Mpu Tanakung
menyampaikan mahakarya beliau, yakni Siwaratri Kalpa, pada masa akhir kerajaan
Majapahit, abad ke 15 Masehi. Teks Kekawin Siwaratri Kalpa mengungkap konsep
Anugraha Dewa Siwa, yang menggambarkan Lubdhaka memperoleh anugrah Bhatara Siwa
pada saat Siwaratri, malam pemujaan Dewa Siwa.
Namun ada pula bantahan
bahwa Siwaratrikalpa bukanlah buah karya Mpu Tanakung. Misalnya, pendapat
Zoetmoelder, P.J., & Teeuw, A. (1969), yang menjelaskan bahwa Mpu Tanakung
telah menggubah, mengadakan beberapa penyesuaian terhadap ajaran pemujaan Siwa
di dalam Siwa Purana dan Kanda Purana itu sendiri, yang sebenarnya berasal dari
budaya India, menjadi Kakawin Siwaratri Kalpa. Dan Mpu Tanakung lahir di jaman
Ken Arok, sehingga hal ini menjelaskan bahwa Siwaratri bukan bersumber dari Mpu
Tanakung. Hal ini sudah tentu dapat menjadi bias, menimbulkan kebingungan,
karena adanya kontradiksi yang terjadi di tengah masyarakat. Bagaimana mungkin,
seorang penjahat, pemburu, demikian mudahnya mendapat sorga, memperoleh pengampunan
setelah segala kesalahan yang dilakukan.
Kesalahpahaman tentang
Siwaratri juga terjadi karena bias yang dihasilkan oleh bahasan budayawan Jawa
tersohor, Raden mas Ngabehi Purbacaraka yang menyampaikan bahwa Kekawin
Siwaratri Kalpa dibuat untuk memuji Ken Arok dan menyampaikan tentang dosa yang
bisa ditebus dengan memuja Dewa Siwa. Ken Arok merasa bersalah setelah membunuh
Tunggul Ametung untuk menjadi Raja Singasari.
Sudah tentu perlu
berbagai kajian, pemahaman, kebijakan dalam memahami filosofi yang tumbuh dan
berkembang. Teknik belajar agama melalui sastra, baik itu tembang atau prosa,
atau melalui media apa pun, harus selalu dikaji berulang secara berhati-hati. Sekali
salah melangkah, bukan kedamaian yang tercipta, bukan shanti yang diraih, namun
kehancuran, menjadi gila, dan lain sebagainya. Ada petuah bijak leluhur yang
bertutur, bila kita menemui kesukaran dalam mempelajari Weda, baca saja, pahami
dahulu Ithihasa seperti Ramayana atau Mahabharata. Dan ini sudah cukup sebagai
bekal atau modal menjalani kehidupan di dunia.
Ini semua menjelaskan
pada kita, bahwa budaya yang tumbuh berkembang sudah tentu akan berbeda-berbeda
di berbagai daerah. Sesuai dengan para penuturnya, penggugahnya, penyungsung
budaya tersebut, dan daerah dimana budaya luhur tersebut tumbuh dan berkembang
sebagai kearifan luhur secara turun temurun.
Di Indonesia, Siwaratri
merupakan kegiatan keagamaan rutin tahunan yang berlangsung setiap Purnama ning
Sasih Kepitu. Siwaratri mengajarkan pada kita semua pengendalian hawa nafsu,
merenungi setiap tindak tanduk yang kita lakukan di dalam dunia, melebur jati
diri, menggapai kesadaran tertinggi, untuk selanjutnya menjadi semakin bijak
dan dewasa dalam berpikir, berkata, juga berperilaku.
Sesungguhnya makna
Siwaratri bukan terletak pada peleburan dosa. Keyakinan kita tidak mengajarkan
tentang penghapusan dosa, karena kita percaya akan adanya Karmaphala. Namun
lebih pada merenungi dan menyadari setiap kesalahan dan kekeliruan yang ada,
berupaya tidak mengulanginya kembali di kemudian hari.
Tatkala Lubdhaka,
seorang pemburu handal yang telah menghabisi banyak binatang buruan, terpaksa
bermalam di tengah hutan, di atas pohon billa, berjaga agar tidak dimangsa
binatang buas. Satu demi satu daun billa dipetik agar terhindar dari kantuk,
tepat di saat purwaning tilem sasih kepitu. Daun yang terjatuh perlahan
mengenai lingga Siwa secara tidak langsung menjadikan lubdhaka dianggap
melakukan pemujaan bagi Dewa Siwa. Di saat Lubdhaka meninggal dunia, Atman
Lubdhaka dijemput oleh Dewa Siwa dengan menggunakan kereta berkuda. Terjadi
pertentangan dengan Sang Suratman (Dewa yang bertugas menjaga pintu gerbang kematian)
yang mencatat aktivitas Lubdhaka telah banyak melakukan pembunuhan binatang
buruan. Setelah dijelaskan panjang lebar, Sang Suratman memaklumi bahwa segala
kelakuan Lubdhaka adalah demi menghidupi keluarga, juga demi kerabat dan
masyarakat yang membutuhkan. Apalagi Dewa Siwa menganggap Lubdhaka sebagai
pengikut setia yang berkelakuan baik dan banyak membantu orang lain. Atman Lubdhaka
dibebaskan untuk kembali menempuh hidup di dunia. Dan semenjak saat itu, dia
bekerja sebagai petani. “Siwaratrikalpa” sebagai mahakarya Mpu Tanakung ini
sering digunakan sebagai dasar pelaksanaan Siwaratri
Bagaimana kita bisa
menerapkan ajaran yang terkandung pada “Siwaratrikalpa”, buah karya Mpu
Tanakung, adalah dengan melakukan Brata, yang mencakup laku Upawasa, Monobrata,
dan juga Jagra pada hari Siwaratri, yang bertujuan memuja Sang Hyang Siwa,
memohon pengampunan atas segala dosa.
Dalam situasi pandemi Covid19
yang tidak memungkinkan kita bepergian dengan bebas, Brata bisa dilakukan di
rumah masing-masing, di kamar suci, di Pura, tetap dengan menerapkan prosedur
kesehatan dan keselamatan.
Tujuan pelaksanaan
ketiga Brata Siwaratri yang mencakup Upawasa, Monobrata, dan juga Jagra adalah
meningkatkan kemampuan dan kemauan mengendalikan kegelapan. Umat Hindu meyakini
terdapat kegelapan (hawa nafsu) yang membutakan mata hati nurani umat manusia, tujuh
kegelapan ini disebut pula dengan Sapta Timira. Ke tujuh kegelapan tersebut
yakni: 1.Surupa (mabuk akan ketampanan/wajah rupawan), 2.Dhana (mabuk harta /
duniawi), 3.Guna (mabuk ilmu / sombong akan keahlian yang dimiliki), 4.Kasuran
(mabuk kemegahan dunia / kekuasaan duniawi), 5.Kulina (mabuk akan gelar
kebangsawanan), 6.Yowana (mabuk akan keremajaan / tidak rela menjadi tua), 7.Sura
(mabuk akan minuman keras / minuman yang mengandung alkohol)
Implementasi di dalam
kehidupan sehari-hari:
Upawasa. Upawasa
berarti puasa. Menahan diri atas godaan hidangan. Maknanya adalah semoga tidak
memakan hidangan atau menuntut hasil yang bukan berkah, seperti perbuatan
melanggar hukum, baik hukum agama dan hukum Negara. Upawasa mengajarkan kita untuk
meningkatkan konsentrasi meraih tujuan kehidupan, melatih kerja organ tubuh,
susunan syaraf, tenggorokan, pikiran, membersihkan tubuh dari segala kotoran.
Harapannya, dengan melatih fisik dan mental kita, maka kita akan terbiasa fokus
pada satu tujuan. Apalagi jika disertai dengan berjapa, pengulangan mantram
berkali-kali dan terus-menerus, yang akan membuat meditasi menjadi semakin
khusyuk.
Monobrata. Menjaga
kesucian pikiran, perkataan dan perbuatan. Tidak mencacimaki, cerewet, berkeluh
kesah, menyebar berita bohong, bertingkahlaku kasar.
Jagra. Senantiasa
menjaga diri, waspada terhadap berbagai tantangan dan ujian, rintangan di dalam
kehidupan, meningkatkan kesadaran dan kesabaran dalam berbagai situasi kini,
terutama di tengah era globalisasi dan pandemi.
Melakukan jagra secara
terus menerus, begadang semalam suntuk, disertai dengan melantunkan kidung
suci, menyebutkan nama suci Tuhan berkali-kali, diharapkan membuat keyakinan
kita semakin tebal, iman menjadi kuat, tidak mudah terombang-ambing oleh
berbagai permasalahan yang ditemui.
Hal sederhana yang bisa
dan biasa dilakukan adalah dengan mengucapkan nama Tuhan, meski di dalam hati,
secara berulang-ulang dan terus menerus. Contohnya: Om, Namah Siwa Ya, Om Namah
Siwa Ya, Om Namah Siwa Ya…. Bisa menggunakan genitri secara berulang kali dan
bersinambungan.
Brata Siwaratri
bertujuan semakin memperkuat kedekatan hubungan dengan Tuhan di dalam diri dan
membuat kita terhindar dari perbuatan tercela. Tapa monobrata memiliki tujuan
mulia, yakni kemampuan mengendalikan hawa nafsu, emosi, dan sifat egois di
dalam diri. Semakin seseorang dikendalikan hawa nafsu, justru tergerak
melakukan perbuatan melanggar hati nurani, bahkan bertentangan dengan hukum. Brata
Siwaratri mampu membimbing kita menjadi manusia dengan iman tebal, melaksanakan
berbagai perbuatan positif, semakin kreatif, dan mampu menjalin kerjasama
dengan berbagai anggota masyarakat. Apalagi di saat seperti sekarang, tidak
cukup hanya seseorang yang cerdas dan teknologi memadai, kita perlu orang yang
mampu saling menghargai diri nya sendiri, juga menghargai orang lain, dimanapun
berada.
Setelah Brata Siwaratri
berlangsung sepanjang malam, umat Hindu bersiap menyambut hari yang akan datang,
mengawalinya dengan melakukan Dharma Shanti, saling berkunjung pada pihak
kerabat, sahabat, tetangga, saling memaafkan.
Makna yang terkandung
dibalik nilai Siwaratri adalah, terkadang, kita begitu mudah menghakimi orang
lain, begitu gampangnya menuduh dan menyalahkan, memiliki persepsi yang
berlebihan terhadap seseorang. Namun sesungguhnya terdapat begitu banyak hal
yang tidak kita pahami. Siwaratri mengajak kita untuk merenung, meresapi
situasi yang terjadi, yang menjadi semakin bijak berperilaku. Siwaratri
mengajak kita untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitar, dimanapun kita
berada, menghargai budaya yang tumbuh dan berkembang, menghargai leluhur, dan
menerapkan yang paling baik bagi diri sendiri, tanpa sikap egois bagi yang
lainnya. Siwaratri juga mengajarkan pada kita bahwa dengan fokus pada Sang
Hyang Widhi, Tuhan, kita akan terhindar dari berbagai hal, baik duniawi maupun
rohani, yang bisa memabukkan kita, dan justru membuat kita semakin jauh dari
Tuhan. Apalagi ditengah berbagai situasi pandemi Covid-19 saat ini.
Santi Diwyarthi, 12 Januari 2021.
Referensi:
Suamba, IB Putu. Kesusasteraan
Jawa Kekawin. Jurnal Jumantra. Vol. 4 No. 1, April 2013. Anugraha Bhatara Siwa
dalam Teks Kakawin Siwaratri Kalpa.
Zoetmoelder, P.J.,
& Teeuw, A., 1969.
Zoetmoelder. 1985.
Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan.
Hindu.web.id.
Perpusnas.go.id.
Wikipedia.org.