Praktek Kerja Lapangan merupakan bagian dari serangkaian proses yang membantu mahasiswa juga dosen mengembangkan beragam potensi di dalam dirinya. Praktek Kerja Lapangan juga bagian dari rangkaian kegiatan belajar mengajar, yang tidak hanya melakukan aktivitas di dalam kampus, namun juga terlaksana dan berkembang di luar kampus, menjain interaksi dengan berbagai situasi dan kondisi yang ada pada suatu daerah.
Praktek Kerja Lapangan Program Studi Administrasi Perhotelan kali ini dilaksanakan bagi mahasiswa dan mahasiswi angkatan 2012, semester 8, kelas A, B, dan C. Sesuai dengan rencana kegiatan pada mata anggaran tahun 2016, PKL kali ini dilaksanakan dengan tujuan Lombok.
Setelah menghadiri pelaksanaan Dies Natalis ke 38 STPNB yang berpusat di Gedung Aula, aku bergerak menuju bandara Ngurah Rai. Bergabung dengan para rekan kerja lain, juga para mahasiswa yang berkumpul di depan terminal keberangkatan.
Pesawat GA 0450 yang membawa kami pukul 11.30 menit, bersama dengan 24 mahasiswa kelas A, 24 mahasiswa kelas B, 25 mahasiswa kelas C, dan 7 orang dosen serta 3 pegawai pendamping PKL, tiba di bandara Praya, Lombok, pada pukul 12.20 menit. Kami bergerak meninggalkan bandara, dengan kendaraan 3 bis, dan tiba di Warung Makan Balap Puyung, di depan Bandara Praya, untuk menikmati makan siang kami.
Dari area Bandara Praya, kami langsung bergerak kembali, menuju Desa Mas-Mas. Hujan deras disertai angin kencang menemani kami sepanjang perjalanan menuju desa wisata ini. Air hujan menerobos lancar, masuk dari pintu darurat bis 2. Rembesan air juga menetesi beberapa bangku muridku. Bahkan, banjir menggenangi beberapa ruas jalan yang dilalui bis kami. Pukul 15.45 kami tiba di rumah yang merangkap kantor bagi kegiatan yang terkait Desa Wisata Mas-mas.
Desa ini merupakan sebuah Desa Wisata yang baru berkembang. Terletak di Kecamatan Batukliang Utara, Kabupaten Lombok Tengah. Dengan kepala desa bernama Azharudin. Pukul 17.40 kami meninggalkan desa ini dengan pemahaman betapa sulit memulai sebuah usaha yang kurang mendapat dukungan dari masyarakat, mengawali dengan menyampaikan informasi, mengajak bergerak bersama, demi kebaikan dan kemajuan desa tersebut, namun pada akhirnya manfaat yang terlihat akan bisa membanggakan desa itu sendiri, dan membuka wawasan interaksi dengan dunia luas, bahwa dengan bekerja sama, kita semua pasti bisa memajukan daerah sesuai dengan potensi yang ada di desa tersebut.
Hari pertama kami berada di Lombok kami akhiri dengan makan malam bersama, mengunjungi Lombok Exotic, pusat belanja oleh-oleh khas Lombok, dan beristirahat di Hotel Bidari. Kami baru tidur di atas pukul 12 malam juga, karena ibu Sulis dan ibu Asti masih membahas beberapa pekerjaan, dan langsung mencatatnya di laptop yang beliau bawa. Hmmm, tidak pernah lelah para ibu ini bekerja. Kagum aku pada semangat mereka dalam menuntaskan rangkaian tugas secara bersungguh-sungguh.
Hari kedua, kami bergerak dari penginapan kami pada pukul 8 pagi, menuju penyeberangan yang terletak di Senggigi, bergerak ke Gili Trawangan. Pukul 9.30 kami menyeberang ke Gili Teakan 3 perahu dan 1 speed boat. Pukul 10.15 seluruh rombongan sudah berkumpul bersama di pinggir pantai. Kuputuskan menyewa sepeda untuk mengelilingi pulau tersebut. Bersama 10 mahasiswi, kami bergerak berlawanan dengan arah jarum jam. Sepeda dengan harga sewa Rp 25.000 per hari, kami kayuh perlahan, menyusuri deretan warung, cafe, losmen, dan, 5 km dari lokasi awal kami memulai perjalanan, Hotel Aston Sunset Beach Resort Gili Trawangan. Di sini kutemui salah satu alumni STPNB, Luh Putu Kartini, yang kini menjabat sebagai Sales Admin. Beliau bertutur mengenai aktivitas di Gili Trawangan, betapa, hanya dua hari setelah wisuda di STPNB pada tahun 2015, kemudian berangkat dan memulai pekerjaannya di sini. Ah, terima kasih, ibu Kartini. Terima kasih atas minuman yang begitu menyegarkan di siang hari terik mentari, dan tas mungil indah warna warni yang kami terima sebagai hadiah dari ibu. Semoga ibu senantiasa bersemangat dalam melaksanakan tugas di pulau indah ini.
30 menit berada bersama ibu Kartini, kami kembali mengayuh sepeda menyusuri jalan di pulau Gili Trawangan, melihat ayunan di pinggir laut yang langsung bersentuhan dengan air laut, berfoto bersama di ponjok batu, dan menikmati pemandangan pinggir pantai. Di akhir perjalanan, kusempatkan berenang di pantai Gili Trawangan.
Pukul 14.15, rombongan kami kembali menyeberangi selat, menuju Senggigi, untuk kembali melanjutkan perjalanan. Aku mengawasi satu demi satu perahu yang bersandar. namun, setelah 30 menit berlalu, tak jua muncul perahu terakhir yang seharusnya membawa rombongan mahasiswa ku, ADH C semester 8. Kutanya para pengemudi speed boat dan penumpang perahu, bertanya mengenai posisi terakhir mereka melihat para muridku ini. Sinyal lemah menghambat komunikasiku untuk mencoba menghubungi mereka. Akhirnya aku berhasil menghubungi mereka...... “Perahu kami mati mesin, bu. Kami berganti perahu di tengah laut, dan sekarang sudah menuju Senggigi”. Ah, syukurlah......
Aku kagum pada semangat mereka..... satu jam terombang-ambing di tengah laut, dengan rasa mual dan beberapa dari mereka muntah, tidak bisa berenang, panik dan ketakutan, ditinggal untuk berjuang, dan galau karena merasa sendirian, namun bisa mengatasi emosi dengan baik..... Aku sendiri mungkin belum tentu bisa mengatasi ini dengan baik. Aku bukanlah pemimpin yang baik. Yes.... I am the boss, but i am not the leader of the team...... and, the world will remember this forever and ever......Hiks......
Pukul 16.10 seluruh rombongan telah berangkat dari pelabuhan Senggigi. Rombongan kami kemudian melanjutkan perjalanan menuju Malimbu, atau Malaka, untuk berfoto sejenak dan menikmati pemandangan dari ketiga pulau kecil, Gili Trawangan, Gili Menu, dan Gili Air. 30 menit di sini, kami kembali bergerak.
Berikutnya, Pasar Seni Senggigi.... Kubeli satu porsi tipat sate dengan sayur meurap seharga Rp 20.000 per porsi. Kita bisa memilih untuk menikmati sate ayam, sate bekicot, sate sapi, atau sate usus. Mereka menyebut tipat sate dengan sayur tersebut sebagai bulayak. Hmmm, di Bali sana, di daerah buleleng, dikenal sebagai tipat blayag. dan di Tabanan, khususnya Desa Belimbing, Kecamatan Pupuan, dikenal dengan istilah entil.
Dari sini, kami bergerak untuk bersiap bersembahyang sekaligus menikmati sunset. Namun, hujan deras membatalkan rencana kami berkunjung serta bersembahyang ke Pura Batu Bolong, dan menikmati sunset di sini. Kembali, air hujan menerobos masuk ke dalam bis melalui pintu darurat, membasahi para muridku.
Rombongan lanjut bergerak ke Lombok Sasaku, pusat oleh-oleh. Aku menikmati segelas capuccino sambil berpose bersama dua patung sapi yang seolah sedang mengendarai sepeda. Terakhir, rombongan kami menikmati ayam dan ikan bakar di Resto Taliwang, sebelum mendarat kan tubuh ini di tempat tidur hotel Bidari kembali.
Hari ketiga, setelah menikmati sarapan pagi di penginapan, pukul 8 pagi kami bergerak menuju BKD yang terletak di Jalan Pemuda. Karena bukan hari kerja, maka yang kami temui hanya petugas yang berjaga di sana, bapak Shobri. Kunjungan singkat selama 30 menit untuk mengenali lingkungan tersebut sebagai cikal bakal lahirnya Poltekpar Mataram nantinya.
Kemudian rombongan kami kembali bergerak menuju Desa Sukarara. Desa Wisata ini terkenal dengan aktivitas menenunnya. Pagi hari masyarakat melakukan aktivitas terkait pertanian, dan kemudian kembali ke rumah, lalu memulai menenun. Masyarakat hidup dalam budaya yang mengajarkan bahwa seorang remaja puteri harus bisa menenun sebelum lanjut ke jenjang pernikahan. Hal ini karena keyakinan mereka bahwa dengan ketrampilan menenun tersebut kelak bisa melestarikan budaya leluhur juga bisa untuk menopang perekonomian keluarga.
Pukul 11.05. Rombongan kami kembali bergerak. Mahasiswa dalam 3 bis kendaraan bergerak ke Pantai Kuta, sedangkan para dosen bergerak ke arah kota, meluangkan waktu berjumpa Kepala Desa Kuta, Bapak Lalu Badarudin, membahas rencana pelaksanaan kegiatan Program Studi ADH tahun depan.
Setelah pertemuan kami berakhir, rombongan para dosen kembali bergabung dengan para mahasiswa di Pantai Kuta, menikmati makan siang bersama, juga keindahan pantai yang terkenal dengan pasir merica ini, karena butiran pasirnya yang bagaikan biji merica putih. Berikutnya, kami menuju Mandalika, sebagai sebuah enclave, kawasan, yang bakal menjadi kawasan pariwisata dengan pengelolaan baik bertaraf internasional.
Waktu menunjukkan pukul 1 siang saat rombongan kami bergerak menuju Desa Wisata Sade. Menghabiskan sekitar 1 jam di sini, berdiskusi dengan beberapa tokoh masyarakat sini, bapak Wana, dan juga tour guide dari suku Sade, bapak Manaf, aku sempat menikmati segelas kopi hitam kental khas suku Sade yang mereka hidangkan.
Dan, pukul 2.15, kami langsung bergerak menuju bandara Praya, mengakhiri kunjungan dalam rangkaian kegiatan PKL selama 3 hari, dari hari Kamis hingga hari Sabtu, 24 s/d 26 Maret 2016. Pesawat kami, GA 0437, tinggal landas pada pukul 17.30. dan mendarat di bandara Ngurah Rai pukul 18.15.
Pukul 19.00, rombongan kami bubar kembali ke rumah dan kos masing-masing. Aku masih berbagi terasi di luar pintu kedatangan bandara, bersama ibu Sukerti dan ibu Sulis..... Hehehe, bau nya, menyengat, menyenangkan, menggoda seantero tempat kami berada berbagi terasi lombok tersebut.