Bhagavadgita, Adhyaya XIII, sloka 6-7 sebagai berikut.
“Maha bhutany ahankaro buddhir avyaktam eva ca Indriyani dasaikam ca panca cendriya gocarah”
“Iccha dvesah sukham duhkam sanghatas cetana dhrtih
Etat ksetram samasena sa vikaram udahrtam”
Artinya :
Lima unsur besar (panca mahabhuta), keakuan palsu (ahamkara),
kecerdasan (buddhi), yang tidak berwujud (avyaktam), sepuluh indria
(dasendriya) dan pikiran, lima objek indria, keinginan, rasa benci,
kebahagiaan, duka cita, jumlah gabungan, gejala-gejala hidup, dan
keyakinan-keyakinan -- sebagai ringkasan, semua unsur tersebut merupakan
lapangan kegiatan dan hal-hal yang saling mempengaruhi dari lapangan
kegiatan.
Upacara Pagerwesi juga merupakan manifestasi menjaga kesucian hati,
jiwa dan pikiran dari belenggu beragam sisi negatif duniawi, selayaknya
direfleksikan untuk memahami hakikat idep atau citta. Artinya, untuk
mendapatkan pengetahuan rohani yang benar adalah benar untuk memahami
terlebih dahulu seluruh kekuatan materi yang melingkupinya. Manusia yang
berkesadaran tentu adalah mereka yang mampu membedakan antara “yang
rohani” (hakikat) dan “yang materi” (instrumen/alat). Mengingat
kegagalan dalam membedakan kedua aspek ini akan membawa manusia pada
belenggu dualisme paradoks yang akan menghalangi sang atman menuju
pembebasan sejati (moksa).
Terlahir pada tanggal 21 Juli 1932, Sang Guru pernah berkata……
“Hanya diri kita yang bisa membentengi diri dari berbagai benturan yang mungkin mengakibatkan kejatuhan kita sendiri.”
Lama….. Bertahun sesudahnya, baru kupahami makna kalimat tersebut.
Budaya, Seni, Ritual, Pembimbing, bahkan seorang Guru yang selalu
menjadi inspirasi di setiap langkah, hanya fasilitator yang membantu
kita mengembangkan pola di setiap aspek kehidupan. Namun, diri kita
sendiri, yang harus selalu menyaring, menjaga, mengembangkan pola yang
pas dan sesuai bagi diri kita.
Hari Raya Pagerwesi jatuh setiap Rabu Kliwon wuku Sinta. Hari ini
dirayakan untuk memuliakan Ida Sanghyang Widhi Wasa dengan
manifestasinya sebagai Sanghyang Pramesti Guru (Tuhan
sebagai guru alam semesta). Hari ini dirayakan mengandung filosofis
sebagai simbol keteguhan iman, Pagerwesi berasal dari kata Pager yang berarti pagar atau pelindung, dan Wesi
yang berarti besi. Pagar Besi ini memiliki makna suatu sikap keteguhan
dari iman dan ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia, sebab tanpa ilmu
pengetahuan kehidupan manusia akan mengalami kegelapan (Awidya).
“Kembangkan ilmu pengetahuan, perluas cakrawala pemikiran, jangan
membatasi diri terhadap lingkungan dan masyarakat yang datang
menghampiri, jangan pelit berbagi informasi, atau merasa takut
tersaingi. Namun bentengi diri terhadap beragam gempuran yang membawa
efek negatif. Waspada selalu ya”. Demikian Sang Guru menguraikan
bimbingannya berkali-kali.
Ah Guru….. Bagaimana caranya?
Ritual di kala Pagerwesi, dengan melakukan ayoga semadhi, menenangkan
hati dan melakukan sembah bhakti pada Ida Sang Hyang Widhi Wasa,
melakukan widhi widhana atau menghaturkan sesembahan di Sanggah /
Merajan / Pura.
Apa yang telah dilakukan oleh Sang Guru, Pande Wayan Suteja Neka,
telah mengajarkanku, bahwa, terkadang, mencapai cita-cita membutuhkan
perjuangan dan semangat tidak pernah kenal lelah. Sungguh, sebuah
perjuangan berpuluh tahun, berkeliling melanglang buana, sebelum beliau
dapat membuka sebuah museum seni dan budaya, Museum Neka, pada tahun di
Ubud, mengumpulkan potongan sejarah, beragam benda seni dan budaya,
sebelum beliau pada akhirnya diakui sebagai seorang Maestro Keris.
Jika saja beliau tidak bersungguh-sungguh, tidak kukuh dalam sikap,
tidak membentengi diri dengan semangat dan disiplin tinggi, mungkin
beliau tidak dapat menjadi seorang maestro seperti adanya saat ini.
Pada saat Pagerwesi, umat hendaklah ayoga semadhi, yakni
menenangkan hati serta menunjukkan sembah bhakti kehadapan Ida Sang
Hyang Widhi. Juga pada hari ini diadakan widhi widhana seperlunya,
dihaturkan dihadapan Sanggar Kemimitan disertai sekedar korban untuk Sang Panca Maha Butha. Pada hari ini kita menyembah dan sujud kehadapan Ida Sang Hyang Widhi, Hyang Pramesti Guru beserta Panca Dewata yang sedang melakukan yoga. Menurut pengider-ideran Panca Dewata itu ialah:
1. Sanghyang Içwara, berkedudukan di Timur
2. Sanghyang Brahma, berkedudukan di Selatan
3. Sanghyang Mahadewa, berkedudukan di Barat
4. Sanghyang Wisnu, berkedudukan di Utara
5. Sanghyang Çiwa, berkedudukan di tengah
Ekam Sat Tuhan itu tunggal. Dari Panca Dewata itu kita
dapatkan pengertian, betapa Hyang Widhi dengan 5 manifestasiNya
dilambangkan menyelubungi dan meresap ke seluruh ciptaanNya (wyapi-wiapaka dan nirwikara).
Juga dengan geraknya itulah Hyang Widhi memberikan hidup dan
kehidupan kepada kita. Hakekatnya hidup yang ada pada kita
masing-masing adalah bagian daripada dayaNya. Pada hari raya Pagerwesi
kita sujud kepadaNya, merenung dan memohon agar hidup kita ini
direstuiNya dengan kesentosaan, kemajuan dan lain-lainnya.
Widhi-widhananya ialah: suci, peras penyeneng sesayut panca-lingga, penek rerayunan dengan raka-raka, wangi-wangian, kembang, asep dupa arum, dihaturkan di Sanggah Kemulan (Kemimitan). Yang di bawah dipujakan kepada Sang Panca Maha Bhuta ialah Segehan Agung manca warna (menurut urip) dengan tetabuhan arak berem. Hendaknya Sang Panca Maha Bhuta bergirang dan suka membantu kita, memberi petunjuk jalan menuju keselamatan, sehingga mencapai Bhukti mwang Mukti.