Pura Samuan Tiga,
Minggu, 7 Januari 2018. Mengapa harus Pura Samuan Tiga? Sudah beberapa kali
tertunda, fokus pada kegiatan lain dan juga tempat lain. Namun, kali ini, kami
bisa berkumpul disini, bersama, meski tidak semua.
Lontar Kutaca Kanda
Dewa Purana Gangsul menjelaskan bahwa pada masa itu terdapat sebuah tempat suci
yang bernama Kahyangan Samuantiga, dimana para Dewa dan Dewata, Bhatara dan
Bhatari, Para Rsi Pandita mengadakan pertemuan, musyawarah, mempersatukan
pandangan demi kebaikan di masa yang akan datang.
Pertemuan penting (ika
maka cihna mwah genah), musyawarah tokoh penting terkait suatu sistem pemerintahan
pada masa Bali Kuna, di masa pemerintahan Raja suami istri Udayana Warmadewa,
bersama permaisuri Gunapriyadharmapatni, yang memerintah sekitar tahun 989 –
1011 Masehi.
Pada Babad Pasek
disampaikan bahwa : “…. Dahulu kala, pada saat bertahtanya Cri
Gunapriyadharmapatni dan suaminya, Udayana Warmadewa, ada musyawarah besar Ciwa
Budha dan Bali Aga. Itulah asal mulanya ada desa pekraman dan Kahyangan Tiga
sebagai rujukan kehidupan pada masing-masing Desa Bali Aga…..”
Berdasar kedua lontar
tersebut, jelas bahwa pertemuan dan musyawarah para tokoh agama di Pura Samuan
Tiga pada masa pemerintahan Guna Priyadharmapatni dan Udayana telah berhasil
mempersatukan berbagai pendapat, memutuskan suatu kemufakatan, untuk penerapan
konsepsi Tri Murti, melalui Desa Adat / Pekraman, dengan Kahyangan Tiganya.
Suksesnya pelaksanaan
musyawarah ini dalam menghasilkan suatu keputusan bijak bagi perkembangan agama
Hindu di Bali, secara tradisional, diyakini tidak terlepas dari peranan penting
tokoh legendaries Mpu Kuturan sebagai senopati dan pemimpin lembaga majelis
pemerintahan pusat yang diberi nama Pakira-kiraan Ijro Makabehan, sehingga
situasi dan kondisi sosial keagamaan dapat berjalan secara kondusif, dan kehidupan
bermasyarakat berjalan secara tentram.
Pura Samuan Tiga dahulu
bernama Pura Gunung Goak, karena letaknya di pegunungan atau dataran tinggi.
Pura ini lah yang dipilih dan dijadikan tempat pertemuan dalam rangka
menyatukan pandangan akibat terpecahnya Bali menjadi sembilan sekte atau aliran
di kala itu.
Pemangku Pura Samuan
Tiga, Gusti Ngurah Mudrana, awal Desember 2017 (https://www.jawapos.com/baliexpress/read/2017/12/06/31665/pura-samuan-tiga-muasal-adanya-desa-pakraman-dan-mempersatukan-sekte)
menjelaskan, pada abad X masehi, terjadi perselisihan di tengah masyarakat Bali
yang menyebabkan keresahan di tengah masyarakat.
Ada sembilan sekte yang
berkembang pada masa itu. Sekte-sekte tersebut adalah Pasupata, Bhairawa, Siwa
Sidhanta, Waisnawa, Bodha, Brahma, Resi, Sora dan Ganapatya. Masing-masing
sekte memuja Dewa-Dewi tertentu sebagai istadewata (Dewa Utama) dengan simbol
tertentu. Penganut setiap sekte berkeyakinan bahwa istadewata merekalah yang
paling utama di antara dewa yang lain. Keyakinan sektarian itu mengakibatkan
benturan konflik dan ketegangan antar-sekte. Hal ini berpengaruh terhadap
stabilitas kerajaan dan masyarakat.
Menyadari hal itu, raja suami-istri Gunapriyadharmapatni dan Udayana berusaha mengatasinya dengan mengundang tokoh-tokoh spiritual dari Bali dan Jawa Timur (Gunapriyadharmapatni adalah putri raja Makutawangsawardhana dari Jawa Timur) untuk mencari jalan keluar gejolak antar-sekte ini.
Pada waktu itu di Jawa Timur ada lima pendeta bersaudara. Ke-lima pendeta bersaudara tersebut kerap dijuluki Panca Pandita atau Panca Tirta. Mereka adalah Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, Mpu Gnijaya dan Mpu Bharadah. Empat di antara kelima pendeta tersebut didatangkan ke Bali secara berturut-turut, yaitu:
Menyadari hal itu, raja suami-istri Gunapriyadharmapatni dan Udayana berusaha mengatasinya dengan mengundang tokoh-tokoh spiritual dari Bali dan Jawa Timur (Gunapriyadharmapatni adalah putri raja Makutawangsawardhana dari Jawa Timur) untuk mencari jalan keluar gejolak antar-sekte ini.
Pada waktu itu di Jawa Timur ada lima pendeta bersaudara. Ke-lima pendeta bersaudara tersebut kerap dijuluki Panca Pandita atau Panca Tirta. Mereka adalah Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, Mpu Gnijaya dan Mpu Bharadah. Empat di antara kelima pendeta tersebut didatangkan ke Bali secara berturut-turut, yaitu:
1.
Mpu Semeru datang di Bali pada tahun
saka 921 (999 M) berparhyangan di Besakih.
2.
Mpu Ghana datang pada tahun saka 922
(1000 M) berparhyangan di Gelgel.
3.
Mpu Kuturan datang pada tahun saka 923
(1001 M) berparhyangan di Silayukti, Padangbai.
4.
Mpu Gnijaya datang pada tahun saka 928
(1006 M) berparhyangan di Lempuyang (Bukit Bisbis).
Mpu Kuturan
yang berpengalaman sebagai kepala pemerintahan di Girah dengan
sebutan Nateng Girah, oleh Gunapriyadharmapatni diangkatlah beliau sebagai
senapati dan sebagai Ketua Majelis Pakira-kiran I jro Makabehan.
Melalui posisi yang
dipegang itu, Mpu Kuturan melaksanakan musyawarah bagi sekte keagamaan yang
berkembang di Bali bertempat di Pura Penataran kerajaan. Pada masa itu, setiap
kerajaan di Bali memiliki tiga pura utama: Pura Gunung, Pura Penataran (di
pusat kerajaan) dan Pura Segara (laut). Musyawarah tersebut berhasil menyatukan
semua sekte untuk penerapan konsepsi Tri Murti yaitu kesatuan tiga manisfestasi
Tuhan (Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa) dalam satu kesatuan yang tak
terpisahkan.
Konsepsi "three in
one" ini (aryapengalasanblogspot.com) berlaku di seluruh Bali dan
menghapuskan dominasi satu sekte terhadap sekte lainnya, meskipun belakangan
sekte Siwa Sidhantalah yang tampil dominan. Penyatuan ini serupa dengan apa
yang dilakukan oleh Mpu Kuturan di Jawa dengan mendirikan Candi Loro Jonggrang
(Prambanan) yang memuja Dewa Brahma, Wisnu dan Ciwa.
Konsep Tri Murti yang
diperkenalkan oleh Mpu Kuturan kemudian diterapkan dalam pola Desa Pakraman
dengan pendirian pura Kahyangan Tiga yakni Pura Desa (Brahma), Pura Puseh
(Wisnu) dan Pura Dalem (Siwa) pada setiap desa. Bagi setiap keluarga,
diterapkan pembangunan Sanggar Kamulan Rong Tiga (tempat pemujaan dengan tiga
pintu).
Ini yang menjadi
pitenget bagi siapapun, bahwasanya, harmoni akan tercipta bila didasari dengan
niat tulus dalam diri setiap insani, pemahaman mendalam terhadap latar belakang
sejarah, saling menghargai satu sama lain, dan aplikasi nyata dalam berbagai
aspek kehidupan. Karena.... bukankah, setiap orang memiliki peranan dan fungsi
nya masing-masing yang akan saling melengkapi satu sama lain. Pedagang,
penyanyi, nelayan, guru dan murid, pemimpin dan rakyat, penguasa dan pengusaha,
tokoh spiritual dan umat. Semua sama penting dan mulianya.
Untuk memperingati
peristiwa penting tersebut maka tempat dimana terjadi musyawarah tersebut,
yakni Pura Penataran kerajaan tersebut, diberi nama Pura Samuantiga.
Pura Samuan Tiga
terdiri dari tujuh mandala, Pertama di Pura Beji sebagai tempat berstananya Bhetara
Wisnu, memohon penglukatan dan membersihkan diri, berikutnya Palinggih Agung Sakti
sebagai tempat berstananya Ganesha, Dewa Kemakmuran, Palinggih Ratu Agung
Panji, Palinggih Ring Lumbung sebagai tempat berstananya Bhatara Segara dan
Sedana, yang menganugerahkan kesejahteraan bagi setiap pemedek, terakhir,
Mandala Pesamuan.
Pengemong Pura Samuan
Tiga terdiri atas lima desa pakraman, yaitu Desa Pakraman Bedulu, Wanayu Mas,
Taman, Tangkulak Kaja, dan Tangkulak Tengah.
Maka, bila resah dan
gelisah, konflik batin melanda, perselisihan mengancam persatuan dan kesatuan,
setangkup doa berpijar dari Pura Samuan Tiga di sertai niat suci dan tulus juga
semangat kebersamaan kita, semoga damai terpelihara senantiasa, di hati, juga
di bumi, bagi semesta…….
Sumber Referensi :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar