I.Hari Raya Tumpek
Landep dan Sang Guru, Pande Wayan Suteja Neka
Upacara Tumpek Landep yang hadir
setiap Saniscara Kliwon wuku Landep adalah pemujaan kepada Bhatara Siwa dalam
manifestasinya sebagai Sanghyang Pasupati. Tumpek Landep terutama menjadikan
senjata dan semua peralatan yang terbuat dari besi menjadi sthana Sanghyang
Pasupati.
Upacara ini merupakan wujud
bhakti dan karma umat Hindu, baik sebagai sarana pemujaan, ucapan terima kasih,
sekaligus permohonan kepada Hyang Widhi atas anugerah berupa peralatan dari
besi yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Namun demikian makna Tumpek Landep
adalah landeping idep, yakni mengasah kekuatan idep (citta) dan berpuncak pada
pengetahuan rohani mengenai pengendalian citta untuk mencapai jivanmukta.
Guru Pande Wayan Suteja Neka
menuturkan (17 Oktober 2014),
“Perlu saya sampaikan bahwa yang disebut Pusaka
adalah :
- Sesuatu yang mempunyai arti dan
makna yang terkandung didalamnya.
-Memiliki nilai historis.
-Merupakan warisan dari leluhur.
Apa makna keris Pusaka :
-Di Bali pada umumnya memandang
Keris Pusaka itu sebagai keris pajenengan, simbol kekuatan leluhur dan alam
semesta.
-Keris Pusaka adalah keris yang
disakralkan melalui upacara pasupati sehingga mempunyai kekuatan/kesaktian dan
mempunyai sifat kandel atau andalan sebagai pengameng-ameng.
Mengapa keris pusaka dipandang mewakili kepemimpinan berkarisma?.
Keris merupakan suatu benda
sakral yang penuh dengan simbol-simbol yang mempunyai arti & makna yang
sangat mendalam bagi kehidupan manusia.
Apa yang diuraikan Sang Guru
menjelaskan bahwasanya dalam kehidupan masyarakat modern, perekmbangan
teknologi tidak dapat terpisah dari kemampuan mengasah keselarasan diantara
pikiran – budi – ego, cipta – rasa – karsa, kognitif – afeksi - konasi.
Kekuatan citta yang terdiri atas
pikiran (manah), kecerdasan (buddhi), dan ego (ahankara) dapat diarahkan
menjadi spirit dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi (IPTEK). Manusia
sebagai mahluk mulia yang diberi kemampuan berpikir dan mengolah rasa, menilai
dengan disertai standar norma. Tumpek Landep bagi umat Hindu menjadi ritual
untuk membangun kesadaran idep secara berkesinambungan dalam sistem makna yang
selalu terbuka untuk didialogkan pada setiap zaman.
REFERENSI:
Geria, I Wayan. 2000.
Transformasi Kebudayaan Bali Memasuki Abad XXI. Denpasar.
Magetsari, Noerhadi. 1986. Local
Genius Dalam Kehidupan Beragama, dalam Kepribadian Budaya Bangsa, Jakarta:
Pustaka Jaya.
Pendit, Nyoman S. 1994, Bhagavad
Gita, Jakarta, P.T. Hanuman Sakti, Jakarta.
Suamba, I.B.Putu. 2007.
Siwa-Buddha di Indonesia: Ajaran dan Perkembangannya. Denpasar: Program
Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan bekerjasama dengan Penerbit Widya Dharma.
Sudharma, I Made. 2000. “Acara
Agama Hindu”. Artikel. Disampaikan dalam Pelatihan Pemangku dan Sarathi Banten,
Kanwil Agama Prov. Bali.
Sudharta & Punyatmadja, 2001.
Upadesa. Surabaya: Paramita.
Sugito,ed. 2007. Jagat Upacara
Mengungkap Realitas Sakral dan Profan. Yogyakarta: Gajahmada University Press.
Tim. 1989. Lontar Sundarigama:
Teks dan Terjemahan. Pemerintah Daerah Tk. II Kabupaten Badung.
Yasa, I Wayan Suka. 2006. Teori
Rasa: Memahami Taksu, Ekspresi & Metodenya. Denpasar: Penerbit Widya Dharma
Bekerjasama dengan Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan Universitas Hindu
Indonesia Denpasar.
Zaehner, R.C. 1993. Kebijaksanaan Dari Timur: Beberapa Aspek Pemikiran Hinduisme. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Zaehner, R.C. 1993. Kebijaksanaan Dari Timur: Beberapa Aspek Pemikiran Hinduisme. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar