Cultural Studies adalah suatu ilmu yang awal mulanya berkembang di dunia Barat, lalu kemudian mempengaruhi berbagai bidang pengetahuan sosial dan pemahaman berbagai aspek kemanusiaan. Banyak pihak yang beranggapan bahwa Cultural Studies telah menjadi suatu institusi utama tempat berkembangnya berbagai interdisiplin ilmu, antara lain mengawali dan menggawangi postmodernisme. Kajian multikultural interdisiplin ini lah yang semakin tepat untuk dipilih dan diterapkan dalam dunia globalisasi masa kini, dimana dunia itu sendiri telah menjadi sebuah dunia tanpa batas sekat ruang dan waktu lagi (Borderless world).
Globalisasi yang melibatkan cakupan tentang pergerakan manusia (ethnoscape), uang (finanscape), teknologi (technoscape), media (mediascape) dan ideologi (ideoscape) menurut Appadurai (1993) memperlihatkan wujud nyatanya, terutama di Bali, melalui pintu pariwisata. Konsekuensi ini menghasilkan dampak masuknya pengaruh berbagai aspek budaya global yang pula mempengaruhi berbagai praktek kehidupan masyarakatnya, termasuk di dalamnya, entitas sosial yang bernama remaja.
Dr. Dyah Pradnyaparamita Duarsa, dalam makalah yang disampaikan pada simposium ini memaparkan, betapa remaja kota Denpasar sebagai bagian remaja Bali, juga mendapat pengaruh dari globalisasi, pada aspek persepsi dan perilaku yang berkaitan dengan seksualitas pranikah.
Gaya hidup (lifestyle) remaja kota Denpasar ini terrefleksi dalam perkembangan praktek-praktek hubungan seksual pra nikah, yang banyak ditandai dengan munculnya kasus kehamilan tak diinginkan, infeksi menular seksual, termasuk di dalamnya HIV dan AIDS. Survey Kesehatan Remaja Indonesia 2002-2003 yg dilakukan oleh BPS menemukan, laki-laki berusia 20-24 yg belum menikah yg memiliki teman pernah melakukan hubungan seksual adalah 57,5 %, yg berusia 15-19 th sebanyak 43,8 %. Perempuan berusia 20-24 th yg miliki teman pernah melakukan hubungan seksual adalah 63 %, dan perempuan berusia 15-19 th sebanyak 42,3 %.
Walau data ini adalah data tahun 2002-2003, dan hanya berkisar pada remaja di kota Denpasar, tapi ini telah memberi gambaran tentang remaja Indonesia, dan bahkan dunia. Persepsi dan perilaku yang tumbuh dan berkembang di antara mereka, khususnya mengenai hubungan seksual pranikah. Mereka benar benar membutuhkan pendampingan dan suri teladan dalam mengembangkan wawasan, pengalaman dan ketrampilan, menapaki kedewasaan, sebelum memasuki dunia kehidupan berumah tangga.
Hal senada yang dikemukakan oleh Hardiman adalah bahwa wanita merupakan sesuatu yg kodrati dan selalu dipasangkan dengan oposisi binernya, lelaki, dengan segala atribut keberadaan mereka yang secara esensial dianggap inheren. Pria, dg segala fenomena dan cirinya, demikian pula wanita. Intinya, pria dan wanita memiliki batas yg mutlak, tubuh mereka, fisik mereka. Hal ini sering memperjelas bahwa hegemoni yang terjadi di kalangan mereka telah membentuk suatu situasi dan kondisi pengklasifikasian, kuat - lemah, tinggi - rendah, pintar - bodoh, dimana pada akhirnya kelas dominan dan berkuasa menjadi pengatur, penentu. Mereka mengarahkan masyarakat melalui pemaksaan kepemimpinan moral dan intelektual, mereka yg tentukan tingkat konsensus dan ukuran stabilitas sosial yang besar, dimana kelas bawah yg termarginalkan akan dengan aktif menerima dan mendukung nilai-nilai, ide, tujuan dan makna budaya yg mengikat. Bahwa, ada benar dan salah, bahwa ada populer dan tidak, bahwa ada terpinggirkan dan pada episentrum, bahwa ada yg tersingkir dan terkenal.
Ah, inikah yg disebut Anthonio Gramsci sebagai "intelektual organik" ? Profesi yang dimiliki seseorang, yang mampu menghadirkan buah pikiran, perkataan dan perbuatan dengan berbagai cara dan dalam berbagai sistematika, telah memperlihatkan keberpihakan pada pihak tertentu, menghegemoni orang lain, pihak lain, dimana sesungguhnya mereka juga telah dibentuk oleh lingkungan dunia yang mengitari mereka...
Ini memperjelas, bahwa mereka yg sering kali dianggap sebagai kelompok terpinggirkan, sebenarnya juga adalah kelompok yg terkadang memainkan peranan sebagai penguasa. Mereka yang sakit, mereka yang pintar, mereka yang miskin, dan banyak mereka lainnya pula...
Globalisasi yang melibatkan cakupan tentang pergerakan manusia (ethnoscape), uang (finanscape), teknologi (technoscape), media (mediascape) dan ideologi (ideoscape) menurut Appadurai (1993) memperlihatkan wujud nyatanya, terutama di Bali, melalui pintu pariwisata. Konsekuensi ini menghasilkan dampak masuknya pengaruh berbagai aspek budaya global yang pula mempengaruhi berbagai praktek kehidupan masyarakatnya, termasuk di dalamnya, entitas sosial yang bernama remaja.
Dr. Dyah Pradnyaparamita Duarsa, dalam makalah yang disampaikan pada simposium ini memaparkan, betapa remaja kota Denpasar sebagai bagian remaja Bali, juga mendapat pengaruh dari globalisasi, pada aspek persepsi dan perilaku yang berkaitan dengan seksualitas pranikah.
Gaya hidup (lifestyle) remaja kota Denpasar ini terrefleksi dalam perkembangan praktek-praktek hubungan seksual pra nikah, yang banyak ditandai dengan munculnya kasus kehamilan tak diinginkan, infeksi menular seksual, termasuk di dalamnya HIV dan AIDS. Survey Kesehatan Remaja Indonesia 2002-2003 yg dilakukan oleh BPS menemukan, laki-laki berusia 20-24 yg belum menikah yg memiliki teman pernah melakukan hubungan seksual adalah 57,5 %, yg berusia 15-19 th sebanyak 43,8 %. Perempuan berusia 20-24 th yg miliki teman pernah melakukan hubungan seksual adalah 63 %, dan perempuan berusia 15-19 th sebanyak 42,3 %.
Walau data ini adalah data tahun 2002-2003, dan hanya berkisar pada remaja di kota Denpasar, tapi ini telah memberi gambaran tentang remaja Indonesia, dan bahkan dunia. Persepsi dan perilaku yang tumbuh dan berkembang di antara mereka, khususnya mengenai hubungan seksual pranikah. Mereka benar benar membutuhkan pendampingan dan suri teladan dalam mengembangkan wawasan, pengalaman dan ketrampilan, menapaki kedewasaan, sebelum memasuki dunia kehidupan berumah tangga.
Hal senada yang dikemukakan oleh Hardiman adalah bahwa wanita merupakan sesuatu yg kodrati dan selalu dipasangkan dengan oposisi binernya, lelaki, dengan segala atribut keberadaan mereka yang secara esensial dianggap inheren. Pria, dg segala fenomena dan cirinya, demikian pula wanita. Intinya, pria dan wanita memiliki batas yg mutlak, tubuh mereka, fisik mereka. Hal ini sering memperjelas bahwa hegemoni yang terjadi di kalangan mereka telah membentuk suatu situasi dan kondisi pengklasifikasian, kuat - lemah, tinggi - rendah, pintar - bodoh, dimana pada akhirnya kelas dominan dan berkuasa menjadi pengatur, penentu. Mereka mengarahkan masyarakat melalui pemaksaan kepemimpinan moral dan intelektual, mereka yg tentukan tingkat konsensus dan ukuran stabilitas sosial yang besar, dimana kelas bawah yg termarginalkan akan dengan aktif menerima dan mendukung nilai-nilai, ide, tujuan dan makna budaya yg mengikat. Bahwa, ada benar dan salah, bahwa ada populer dan tidak, bahwa ada terpinggirkan dan pada episentrum, bahwa ada yg tersingkir dan terkenal.
Ah, inikah yg disebut Anthonio Gramsci sebagai "intelektual organik" ? Profesi yang dimiliki seseorang, yang mampu menghadirkan buah pikiran, perkataan dan perbuatan dengan berbagai cara dan dalam berbagai sistematika, telah memperlihatkan keberpihakan pada pihak tertentu, menghegemoni orang lain, pihak lain, dimana sesungguhnya mereka juga telah dibentuk oleh lingkungan dunia yang mengitari mereka...
Ini memperjelas, bahwa mereka yg sering kali dianggap sebagai kelompok terpinggirkan, sebenarnya juga adalah kelompok yg terkadang memainkan peranan sebagai penguasa. Mereka yang sakit, mereka yang pintar, mereka yang miskin, dan banyak mereka lainnya pula...