Wrespati Umanis Matal, Kamis, 24 Desember 2009
Hari indah buat memulai sebuah perjalanan di hari libur. Setelah selesaikan seluruh urusan RT, bergerak untuk berkumpul bersama teman-teman setelah janji mengadakan perjalanan spiritual lain lagi. Setelah dapatkan kesempatan berjumpa Pak Deepak, Pak Donny Harimurti, kali ini, berjumpa untuk pertama kali dengan Mangku Danu.
Hmmm, menurutku, tidak setiap orang mendapatkan kesempatan yang sama dalam memaknai kedalaman kehidupan beragama melalui perjalanan spiritual mereka masing-masing. Tak berani kubayangkan di awal perjumpaan, apa saja yang bakal terjadi kali ini. Heboh? Ato, apa? Bahkan, saat tiba di rumah keluarga Pak Nyoman Suma dan berjumpa Komang Suarthana, kusadari antengku tertinggal. Whaa, awal yang jelek. Bahkan, kami harus berpusing ria temukan alamat yang diberikan Mangku Danu, Jl. Kori Agung, Sading, Sempidi. Ah. Untunglah, akhirnya rombongan kami temui rombongan Mangku Danu. Hanya sempat bersalaman sejenak, lalu mobil kembali bergerak.
Mobil rombongan bergerak meretas jalan. Dua Kijang abu-abu, satu Yaris putih berjalan beriringan. Tujuan pertama, Pura Puncak Penulisan. Pura Puncak Penulisan terletak 1745 dari permukaan laut kira-kira 3 Km dari Kintamani atau 30 Km dari ibukota Bangli, di sebelah timur bagian atas dari jalan Denpasar – singaraja. Pura Pucak Panulisan di Desa Sukawana, Kintamani, Bangli, memang kerap disinggahi orang-orang. Tak sebatas orang Bali, juga tetamu asing yang berkunjung ke Bali.
Tempat suci berjarak kira-kira 70 km dari Denpasar ini memiliki banyak sebutan. Ada menamakan Pura Panarajon, ada pula menamai Pura Tegeh Koripan. Karena letaknya di Bukit Panulisan, orang-orang pun kebanyakan menyebut Pura Pucak Panulisan.
Tiba di ajeng pura, seluruh rombongan turun dari mobil, berkumpul dan berkenalan. Rombongan kami bertambah dengan satu mobil karimun abu-abu, sahabat Mbok Gek Putu Artati. Ah, dunia ternyata sungguh kecil. Putu Artati yang juga member HD net, cantik, manis dan sangat ramah adalah keluarga dari istri pak Wayan Suasthana, yang juga member HD net. Ada pula anggota rombongan yang berasal dari Banjarangkan, Klungkung, asal suamiku. Hmmm. Mengenal Mangku Danu lebih jauh, sosok yang sangat biasa... tidak seperti Afghan, idola remaja kini, atau Nicholas Cage, idolaku. Namun tatap mata yang teguh kukuh, dan tutur kata yg manis menghibur, membuat hati menjadi damai...
Kami menapaki jalan menanjak menuju Pura Pucak Penulisan, ku persiapkan banten pejati yang kubawa, lalu mulai bersila di belakang rombongan. Ya, bersila, karena posisi ini membuatku merasa nyaman untuk berkontemplasi dengan Tuhan. Aku tidak dapat menahan isi hati yg berbunga, ber bangga, tatkala Mangku Danu mengatakan bahwa ada energi yang besar, bagai memiliki link kuat antara diriku dengan Beliau yang bersthana di Pura Pucak Penulisan. Hhhmmm, sombong sekaleee. Padahal, sejauh ingatanku, pura ini pernah kukunjungi hanya sekali seumur hidup. Itu pun waktu kumasih teramat kecil.
Hari beranjak siang, selesai memanjatkan doa di sini, rombongan kembali bergerak. Kali ini menuju Pura Dalem Balingkang. REDITE Umanis Warigadian adalah saat upacara piodalan di Pura Dalem Balingkang, Desa Pinggan, Kintamani, Bangli. Lokasinya, dari Denpasar mengikuti jalur Denpasar-Singaraja lewat Kintamani, dan di Pura Pucak Panulisan menuju arah timur laut kira-kira 15-20 km. Tempatnya sangat unik dikelilingi Sungai Melilit, yang dianggap sebagai benteng utama menuju ke Kerajaan Balingkang.
Tiba disini, kami sudah ditunggu oleh Mangku Pura Saraswati. Hmm, sungguh unik Pura ini. Pada Pelinggih Beliau, terdapat dua batang pohon menyembul keluar. Bahkan, para penglingsir dan penyungsung pura menggambarkan usia ratusan tahun bagi usia pohon dan pura. Hmm, sungguh kebesaran Tuhan terlihat di sini...
http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2006/11/5/jak1.html
kiriman dari Putra semarapura, menjelaskan bahwa ihwal Pura Dalem Balingkang ini dijelaskan dalam Prasasti Sukawana (Goris, 1954) disebut, Desa Sukawana diserang hujan badai dan Keraton Jaya Pangus hancur, sehingga jong les pindah ke Balingkang. Keberadaan Pura Dalem Balingkang (PDB) sebagai pura maupun sebagai Keraton Raja Bali Kuna tercatat pula dalam "Pengeling-eling Desa Les-Penuktukan, Tejakula, Buleleng" yang dikeluarkan oleh Raja Jaya Kasunu sekitar abad ke-11. Ia tercatat sebagai leluhur Raja Jaya Pangus Harkajalancana.
Masyarakat Bali dewasa ini terbagi menjadi dua kelompok utama -- Bali Mula (Aga) dan Bali Majapahit. Prof. Dr. I Gusti Bagus (alm.) dalam tulisannya "Kebudayaan Bali" (1979) menyebut, masyarakat Bali Mula mendiami daerah pegunungan di Bali, sedangkan Bali Majapahit mendiami daerah dataran. Bahasanya pun berbeda, disebut "omong negari" dan "omong pojol" oleh masyarakat Bali Mula.
Dalam konteks PDB, nama balingkang berasal dari kata "bali + ing kang". Secara tuturan dan bukti tertulis, ini dikaitkan dengan pernikahan Raja Jaya Pangus Harkajalancana yang memerintah pada tahun saka 1103-1191 atau 1181-1269 Masehi. Raja Jaya Pangus punya dua permaisuri, Paduka Bhatari Sri Parameswari Indujaketana dan Paduka Sri Mahadewi Cacangkaja Cihna -- (Cihna-Cina). Dalam cerita rakyat yang berkembang disebut, istri Cinanya bernama Kang Ci Wi, putri Tuan Subandar pedagang dari Cina. Maka digabunglah Bali-Ing-Kang jadi Balingkang.
Masyarakat Bali Kuna di sekitar Danau dan Gunung Batur tercatat amat sulit ditundukkan oleh Raja Sri Kresna Kepakisan yang ditempatkan oleh Maha Patih Gajah Mada. Sampai dewasa ini, mereka amat sulit terpengaruh oleh budaya Hindu Majapahit. Sampai tahun 2006 ini, Pura Pucak Panarajon belum mau menggunakan Ida Pedanda sebagai Sang Trini-nya, tetap menggunakan Jro Mangku dan Jro Kebayan dengan upacara podgala atau mewinten pang solas.
Masyarakat Bali Mula di sekitar Danau Batur menyebut dirinya dengan Gebog Domas (Kelompok Delapan Ratus). Kelompok ini dibagi jadi empat bagian Gebog Satak (Dua Ratus) Sukawana, Kintamani, Selulung dan Bantang. Kelompok ini memiliki Tri Kahyangan yakni
(1) Pura Pucak Panarajon sebagai pusatnya terletak di Sukawana, Kintamani, dengan tiga tingkatan pura yang disebut Gunung Kahuripan. Tingkatannya, Pura Panarajon (Ida Bhatara Siwa Sakti), Pucak Panulisan (sejajar dengan pusat pemerintahan -- dulu sebagai keraton Raja Jaya Pangus), dan Pucak Wangun Hurip (simbol membangun kehidupan.
(2) Pura Bale Agung di Sukawana dengan Ida Bhatara Ratu Sakti Kentel Gumi, setara dengan Bhatara Brahma,
(3) Pura Pusering Jagat -- Pura Puseh Panjingan di Desa Les-Penuktukan, Tejakula, Buleleng, berstana Ida Ratu Sakti Pusering Jagat setara dengan Bhatara Wisnu, dan
(4) Pura Dalem Balingkang berstana Ida Dalem Kepogan (Dalem Balingkang) setara dengan Dewa Siwa.
Kelompok Satak Sukawana terdiri atas beberapa desa di Kecamatan Kintamani dan Tejakula, Buleleng. Sebagai ikatan yang padu, Desa Pinggan ditugaskan oleh Sukawana sebagai kesinoman membawa surat ke kelompok Tejakula. Di Sukawana banyak ada peninggalan tanah pelaba pura, serta di Balingkang ada 175 ha. Rupanya secara diam-diam keduanya saling menguasai tanah itu.
Pada 1960, Sukawana menugaskan Pinggan mengirim surat ke kelompok Buleleng Timur. Surat itu "disembunyikan" sehingga semua warga Buleleng tak tahu ada upacara di Panarajon. Ini berlangsung sampai 1963, sehingga pada 1964 Sukawana malu menugaskan Pinggan. Akhirnya, kelompok pemuja PDB pada 1964 yakni Pinggan, Siakin, Tembok, Gretek Sambirenteng, Les-Penuktukan menyatakan keluar dari kelompok Sukawana dan membuat kelompok baru bernama Gebog Satak Balingkang.
Lalu, sejak 1964 kelompok pemuja Pura Pucak Bukit Indra Kila, Desa Dausa, Kintamani juga melepaskan diri dari Pura Panarajon.
PDB yang dipuja kelompok Gebog Satak Balingkang, juga dipuja oleh warga masyarakat di sekitar Desa Petak, Gianyar. Ini terjadi karena ada hubungan historis dengan keluarga Puri Petak Gianyar. Secara faktual, di utama mandala bagian sisi selatan ada kompleks bangunan pura lengkap dengan sanggar agung, meru 11 (tingkat 11), sebagai pemujaan Ida Dalem Klungkung (Raja Klungkung) dan meru 9 (tingkat 9) sebagai pemujaan pada Ida Dalem Bangli (Raja Bangli).
Berikutnya, selesai seluruh rangkaian persembahyangan di Pura Dalem Balingkang, rombongan di ajak menikmati suguhan hidangan kopi, nangka, nangka goreng, di rumah sang mangku. Masih terletak di Desa Pinggan pula. Ah. per lambang keramahan yang sungguh kami nikmati.
Selanjutnya, kami mendapatkan bentuk berkah lain. Jamuan makanan berlimpah di rumah sang Mangku Danu, persis di sebelah kantor Puskesmas IV di Kintamani. Hamparan sayur mayur menyambut kami, sejauh mata memandang. Dari sayur kol, tomat, terong Belanda, cabe besar, bayam, daun bawang dan seladri. Bahkan, di kejauhan, untaian keramba berisi mujair menari-nari memanggil mendekat ke danau Batur.
Ah. Tak sanggup kutolak se piring penuh nasi anget berlauk muncuk sayur jipang, ikan mujair berbumbu bali, kacang goreng. Hmm, aku sanggup tinggal abadi disini...
Hari jelang malam, tatkala kami kembali bergerak melanjutkan perjalanan tirta yatra kali ini... Mangku Sadeg, klian adat Desa Kintamani, bergabung bersama kami, menuju Pura Hulun Danu Batur Desa Songan. Rangkaian Upacara Danu Kerti yang masih berlanjut menyambut mesra dalam hangat malam yang memeluk hadirnya kami di tengah ribuan umat hadir tiada henti. Hmm, Entah apa yang merasuki kerinduan hati, malas beranjak dari hadapan Tuhan di Pura ini.
Menurut Songan.org, Pura Ulundanu Batur Songan terletak di Desa Songan, Kintamani, Bangli, sekitar 90 Km dari Denpasar. Pura terletak di timur laut Danau Batur yang merupakan danau terbesar di Bali. Pura ini juga berada persis di kaki perbukitan yang bernama Bubung Tegeh yang berderet sampai Gunung Abang. Sehingga pura ini memang seperti berada di tengah-tengah deretan gunung yang melingkari Danau Batur. Pura ini dipercaya sebagai stana Dewi Danuh, yang menjadi dewi bagi seluruh sumber air di Bali. Sehingga Subak, organisasi pengelola air di Bali, biasanya mengadakan persembahan pada setiap upacara di pura ini. Jadi, di pura ini, masyarakat Bali memohon kemakmuran sehingga hasil panen mereka berlimpah ruah.
Tidak ada yang dapat memastikan kapan pura ini dibangun pertamakalinya. Tetapi kisah Shri Aji Jayapangus yang menjadi Raja di Balingkang sekitar abad ke-12 Masehi bisa menjadi petunjuk tentang pembangunan pura ini. Pada zaman pemerintahannya, Jayapangus menaruh perhatian pada Danau Batur, sehingga sampai dimitologikan memperistri Dewi Danuh. Karena itu, besar kemungkinan pura ini dibangun pada masa itu. Tetapi bila dikaitkan dengan organisasi pengelolaan air yaitu Subak maka besar kemungkinan pura ini telah ada jauh sebelum abad ke-12 Masehi. Sebab Subak telah mulai dikembangkan pada zaman Rsi Markendya (pendeta India) yang datang ke Bali pada sekitar abad ke-7 Masehi. Jadi, pada abad ketujuh, pura ini mungkin masih kecil, seperti tempat pemujaan zaman-zaman purbakala. Shri Aji Jayapangus selanjutnya mengembangkan pura ini menjadi lebih besar.
Pura Hulundanu Batur di Desa ToyaBungkah, Kec. Kintamani, Kab. Bangli, adalah tujuan terakhir kami...Dinding gunung dengan rapatnya hutan menjulang di depan kami, seolah melengkapi misteri malam yang menantang, menghadang, dan mendekap. Pura yang terletak setelah obyek wisata Toyabungkah ini mengakhiri seluruh rangkaian perjalanan tirta yatra kami.
Toya Bungkah terletak di tepi sebelah Barat Danau Batur, 11 Km dari penelokan Kecamatan Kintamani. Tempat ini sangat menyegarkan dan cocok untuk memancing dan berenang. Disana juga ada air panas yang airnya berasal dari kaku Gunung Batur. Masyarakat disana percaya bahwa air ini dapat menyembuhkan segala jenis penyakit kulit. Tempat ini sudah dikenal sejal tahun 1930 terutama oleh para Ilmuwan Asing. Fasilitas yang terdapat disini antara lain, penginapan, hotel dan restoran serta aula untuk mementaskan tari-tarian tradisional maupun modern.
Waktu menunjukkan pukul setengah sebelas malam, saat kami berpisah di pelataran parkir Pura. Saling bersalaman, dan janji saling menjaga tali hubungan di antara kami. Hmm, sungguh indah karunia yang kudapat sepanjang hari ini. Semoga berkah Tuhan akan senantiasa hadir di hati tiap umat manusia di dunia....
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar