(http://www.balistarisland.com/Balinews/BaliNews-Apr0601.htm)
''Mecaru''
diikuti oleh upacara ''pengerupukan'', yaitu menyebar (nasi) tawur,
mengobori rumah dan seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan pekarangan
dengan mesiu )sejenis bahan makanan), serta memukul benda-benda apa
saja (biasanya kentongan) hingga bersuara ramai/gaduh. Tahapan ini
dilakukan untuk mengusir Buta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan,
dan lingkungan sekitar.
Mulai tahun 1990 an, di Bali pada saat Pengerupukan biasanya
dimeriahkan dengan pawai Ogoh-ogoh, sebagai perwujudan Buta Kala yang
diarak keliling lingkungan, dan kemudian dibakar. Tujuannya sama yaitu
mengusir Buta Kala dari lingkungan sekitar.
Bagi sebagian orang, Ogoh-ogoh hanya buang waktu, tenaga dan biaya belaka. Apalagi bila disertai dengan keributan akibat pergesekan yang sering bermula dari saling guyon, saling sindir dan menjadi ketersinggungan, ditambah dengan minum bir atau arak. Namun bagi orang lainnya, Ogoh-ogoh juga adalah sebuah bentuk bersyukur, memuji kebesaran Hyang Widhi Wasa, sarana penyaluran kreativitas anak muda, kerjasama antara sekehe teruna teruni, belajar berorganisasi dengan beragam pihak, hingga termasuk ajang persaingan serta uji gengsi bila banyak yang mengagumi, dan mampu memenangkan lomba, hingga layak untuk tampil diarak mengelilingi suatu daerah.
Ogoh-ogoh sebetulnya
tidak memiliki hubungan langsung dengan upacara Hari Raya Nyepi. Patung
yang dibuat dengan bambu, kertas, kain dan benda-benda yang sederhana
itu merupakan kreativitas dan spontanitas masyarakat yang murni sebagai
cetusan rasa semarak untuk memeriahkan upacara ngrupuk. Karena tidak ada
hubungannya dengan Hari Raya Nyepi, maka jelaslah ogoh-ogoh itu tidak
mutlak ada dalam upacara tersebut. Namun benda itu tetap boleh dibuat
sebagai pelengkap kemeriahan upacara dan bentuknya agar disesuaikan,
misalnya berupa raksasa yang melambangkan Bhuta Kala.
Pemuda pemudi Br. Anyar yang berkumpul bersama, merancang dan mengerjakan obor mini sebagai penerang jalan di malam Pengerupukan. Botol bekas dikumpulkan, kemudian diikat menggunakan lakban pada sebatang bambu, diisi dengan minyak tanah, kemudian ditancapkan pada potongan batang pohon pisang.
Karena bukan sarana upacara, ogoh-ogoh itu diarak setelah upacara pokok
selesai serta tidak mengganggu ketertiban dan kea-manan. Selain itu,
ogoh-ogoh itu jangan sampai dibuat dengan memaksakan diri hingga
terkesan melakukan pemborosan. Karya seni itu dibuat agar memiliki
tujuan yang jelas dan pasti, yaitu memeriahkan atau mengagungkan
upacara. Ogoh-ogoh yang dibuat siang malam oleh sejumlah warga banjar
itu harus ditampilkan dengan landasan konsep seni budaya yang tinggi dan
dijiwai agama Hindu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar