Kemarin, pukul empat di sore hari, menuju Jl. Subak Bulaki, Banjar Puseh, Sukawati, kami bertiga menuju ke rumah Bapak Deepak D. Ghindwani dan Ibu Hira Jhamtani.
Rencana awal hanyalah diskusi informal mengenai renstra Yayasan Sanatana Dharma.
Terpesona.....
Adalah kata yg pantas kuucapkan untuk menggambarkan suasana rumah mereka...
Ruman indah yg minimalis, ramah lingkungan, lengkap dengan berbagai pepohonan perindang.
Rumah itu, dibangun mengikuti konsep asta kosala kosali, dengan banyak jendela kaca, membiarkan cahaya berlari manja dengan bebasnya menyusuri bagian dalam rumah, memberi kebebasan sang bayu mencari tiap relung ruang dalam rumah. Ah, bahkan pohon kamboja pun ditempatkan di bagian tengah rumah, tumbuh tinggi menjulang hingga ke bagian lantai dua.
Setelah diskusi hangat tentang berbagai topik, dari pendidikan hingga kehidupan masyarakat Indonesia, dari keamanan hingga RTRW - P Propinsi Bali, dari tanaman organik hingga kemajuan teknologi, akh... aku tetap merasa gagap, paling tidak berdaya ditengah derasnya arus informasi.
Kami lalu bergeser duduk di halaman, malam mulai merambat menghampiri. Sloka demi sloka dari Bhagavdgita kami kupas, tidak banyak. Namun cukup membuat ketakjuban ini semakin bertambah, ternyata, aku bukanlah apa apa, bukan siapa siapa, begitu kecilnya dimata Tuhan, bahkan dibanding para sahabatku ini, ibu Astiti yang seorang mangku istri, pak Made Wyasha, pak Nyoman Sumaartha yg begitu paham seluk beluk kehidupan di tengah masyarakat Bali beserta adat istiadatnya, termasuk tentang dunia perwayangan, pak Deepak yang pakar IT, dan Ibu Hira yang pejuang lingkungan.
Menikmati hidangan India, dengan makanan serba organik, dengan paparan teknologi ramah lingkungan yang diterapkan di rumah ini, mulai dari pengolahan sistem pengairan, proses pengolahan limbah rumah tangga, bahkan bisa menghasilkan gas untuk memasak makanan pada sebuah kompor... Ah, begitu banyak yang masih harus kupelajari di dunia ini.
Tuhanku....
aku tertunduk malu, bersimpuh di depan mereka, mengupas ajaran Mu, aku bukanlah siapa siapa. Namun, beraninya memberikan sudut pandangku tentang Mu.
Ah... berjanji...
janjiku.. takkan lelah mengejar jejak langkah Mu
memahami sedikit saja kebesaran nama Mu,
agar kubimbing keluargaku, seperti sebagaimana ingin kumuliakan diri Mu
Senin, 29 Juni 2009
Selasa, 23 Juni 2009
Pengamat dan penonton
Pengamat dan penonton,
Orang yang diamati dan yang ditonton,
topik yang jadi pengamatan dan tontonan,
hasil analisis amatan dan tontonan,
Sangat lumrah dan manusiawi jika menghasilkan dua hal yg terkadang bagai siang dan malam, bertolak belakang, rwa bineda, yin dan yang, pro dan kontra.
Yg aneh jika semua setuju, saling manggut dan angguk... bilang.. ya, ya ya...
Sebelum mereka mulai dengan perdebatan, ada teman yg minta untuk menonton dan kemudian mengomentari bersama. Kubilang.. gak tertarik dengan politik!. Namun begitu di bilang... disini kita bisa lihat wajah aseli mereka, kemampuan mereka dalam mengungkap buah pikir, logikanya jalan apa tidak, sistematis atau tidak..kepiawaian dalam memberikan jawaban...
Hati ini mulai terpancing...
Aku PNS, walau hidup pada level average, gaji rutin, dengan hutang pada beberapa bank, tetap tidak rela jika anak cucuku dibebankan hutang berpuluh juta oleh keputusan yg diambil pemerintah dalam menyusun kebijakannya. Benarkah demi rakyat? Rakyat yang mana? dalam hal apa?
Mereka kan tetap manusia juga.. tidak terlepas dari kultur budayanya, etos kerja, motivasi dan kebutuhan biologis dalam dirinya, keluarga yg ngerecoki, masyarakat yg diwakili, kepentingan golongan partainya, tidak terlepas dari Tim Suksesinya, Kontrak yg mereka buat sebelum maju Pilpres, harta dan modal awal yg dimiliki, dan juga harapan untuk meningkatkan harta dan modal, mengembalikan biaya yg telah dikeluarkan selama masa kampanye.
Aku juga.. ehm.. boleh dong maju jadi Capres..
Tapi... ratusan juta pengamat dan penonton yg akan menilai..
Rakyat kita enggak bodoh kok. Jangan anggap hanya orang yg duduk di kursi Dewan saja, yg berhasil terpilih kemarin, adalah orang orang hebat dan pilihan berkualitas.
jangan anggap pula, ketiga pasang Capres dan Wapres adalah orang yg sudah benar benar hasil saringan terbaik dimata setiap rakyat.
Akh.. aku juga bisa punya kesempatan jadi Capres, khan?
Tapi... gak kukuasai ilmu dan segala tetek bengek teori kerakyatan, apalagi berbagai data di lapangan, tentang keluhan petani atas hilangnya pupuk dan market yg tidak dibantu pemerintah, penderitaan nelayan atas jatah solar dan bensin yg dikurangi dan modal yg tidak dapat bantuan, jeritan buruh garmen dan handycraft yg diliburkan karena pasar lesu, teriakan para pengusaha dengan lebih dari 20 jenis pajak yg harus dibayar bagi perusahaan mereka... Hotel sekelas Saint Regis dan Bvulgari yg banting harga 70 % demi bayar gaji karyawannya disaat seharusnya high season begini...
Gak kupunyai, program kerja.. jaringan kelompok... modal awal untuk biayai kampanye yg bikin aku menahan desah nafas membayangkan angka yg fantastis bisa dipakai melunasi sebagian utang negara ini. Apalagi pengikut... orang yg bakal memilihku, paling suami dan anak anakku... itupun setelah dengan ancaman.. pilih aku, atau kucerai dirimu..
Banyak pengamat yang memang lebih pintar dari yg diamati..
Aku bisa menilai, penampilan si A lebih norak dari si B, Si C terlihat seksi dari si B, si B terlihat macho... tapi chance si A menang terlihat lebih besar.. walau dia lelet dan tidak sistematis, rada rada Oon lagi...
Aaaaahhh... aku kan berhak juga jadi Capres...
Masalahnya... dimata pengamat dan penilai...
Aku emank pantes apa enggak..
Jangankan program seratus hari.. program sehari juga aku gak punya...
Seperti pepatah yg katakan, perbedaan dan gaya kita menyikapi perbedaan itulah yg bikin dunia ini indah...
Orang yang diamati dan yang ditonton,
topik yang jadi pengamatan dan tontonan,
hasil analisis amatan dan tontonan,
Sangat lumrah dan manusiawi jika menghasilkan dua hal yg terkadang bagai siang dan malam, bertolak belakang, rwa bineda, yin dan yang, pro dan kontra.
Yg aneh jika semua setuju, saling manggut dan angguk... bilang.. ya, ya ya...
Sebelum mereka mulai dengan perdebatan, ada teman yg minta untuk menonton dan kemudian mengomentari bersama. Kubilang.. gak tertarik dengan politik!. Namun begitu di bilang... disini kita bisa lihat wajah aseli mereka, kemampuan mereka dalam mengungkap buah pikir, logikanya jalan apa tidak, sistematis atau tidak..kepiawaian dalam memberikan jawaban...
Hati ini mulai terpancing...
Aku PNS, walau hidup pada level average, gaji rutin, dengan hutang pada beberapa bank, tetap tidak rela jika anak cucuku dibebankan hutang berpuluh juta oleh keputusan yg diambil pemerintah dalam menyusun kebijakannya. Benarkah demi rakyat? Rakyat yang mana? dalam hal apa?
Mereka kan tetap manusia juga.. tidak terlepas dari kultur budayanya, etos kerja, motivasi dan kebutuhan biologis dalam dirinya, keluarga yg ngerecoki, masyarakat yg diwakili, kepentingan golongan partainya, tidak terlepas dari Tim Suksesinya, Kontrak yg mereka buat sebelum maju Pilpres, harta dan modal awal yg dimiliki, dan juga harapan untuk meningkatkan harta dan modal, mengembalikan biaya yg telah dikeluarkan selama masa kampanye.
Aku juga.. ehm.. boleh dong maju jadi Capres..
Tapi... ratusan juta pengamat dan penonton yg akan menilai..
Rakyat kita enggak bodoh kok. Jangan anggap hanya orang yg duduk di kursi Dewan saja, yg berhasil terpilih kemarin, adalah orang orang hebat dan pilihan berkualitas.
jangan anggap pula, ketiga pasang Capres dan Wapres adalah orang yg sudah benar benar hasil saringan terbaik dimata setiap rakyat.
Akh.. aku juga bisa punya kesempatan jadi Capres, khan?
Tapi... gak kukuasai ilmu dan segala tetek bengek teori kerakyatan, apalagi berbagai data di lapangan, tentang keluhan petani atas hilangnya pupuk dan market yg tidak dibantu pemerintah, penderitaan nelayan atas jatah solar dan bensin yg dikurangi dan modal yg tidak dapat bantuan, jeritan buruh garmen dan handycraft yg diliburkan karena pasar lesu, teriakan para pengusaha dengan lebih dari 20 jenis pajak yg harus dibayar bagi perusahaan mereka... Hotel sekelas Saint Regis dan Bvulgari yg banting harga 70 % demi bayar gaji karyawannya disaat seharusnya high season begini...
Gak kupunyai, program kerja.. jaringan kelompok... modal awal untuk biayai kampanye yg bikin aku menahan desah nafas membayangkan angka yg fantastis bisa dipakai melunasi sebagian utang negara ini. Apalagi pengikut... orang yg bakal memilihku, paling suami dan anak anakku... itupun setelah dengan ancaman.. pilih aku, atau kucerai dirimu..
Banyak pengamat yang memang lebih pintar dari yg diamati..
Aku bisa menilai, penampilan si A lebih norak dari si B, Si C terlihat seksi dari si B, si B terlihat macho... tapi chance si A menang terlihat lebih besar.. walau dia lelet dan tidak sistematis, rada rada Oon lagi...
Aaaaahhh... aku kan berhak juga jadi Capres...
Masalahnya... dimata pengamat dan penilai...
Aku emank pantes apa enggak..
Jangankan program seratus hari.. program sehari juga aku gak punya...
Seperti pepatah yg katakan, perbedaan dan gaya kita menyikapi perbedaan itulah yg bikin dunia ini indah...
Sekali lagi tentang Bali
Pada saat kita mengharap keterlibatan berbagai pihak menjaga keutuhan dan kelanggengan umat serta pulau Bali, dari gencarnya berbagai godaan, gangguan yg hadir, ehm, mau tidak mau, kita harus siap terhadap berbagai kemungkinan. Entah itu dari pemerintah, yg kurang memperlihatkan komitmen positif dalam menyusun RTRW, menjalankan berbagai kebijakan pada berbagai sektor, keberpihakan lemah pada petani, nelayan, pegawai kecil, rakyat jelata. Entah itu dari pengusaha, yg berusaha memanfaatkan setiap celah dan peluang, menggapai profit setinggi tingginya, untuk bayar gaji para karyawan, dan berbagai pajak yg kian mencekik, mengabaikan dan meremehkan amdal, Tri Hita Karana, Desa Kala Patra. Entah itu dari masyarakat sendiri, meramu berbagai konflik tiada henti dan tak berujung, berasyik masyuk dengan berbagai impian lewat minuman oplosan, kemalasan, show off power, kelemahan MDP yg dianggap tidak bergigi dalam menerapkan berbagai peraturan dan sanksi. Jumlah
murid putus sekolah yg meningkat tiap tahunnya, walau katanya sekolah gratis, jumlah bunuh diri yg meningkat.
Apa yg telah kita lakukan, untuk mempersiapkan diri kita sendiri dan masyarakat kita dalam menghadapi berbagai gempuran ini?
Bahkan asosiasi terbesar di dunia yang mewadahi para pebisnis properti (International Real Estate Federation / FIABCI) tertarik menggelar berbagai aktivitas di Bali. Mereka hadir langsung dipimpin oleh World President FIABCI, Lisa Kurrass, Chairman FIABCI Asia Pacific Regional Secretariat, Dato Alan Tong, dan sejumlah anggota pengurus, mengagumi Bali, mengukur berbagai kesiapan sarana pendukung yang termasuk dalam kategori siap dalam menyelenggarakan event / kongres mereka berikutnya di Bali.
Bayangkan,
jumlah anggota FIABCI saat kini 3.500 orang, di Asia sendiri terdaftar lebih dari 1000 orang. Kongres FIABCI ke 62 tahun 2011 nanti rencananya juga mengharapkan kunjungan anggota FIABCI dan anggota keluarga mereka sendiri yang akan ikut berlibur di Bali.
Kelangsungan kongres ini juga diperjuangkan oleh DPP REI Indonesia dan DPP REI Bali.
Pada acara dinner di Restoran GWK, Ketua DPP REI Bali, Ir. AAM Sukadhana Wendha, yg diwakili Sekjennya, Drs. I Wayan Sunasdyana, menjelaskan tentang kesiapan dalam menjadi tuan rumah. Pemerintah dan masyarakat Bali diharapkan mendukung. Panitia pusat menginginkan Bali tetap aman, nyaman dan mampu mempertahankan kelestarian dan keindahan alam, sehingga tetap menjadi tujuan wisata dunia.(BaliPost, Jum'at Wage, 5 Juni 2009, hal. 19)
Ehm...
dampaknya? semakin banyak kunjungan ke Bali, semakin banyak pihak yg ingin terlibat dalam, menjadi bagian dari Bali, tinggal lama, dan memiliki properti di Bali, menggoda para pemilik lahan untuk menjual tanah, sawah, ladang, rumahnya, membeli villa, menganggap pantai milik pribadi.
Memang benar, Bali telah mengundang banyak pihak untuk datang menghampiri, memahami, keinginan untuk memiliki, mengais rejeki dan mendapatkan bagian dari kue pariwisata Bali.
Namun bukankah ini terjadi dimana mana? Di berbagai belahan dunia lain ?
Jika petani terjerang utang tengkulak, nelayan di Kedonganan berhari tidak bisa melaut karena solar dan minyak bersubsidi menghilang dengan berjuta alasan? Jangan salahkan pak tani menggadai lahan, menggadai kopi di pohon, rakyat menjual rumah, kriminalitas meningkat.
Ah.... bukankah...yang abadi ternyata adalah perubahan itu sendiri ?
Mau tidak mau.... kita harus siap hadapi perubahan ini .....
murid putus sekolah yg meningkat tiap tahunnya, walau katanya sekolah gratis, jumlah bunuh diri yg meningkat.
Apa yg telah kita lakukan, untuk mempersiapkan diri kita sendiri dan masyarakat kita dalam menghadapi berbagai gempuran ini?
Bahkan asosiasi terbesar di dunia yang mewadahi para pebisnis properti (International Real Estate Federation / FIABCI) tertarik menggelar berbagai aktivitas di Bali. Mereka hadir langsung dipimpin oleh World President FIABCI, Lisa Kurrass, Chairman FIABCI Asia Pacific Regional Secretariat, Dato Alan Tong, dan sejumlah anggota pengurus, mengagumi Bali, mengukur berbagai kesiapan sarana pendukung yang termasuk dalam kategori siap dalam menyelenggarakan event / kongres mereka berikutnya di Bali.
Bayangkan,
jumlah anggota FIABCI saat kini 3.500 orang, di Asia sendiri terdaftar lebih dari 1000 orang. Kongres FIABCI ke 62 tahun 2011 nanti rencananya juga mengharapkan kunjungan anggota FIABCI dan anggota keluarga mereka sendiri yang akan ikut berlibur di Bali.
Kelangsungan kongres ini juga diperjuangkan oleh DPP REI Indonesia dan DPP REI Bali.
Pada acara dinner di Restoran GWK, Ketua DPP REI Bali, Ir. AAM Sukadhana Wendha, yg diwakili Sekjennya, Drs. I Wayan Sunasdyana, menjelaskan tentang kesiapan dalam menjadi tuan rumah. Pemerintah dan masyarakat Bali diharapkan mendukung. Panitia pusat menginginkan Bali tetap aman, nyaman dan mampu mempertahankan kelestarian dan keindahan alam, sehingga tetap menjadi tujuan wisata dunia.(BaliPost, Jum'at Wage, 5 Juni 2009, hal. 19)
Ehm...
dampaknya? semakin banyak kunjungan ke Bali, semakin banyak pihak yg ingin terlibat dalam, menjadi bagian dari Bali, tinggal lama, dan memiliki properti di Bali, menggoda para pemilik lahan untuk menjual tanah, sawah, ladang, rumahnya, membeli villa, menganggap pantai milik pribadi.
Memang benar, Bali telah mengundang banyak pihak untuk datang menghampiri, memahami, keinginan untuk memiliki, mengais rejeki dan mendapatkan bagian dari kue pariwisata Bali.
Namun bukankah ini terjadi dimana mana? Di berbagai belahan dunia lain ?
Jika petani terjerang utang tengkulak, nelayan di Kedonganan berhari tidak bisa melaut karena solar dan minyak bersubsidi menghilang dengan berjuta alasan? Jangan salahkan pak tani menggadai lahan, menggadai kopi di pohon, rakyat menjual rumah, kriminalitas meningkat.
Ah.... bukankah...yang abadi ternyata adalah perubahan itu sendiri ?
Mau tidak mau.... kita harus siap hadapi perubahan ini .....
Langganan:
Postingan (Atom)