Begitu mendapat mandat untuk berangkat ke Kupang,
aku segera mempersiapkan diri. Menjadi narasumber bagi para pengelola Desa
Wisata yang ada di Kupang, menghantarkan materi Revolusi Mental. Seumur hidup
belum pernah menginjakkan kaki di bumi Kupang, namun, bila panggilan hati
nurani dan Negara memanggil, maka, aku akan berusaha memberikan yang terbaik
yang ku bisa.
Hari ini hari raya Pagerwesi, aku telah
bersembahyang bersama anggota keluarga di pagi hari. Si sulung berangkat kerja,
si bungsu sedang bermain bersama sahabatnya, suami sedang paruman bersama warga
perum. Setelah berpamitan, aku berangkat dengan mengendarai motor si putih
nyonya tua, meluncur menuju Bandara Ngurah Rai. Parkir di gedung parkir berlantai
dua, lalu bergerak ke terminal keberangkatan dengan pesawat GA 438 pukul , tiba
di bandara El Tari Kupang pada pukul 12.10. Tanpa membuang waktu, kuminta supir
yang menjemputku untuk bergerak menuju Pura Oebananta, untuk bersembahyang
disana.
Pura Oebananta terletak di daerah Oeba, di tepi Pantai
Pasir Panjang.Untuk tiba di Pura Oebananta, kita harus melalui Pasar Oeba.
Pasar Oeba terkenal sebagai pasar ikan yang terbesar di Kupang. Di pasar ini
tidak hanya menjual ikan hasil tangkapan nelayan Kupang, namun juga sayur mayor,
buah-buah an, bahan pangan lain, serta pakaian yang diperdagangkan disini.
Di Kupang terdapat banyak pantai yang menarik.
Jika Pasar Oeba terkenal sebagai pasar ikan terbesar yang terletak di Pantai
Pasir Panjang, maka Pasar Nunsui dikenal sebagai pasar ikan di tengah laut,
dimana para pedagang mencegat para nelayan yang baru kembali dari menangkap
ikan di tengah laut. Pasar Nunsui serupa dengan pasar terapung yang berada di
Kalimantan Selatan. Pasar Nunsui terletak di dekat pantai Nunsui, sekitar 12 km
dari pusat kota Kupang.
Data BPS NTT memperlihatkan, 190 ribu dari 4,6
juta penduduk Kupang berprofesi sebagai nelayan. Dengan jumlah tersebut,
rata-rata hasil tangkapan ikan nelayan Kupang bisa mencapai 388.000 ton/ tahun.
Tak heran jika berkunjung ke Kupang, para wisatawan selalu disajikan berbagai
kuliner khas pesisir, salah satunya berpusat di pasar Solor yang terkenal
dengan sajian ikan bakarnya.
Cukup 1 jam berada di Pura, kuajak supir yang
bersamaku menikmati Se’I di Resto Aroma. Kami mencoba Se’I Babi dengan sayur
daun ubi lembut yang disiram kuah santan.
Daging se’I merupakan daging asap sebagai makanan
khas yang berasal dari propinsi Nusa Tenggara Timur. Daging asap diolah dengan
menggunakan kayu bakar yang berjarak jauh dari makanan, sehingga yang
mematangkan olahan makanan tersebut bukan api, melainkan asap panas dari kayu
bakar. Se’I bisa berupa daging sapi, daging babi, juga daging ikan. Se’I bisa dimakan
langsung dengan mengiris tipis. Namun bila sudah disimpan selama beberapa hari,
maka harus digoreng kembali, atau dimasak dalam tumisan sayur mayur.
Waktu sudah menunjukkan pukul 15.15 sore ketika
aku tiba di Hotel On The Rock, di pinggir pantai Oesappa. Hotel yang berada di
bawah manajemen Prasanthi ini merupakan hotel bintang 3 dan memiliki 84 kamar. Aku mendapatkan kamar
229, berhadapan dengan jalan Timor Raya, dimana banyak angkot berseliweran yang
memudahkan mobilitas murah ke berbagai tempat tujuan di Kupang. Selesai
meletakkan ransel berisi laptop dan berkas materi, aku bergerak menuju ruang
Jasphire, tempat diklat sedang berlangsung. Kulihat Pak Cecep, dari Kementerian
Pariwisata, sedang menyampaikan materi mengenai hygiene dan sanitasi peralatan
yang dipergunakan dalam dunia pariwisata. Ada tiga narasumber dalam diklat
Pembekalan bagi Para Pengelola Desa Wisata di Kupang, yakni Pak Djinaldi
Gosana, Pak Cecep Tomi, dan aku sendiri. Diklat diadakan dari tanggal 1 – 3 Desember
2015. Aku baru akan menyampaikan materi pada hari terakhir, yakni Kamis, 3
Desember 2015.
Pada Diklat ini terdapat 40 orang peserta, yang
berasal dari 5 Desa Wisata yang ada di Kupang, meliputi Batunona, Goakristal, Aercina, Lasiana, Kolbano, Tablolong.
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota
Kupang adalah seorang perempuan, yakni Dra Ester Muhu. Beliau menjelaskan di
Kupang, Jumat (20/11/2015), kota Kupang memiliki empat desa wisata, yakni Lasiana,
Penfui, Mantasi dan Manutapen. Muhu menambahkan pengembangan desa wisata ini disesuaikan
dengan kondisi desa masing-masing, misalnya di Lasiana ada sanggar tari dan
warga sudah dilatih untuk membuat cenderamata, di Kelurahan Manutapen ada
sentra tenun ikat dan ada kuburan Taebenu, dan di Penfui ada Tugu Jepang.
Gubernur Nusa Tenggara Timur, Frans Lebu Raya,
tanggal 2 Mei 2015 menjelaskan target 2018 akan terdapat 273 desa wisata di NTT
sebagai realisasi komitmen pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi
masyarakat NTT, khususnya yang ada di pedesaan (http://www.beritasatu.com/nasional/270583-ntt-targetkan-capai-273-desa-wisata-sampai-tahun-2018.html)
Kepala Dinas Pariwisata Nusa Tenggara Timur,
Marius Ardu Jelamu, di Kupang mengatakan, hingga 2014 lalu NTT baru mempunyai
73 desa wisata. "Penambahan jumlah desa wisata merupakan bagian dari
komitmen pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat NTT,
khususnya yang ada di pedesaan. Karena itu pemerintah berkeyakinan bahwa desa
wisata akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Secara otomatis, langkah ini akan menjadi lokomotif untuk menggerakkan sektor
lainnya," lanjutnya.
Desa-desa wisata saat ini antara lain desa wisata
Wae Sano, Cunca Lolos, dan Liang Dara di Kecamatan Sano Nggoang, Manggarai. Kemudian
desa wisata Labuan Bajo, Komodo, Pasir Panjang, Desa Batu Cermin di Kecamatan
Komodo, Kabupaten Manggarai Barat. Selanjutnya Desa Satarlenda, Kecamatan
Satarmese, Kabupaten Manggarai dan Desa Nangalabang, Kecamatan Borong,
Kabupaten Manggarai Timur, serta desa wisata perkampungan tradisional Bena di
Kabupaten Ngada dan perkampungan tradisional Boti di Kabupaten Timor Tengah
Selatan.
Berikut Desa Oebelo dengan obyek wisata pembuatan
alat musik tradisional Sasando dan Oelnasi dengan obyek wisata agro dan
pemancingan serta Desa Manusak dengan obyek wisata agro dan wisata alam di
Kabupaten Kupang. Selanjutnya desa Lede Unu dengan obyek wisata perkampungan
adat dan Desa Kujiratu dengan obyek wisata situs Kujiratu di Kabupaten Sabu
Raijua, Desa Maritaing dengan wisata alam dan bahari serta Desa Marisa dengan
obyek wisata bahari di Kabupaten Alor.
Pada Kabupaten Lembata terdapat empat desa wisata
yang juga mendapat dukungan program desa wisata yakni, Desa Atawai di Kecamatan
Nagawutung dengan obyek wisata air terjun Lodowawo, Desa Atakore dengan dapur
alam budaya, Desa Lamalera dengan obyek wisata penangkapan ikan paus secara
tradisional dan Desa Laranwutun dengan wisata bahari.
Desa-desa wisata tersebut terdapat pada 46
kecamatan yang ada di 22 kabupaten/kota di NTT, dimana persoalan infrastruktur
menuju desa-desa wisata juga menjadi program lintas satuan kerja perangkat
daerah (SKPD).
Hal ini memperlihatkan gambaran bahwa pembangunan
dan pengembangan desa wisata tidak bisa berjalan sendiri atau terpisah. Ini
semua membutuhkan kemampuan berkomunikasi dan menjalin kerjasama antar lintas
sektoral, lintas departemen, Pembangunan jalan dan jembatan ataupun
infrastruktur lainnya seperti air bersih pada obyek-obyek wisata bukan domain
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. Pembangunan infrastruktur merupakan tugas dan
tanggung jawab Dinas Pekerjaan Umum, baik di provinsi maupun kabupaten/kota. Pemerintah
Provinsi Nusa Tenggara Timur, dalam APBD tahun anggaran 2014 mengalokasikan
dana hibah sebesar Rp 2,5 miliar untuk mendukung program desa wisata di
provinsi kepulauan itu. Dana tersebut disalurkan kepada 50 desa wisata,
masing-masing desa mendapat alokasi dana sebesar Rp 50 juta, yang dimanfaatkan
untuk mengairahkan usaha-usaha ekonomi masyarakat yang bermukim di desa-desa
wisata. Dana tersebut juga dimanfaatkan untuk membantu kelompok masyarakat pada
desa-desa wisata untuk pemberdayaan ekonomi, yang berhubungan langsung dengan
sektor kepariwisataan.
Well, sudah tentu kebijakan pemerintah yang
bersifat positif bagi pembangunan dan pengembangan masyarakat secara luas ini
harus didukung dan dilaksanakan setiap jajaran dan jejeran dari atas hingga ke
bawah. Maka, implementasi ini membutuhkan kemauan dan kemampuan kita semua
untuk bergerak. Revolusi mental bukanlah basa-basi, dengan revolusi mental yang
kita mulai dari diri sendiri, secara bersama-sama, demi kemajuan Desa dan
masyarakatnya, khususnya di Desa-Desa Wisata, maka seluruh sumber daya alam dan
sumber daya manusia akan mampu bereksplorasi secara maksimal.
Materi ini yang kubawakan pada mereka, para
peserta diklat Pembekalan bagi Para Pengelola Desa Wisata di Kupang, yang
diadakan dari tanggal 1 – 3 Desember 2015
Pukul 14.15 siang, Kamis tanggal 3 Desember 2015,
kuakhiri materi yang kusampaikan. Dan kami berfoto bersama. Sebagian peserta
meminta kesediaanku untuk mengunjungi Desa Wisata dimana mereka berada. Maka,
setelah kuletakkan ransel berisi barang-barang kerja di kamar, berganti
mengenakan celana panjang, topi, dan ransel mbolang, aku keluar dari lobby
hotel, berjalan menuju jalan raya, naik angkot menuju ke Pantai Lasiana.
Aiihhh, naik angkot di daerah yang belum pernah
kukunjungi?? Hmmm, knapa mesti takut sejauh kita yakin dan berani bertanya agar
tidak tersesat di jalan. Membayar Rp 4.000,- aku turun di jalan masuk menuju
Pantai Lasiana. Mobil tidak bisa lewat karena sedang ada pengurukan jalan. Aku
sempat narsis dengan menaiki backhoe yang sedang bekerja. “Saya pak Martin dari
Kefamenanu” Ujarnya saat menjelaskan pekerjaannya tersebut.
Di pantai Lasiana kujumpai ibu Mariana, Ibu
Hendrik, dan ibu Pasoleh yang juga menjadi peserta diklat kami. Tak lama
kemudian, bergabung bersama kami, ibu Diah Kartika bersama teman-teman
dari Kementerian Pariwisata, juga dari Dinas Pariwisata Kota Kupang. Kami
menikmati kelapa muda, pisang gepe bakar disiram gula enau, madu dan kacang tabur
buatan ibu Mariana. Berjalan menyusuri tepi pantai, dan saling bercanda
bersama.
Pantai Lasiana memiliki bentang panjang 5 km dengan
pasir putih yang landai. Pantai Lasiana lebih sempit dengan batu karang.
Sedangkan Pantai Oesappa lebih lebar dengan adanya jalan lebar yang telah
ditata pemerintah tepat di pinggir pantai. Di Pantai Lasiana juga terdapat
banyak deretan tanaman enau, atau sabuak, buahnya dikenal dengan nama buah
siwalan. Torehan ujung tunas bunga enau yang dipotong akan menghasilkan air
tuak dan ditampung dalam jerigen. Air tuak merupakan minuman khas NTT dengan
kadar alkohol tinggi yang memabukkan. Air tuak yang diolah lagi disebut dengan
Sofi. Sofi memiliki nilai jual tinggi yang lebih mahal dari tuak.
Selesai dengan aktivitas bersantai di pantai
Lasiana, kami mampir ke pusat oleh-oleh bu Soekiran, sebelum kembali ke Hotel
On The Rock. Menikmati makan malam di bawah naungan awan gelap pinggir pantai
Oesappa dari resto hotel, dengan cahaya kilat saling menyambar, dan kembali ke
kamar masing-masing untuk beristirahat. Sempat pula berkenalan dengan ibu Lenny
Subroto, yang sedang menikmati makan malam bersama keluarga. Ibu cantik ini
penggemar kain dari berbagai penjuru nusantara. Kami sempat berdiskusi tentang
ragam budaya, mulai dari kain songket, makanan khas berbagai daerah, nasi goring
porsi raksasa yang kupesan, dan bahkan bernyanyi lagu bali, Bungan Sandat,
bersama-sama.
Aku juga sempat berkenalan dengan mBak Yulita,
dari tim Trans 7 yang sedang mengeksplorasi Sasando dan Tilangga dari desa
Oebelo, dan bu Indri dari Kementerian Perhubungan yang juga bepergian sendirian
dalam rangka tugas ke Kupang, selama 3 hari.
Perempuan, adalah pilar utama keberhasilan negeri
ini. Karena perempuan membawa garis kebijakan dan kedamaian di setiap jejak
langkah yang dia lakukan. Aku percaya, perempuan bisa membawa angin segar di
setiap aktivitas yang dilakukannya……
Hari Jum’at, 4 Desember 2015, pukul 7 pagi, kami
berangkat bersama menuju bandara El Tari Kupang. Ibu Diah Kartika bersama
teman-teman bergerak menuju Jakarta dengan pesawat Batik Air pukul 8.30. Aku
bersama pesawat GA 443 D menuju Denpasar.
Kupang….. sebuah cerita cinta tentang pengabdian,
dengan semangat melayani diri sendiri, melayani orang lain, melayani banyak
orang….. Aku akan kembali lagi, suatu saat nanti.