Pukul 6, suami bergerak ke Jalan Nangka, untuk bergabung dengan mertua dan ipar, menuju Banjarangkan Klungkung. Setelah bersembahyang dalam rangka Kuningan, dan meyakinkan semua dupa telah kumatikan, memberikan instruksi pada anak-anak untuk selalu menjaga kekompakan di antara mereka selama kedua ortunya bepergian, dan kemungkinan baru kembali keesokan hari. Pukul 7 pagi, kumulai bergerak perlahan menuju Banjarangkan. Hmm, dimana mana, pemandangan banyak orang bepergian dengan mengenakan pakaian adat. Wanitanya mengenakan kebaya dan kain, menyunggi banten di atas kepala, yang pria, berkain dan saput terbaik. Tak lupa, udeng menghiasi kepala. Ah, Kuningan yang semarak dengan perjalanan spiritual memuja dan memuji Beliau, Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Pukul 8 kurang, tiba di Menang, Rumah bajang Mbok Ketut Sukati. Iparku ini sakit, dan, hasil dari nunas baos, terlihat bahwa ia belum mepamit saat menikah dahulu. Anehnya, begitu dinyatakan akan naur sesangi di tegak otonnya, dia langsung perlahan sembuh kembali... Belum ada rombongan tiba dari Buleleng. Aku masih duduk menunggu, se jam kemudian, dan, berjam lagi, hingga waktu menunjukkan pukul jelang pukul 11 siang. Ah... Betapa tidak enaknya duduk menunggu. Mereka terjebak kemacetan di jalan. Jarak Buleleng - Klungkung sungguh butuh perjuangan di hari raya seperti ini.
Pukul 11 hingga pukul 13.10, seluruh rangkaian upacara me pamit iparku yang baik dan lugu ini berjalan lancar. Lalu rombongan yang terdiri dari Nengah Puja, iparku pula, juga Wayan Nuka, Nyoman Ngempi, bergegas menaiki colt berwarna putih dengan pelat DK 903 UC yang dikendarai oleh Wayan Balok bergerak perlahan meninggalkan rombongan lain.
"Supir dari kampung terkenal lagas dan rengas", demikian seru iparku mengingatkanku agar berhati mengikuti rombongan bermobil ini dari belakang, menuju Sepang, Buleleng.
Hmmm, keluar dari Nyalian, beriringan menuju ke Banjarangkan, mobil colt berbelok arah ke kanan, memasuki jalan raya Tulikup, hawa panas mulai menyergap. Asap knalpot kendaraan yang kentut seenaknya dan debu jalanan menerpa seluruh tubuh. Untung, kaos kaki, sarung tangan, dan slayer yg kukenakan mampu meredam kejamnya sinar ultra violet mentari siang hari, dan angin yang menerpa tubuh mampu usir panas dan pengap diri ini.
Menuju ke arah kota Gianyar, berbagai mobil dan motor yang banyak mengangkut penumpang berpakaian adat dan membawa banten berwadah sok atau bokor kami temui. bahkan, tak jarang, sebuah motor ditumpangi kedua orangtua dan anaknya yang juga kenakan pakaian bersembahyang terbaiknya. Hmm, inilah makna mudik dan perjalanan spiritual dalam rayakan sebuah hari raya keagamaan.... Kebesaran dan kemuliaan Hyang Widhi, Sangkan Paraning Dumadi, Hyang Prama Kawi, yang menggoda umat manusia untuk menghampirinya dan selalu menggingat Nya dalam setiap langkah dan tindakan.
Selepas lampu lalu lintas, kami berbelok ke kanan, menyusuri jalan Raya Nyuh Kuning, lalu tembus di Peliatan, Ubud. Hmm, bahkan, banyak pertokoan tidak mau kalah dalam mempercantik diri merayakan Galungan dan Kuningan, berbagai penjor dalam berbagai bentuk gaya di depan toko mereka masing-masing. Bukankah, hanya dengan sebatang bambu berhiaskan sampian penjor galungan, sudah cukup membuktikan penghargaan umat, bagi kebesaran Tuhan, sebagai simbol kemampuan pengendalian diri, sikap dewasa untuk memuluskan langkah dalam beragama, dan terapkan yadnya tidak hanya semata dibilang spiritual, namun pula dalam laku kerja dan berumah tangga....
Dari Peliatan, mobil menyusuri jalan jalan pedesaan, tembus di daerah Pengosekan, Art Shop Gajah Mas, lalu melewati jalan raya Semana, melintasi Villa Semana Resort & Spa. Hmm, semaraknya aroma pedesaan, persawahan dan ladang, lumayan sejukkan mata. Akhirnya, tiba di Mambal. Pasar Abian Semal. Mobil tidak berhenti, terus melalu menyusuri jalan aspal, kami tembus di Beringkit, pasar ternak di dekat jalan raya Mengwi ini. Dari sini, sudah kukuasai jalan raya, hapal ku dengan liku jalanan, Kusalip rombongan agar bisa mempersingkat waktu tempuh. Jalan Raya Denpasar - Gilimanuk, berbelok ke Utara di Pengeragoan, memasuki hutan Bading Kayu - Dapdap Putih - dan, Sepang kelod, Asah Badung.
Pk 16.40 tiba di Pangkung Singsing, dan dering telpon simbok, Putu Ayu, memanggilku.
Ia sudah tidak betah menunggu hadirku. Memang, aku berjanji akan melaksanakan upacara odalan di Saniscara Kliwon wuku Kuningan ini, dan kembali ke Denpasar bersamanya dengan mengendarai motor. Ah, para bapak dan ibu rumahtangga akan menyadari, betapa susahnya kini mencari seorang babysitter, dan, aku beruntung memiliki dia, sudah hampir 4 tahun kami lewati bersama.
Berjalannya upacara odalan di Pangkung Singsing tidak lah sesuai yang kuharapkan. Seluruh rangkaian upacara baru berakhir menjelang pukul 8 malam. Padahal, saat odalan yang sudah sudah, pukul 4 sore biasanya sudah berakhir. Para ipar yang asyik mampir dan berbelanja di Bajra, lalu supir, Wayan Balok, yang mampir ke dokter, telah lumayan menyita waktu kami. Bahkan, Mangku Patra harus menunggu hingga satu jam lebih sebelum semua anggota keluarga bertemu. Hal yang se umur umur tidak pernah terjadi.
Mertua dan seluruh saudara besar berharap aku tidak kembali ke Denpasar malam itu, namun simbok yang meminta untuk kembali tidur di rumah orangtuanya jika harus bermalam, satu jam berjalan kaki, telah membuatku berpikir, kami harus berangkat malam itu pula.
Hmm, pukul 8 malam, melewati jalan curam, penuh kerikil lepas mendaki, melewati hutan tanpa lampu penerangan jalanan, yang konon ada begalnya, dua jam setengah waktu yang diperlukan untuk perjalanan ini, hmmm. Namun, itulah yang terjadi, kami berdua berangkat juga. Alami hujan angin di Pantai Soka, selip di Tabanan. Dan, tiba pukul 22ari .45 malam hari di rumah. Situasi gelap gulita, sedang ada Upacara mesucian / Ngereh Ida Bhatara di Setra Kahyangan Umadui dari Pura Dalem Pejarakan Ulun Lencana Desa Padang Sambian Kelod, yang diempon oleh tiga banjar, Umedui, Jabapura, dan Batubolong.
Begitu tiba di rumah, sambutan pertama dari suami tercinta, "Ada telpon dari emak, Dewa Biyang masuk RS Dharma Kerti Tabanan, karena sesak napas. Sekarang juga kita berangkat ke Tabanan".
Ah ha......
Wayan, kau benar.
Kelas percepatan sungguh berat. Sangat berat terasa, semakin hari semakin berat...