa tokoh lain yang konsisten memperjuangkan pariwisata berkelanjutan pula, termasuk Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati dan I Gusti Agung Prana.



Budaya merupakan gabungan dari banyak elemen. Dari Koentjaraningrat, Taylor, James Spradley, dan berbagai tokoh besar sudah mengulasnya berkali. Dan untuk menjadikannya harmonis, bernilai estetis, serta bermanfaat, membutuhkan komposisi yang sesuai, sehingga bisa berkelanjutan dalam waktu panjang, bahkan, diwariskan secara turun temurun (Santidiwyarthi)