Hari Kesaktian Pancasila, 1 Oktober
2017. Empati. Terkadang, hanya perlu membiarkan nya mengalir apa adanya. Ini
merupakan gerakan spontanitas. Kekuatan dari doa, harapan, kemauan, dan
mewujudkannya menjadi nyata. Se kecil apa pun tindakan, sejauh itu positif, aku
yakin, Tuhan akan membantu kita semua.
Bersama Pak Wayan, Pak Nyoman
Runteg, dan Pak Satria, kami bergerak pukul 8 pagi dari perumahan kami. Tujuan
pertama adalah banjar Wangsean, Desa Mulia Kerta, Kecamatan Sidemen, Kabupaten
Karangasem.
Anak-anak di perumahan telah
mengumpulkan sumbangan semenjak minggu lalu. Mereka menyisihkan sebagian uang
saku mereka. Ada yang menyumbang Rp 10.000, ada yang Rp 5.000. Mereka juga
mengetuk pintu hati para bapak dan ibu yang ada di sana. Ada yang menyumbang
ratusan ribu, bahkan hanya Rp 10.000. Yang penting niat kemanusiaan dalam
semangat kebersamaan. Akhirnya terkumpul uang sejumlah Rp 2.190.000. Setelah
dibelikan sembako dan berbagai peralatan yang akan diberikan bagi para
pengungsi, kami berangkat bersama pagi ini.
Tiba pukul 10.30, kami temui
perbekel Desa Pekraman Mulia Kerta, bapak Nengah Putu, dan Kepala Desa Mulia
Kerta, bapak Wayan Suyasa. Bersama kami, tiba pula berbarengan, beberapa
petugas dari RS Bali Mandara, yang akan mngadakan pemeriksaan kesehatan gratis
bagi para pengungsi.
Bapak Wayan Suyasa, Kepala Desa
Mulia Kerta, menjelaskan bahwa di posko banjar Mulia Kerta ini terdapat 300
pengungsi yang berasal dari Desa Yeh EA (Embah Api), 9 km dari pusat gempa Gunung Agung.
Banjar
Wangsean, desa Mulia Kerta, kecamatan Sidemen kabupaten Karangasem.... ratusan
kaum pria kembali ke desa di siang hari, berkebun dan mengurus ternak mereka,
kaum wanita dan bayi serta balita mereka bertahan di bale banjar, anak usia
sekolah melakukan pendidikan di SD juga SMP di depan bale banjar. yang SMA
diarahkan ke kota Klungkung. Banyak jejahitan lakar banten yang mereka buat
semenjak tiga hari lalu yang laku di jual.... Ketahanan masyarakat desa teruji
dan terbukti di sini.....
Kulihat, seorang lelaki tua berjalan perlahan dengan menggunakan tongkat. Istrinya buta, memegang ujung baju sang suami, mengiringi dari belakang. Ah.... cinta akan menguatkan kita bersama, mengarungi biduk rumah tangga, dalam suka dan duka.....
Beberapa
ibu duduk bersama anak-anaknya, bercengkerama. Ada beberapa yang sedang
menggendong bayinya, kusapa, dan kuberikan masing-masing sekotak perlengkapan
bayi yang kubawa, juga se tas plastic besar pakaian bayi. Mereka memilih yang
pas bagi anak-anak mereka.
Ah,
aku terharu……
Semoga
cobaan ini segera berlalu.
Dua
jam kami berbincang disana, rombongan segera beranjak. Kali ini menuju rumah
duka. Tetangga kami, bapak Ngurah Sartana, telah ditinggalkan bapaknya,
meninggal di rumah sakit. Dan kami sebagai tetangga, ingin memperlihatkan turut
ber belasungkawa kami.
Kendaraan
kami bergerak kembali, menuju ke arah Singaraja, menyusuri Banjar Selat, Desa
Duda, ke Desa Muncan, Desa Rendang, tembus di Kintamani. Kami beristirahat di
Restoran Batur Sari untuk makan siang sambil menikmati pemandangan Gunung
Batur.
Berikutnya
kami melanjutkan perjalanan lewat Pura Batur, Desa Madenan, Banjar Kelodan, desa Bondalem,
kecamatan Tejakula, kabupaten Karangasem..... rumah duka keluarga Ngurah
Sartana....
Kembali
melalui jalan Jembatan Tukad Bangkung, yang merupakan jembatan tertinggi se
Asia Tenggara, kami sempatkan pula berfoto bersama. Sebelum menuju Desa Petang,
dan kemudian kota Denpasar…..
Peduli
kemanusiaan, dengan sedikit yang kami punya, berbagi suka dan duka dengan
banyak orang lainnya, yang bahkan tidak kita kenal sekalipun……