Scibere scribendo,
discere discendo disces.
Engkau belajar menulis dengan menulis, engkau belajar
membaca dengan membaca.
Usada Shala menggelar diskusi
bersama mengenai Keris dan Pande. Rencana diskusi akan digelar dengan
menghadirkan tokoh keris Empu Jero Pande Ketut Wirawan. Aku tertarik menghadiri
kegiatan yang mengupas budaya nusantara, perkembangan seni, baik tokoh, produk
seni, upaya pemerintah dalam melestarikan dan mengembangkan kesadaran di tengah
masyarakat terkait kreativitas seni, hingga kemajuan teknologi kekinian
dibidang budaya. Belajar lah selalu, belajar sepanjang kehidupan.....
Saat diskusi yang
disampaikan mengalir oleh Daniel Vaughn dari Amerika, dia menjelaskan hasil risetnya mengenai keris di nusantara. Keris
modern sudah berkembang di nusantara semenjak abad ke 14, dan memiliki symbol kekuasaan
dari para pemilik maupun penggunanya. Keris memiliki bentuk yang asimetris,
bisa berbentuk lurus maupun berlekuk. Terkadang keris dibandingkan dengan naga,
sebagai bentuk yang sering terlihat pada beragam pura yang ada di Bali. Keris
tidak hanya dianggap sebagai senjata tajam sama seperti belati, namun juga
memiliki nilai sacral yang terkandung dari besi atau bahan metal di dalamnya.
Keris tidak hanya
sekedar simbol suci yang diikutsertakan dalam beragam prosesi terkait upacara
keagamaan. Sejarah panjang selama berabad-abad proses keberadaan dan pembuatan
keris menunjukkan level kesukaran dan kegunaan keris tersebut. Ada beragam
teknik penempaan juga penyimpanan serta perawatan keris. Demikian pula
rangkaian kegiatan yang harus dilakukan oleh penempa keris.
Daniel Vaughn mengakui
bahwa terdapat beragam teknik, pola dan gaya perlakuan terhadap keris ini, dari
seluruh nusantara, bahkan oleh masing-masing penempa itu sendiri. Mengagumkan
mengikuti dokumentasi hasil penelitian nya yang disajikan dengan begitu apik.
Bahkan, orang asing bisa mengadakan penelitian dan memaparkannya dengan baik
mengenai keris.
Laku spiritual yang
dijalani oleh seorang empu atau pakar keris sebelum menempa keris, sering
membuat sang empu juga merupakan seorang pemangku atau pendeta agama. Contohnya
adalah Empu Jero Pande Ketut Wirawan dari Pejeng yang merupakan seorang pande
besi penempa keris, sekaligus seorang pemangku. Hal ini yang membuat keris memiliki
nilai spiritual dan kesaktian tinggi juga indah dengan nilai estetika tinggi.
Jro Mangku Alit Pande
Made Nesa, saat menyaksikan bersama diskusi dan pemutaran film dokumenter hasil
penelitian Daniel Vaughn di Usada Bali, Ubud,
16 April 2019, menjelaskan bahwa demikian pula halnya keris, banyak ragam benda
berupa senjata dengan nilai – nilai suci yang dipahami masyarakat Bali. Salah
satu di antaranya adalah Pengentas Arug, atau lebih dikenal sebagai Bhargawa.
Bhargawa atau Pengentas Arug merupakan simbol suci pembuka jalan, perlambang kebenaran
dan kesucian, kemenangan dalam melawan kejahatan. Bhargawa yang berbentuk
parang panjang digunakan sebagai simbol arah penjuru mata angin, perlengkapan
upacara yang terkait dengan kematian, kremasi atau ngaben, dan rangkaian
upacara lain di Pura Dalem. Pengentas Arug merupakan simbol suci yang
menghantar manusia menuju kesempurnaan.
Jro Mangku Alit Pande
Made Nesa menjelaskan filosofis yang ada didalam bhargawa atau pengentas arug.
Bhargawa atau pengentas
arug merupakan senjata perlambang kebesaran yang dipergunakan oleh Krian Pasung
Grigis. Krian Pasung Grigis merupakan mangkubumi, atau patih dari Kerajaan
Bali, sebagai salah satu patih, selain Kebo Iwa, yang berperang menentang Patih
Gadjah Mada, Kriyan Pasung Grigis
merupakan seorang Mahapatih Mangkubumi Kerajaan Bali yang sakti mandraguna,
pemberani, setia pada kerajaan, ahli strategi perang, dan ikut turun berperang
melawan pasukan majapahit yang menyerang Bali (Lontar Kebo Iwa dan Pura Gajah). Bhargawa
merupakan senjata tajam yang dipergunakan saat berperang, melambangkan kekuatan
dari berbagai penjuru dan arah mata angin dalam melawan musuh, Majapahit, yang
dianggap akan merampas kekuasaan Bali.
Kekuatan dan kesaktian
Mahapatih Kriyan dengan senjata ampuhnya yang berbentuk clurit atau parang panjang
membuat pihak musuh berupaya mencari kelemahan menaklukkan beliau dengan
beragam cara, baik tipu daya dan muslihat perang. Patih Gadjah Mada memahami,
kesaktian Mahapatih Mangkubumi Kriyan Pasung Grigis akan musnah bila hati
dikuasai sifat tamak, lupa daratan, dan mati karena kesombongan diri, terlalu
bangga hingga ingkar janji.
Kriyan Pasung Grigis
dibuat percaya bahwa Patih Gadjah Mada menyerah kalah dan bersedia berjumpa
dengan nya beserta seluruh pasukan. Beliau dirayu dengan memperalat binatang
kesayangan, anjing, yang selalu diberi makan setiap datang menghampiri. Beliau
ingkar memberi makan binatang peliharaan yang diminta memperlihatkan keahlian
hewan tersebut.
Tipu daya muslihat ini
berhasil, Kriyan Pasung Grigis dicap tidak setia pada janji, dan kekuatannya
dilumpuhkan, sehingga kemudian dipaksa menanggalkan jabatan, menyerahkan
wilayah kerajaan kepada Patih Gadjah Mada.
Hal ini pada awalnya bagaikan
dilema bagi Sang Mahapatih Kriyan Pasung Grigis, apalagi banyak pertentangan
terjadi di berbagai daerah dalam menghadapi serbuan Patih Gadjah Mada, pasukan
yang sudah lelah akibat perang berkepanjangan, dan dirinya yang sudah dicap
sebagai pemimpin yang tidak setia pada janji sendiri. Namun demi semangat
persatuan dan kesatuan yang lebih besar lagi, yakni kesatuan nusantara di bawah
perintah Patih Gadjah Mada, Beliau rela melakukan hal tersebut. Bagai terkena
pengaruh Bajra atau Vajra yang dibawa oleh Patih Gadjah Mada. Dan meminta Patih
Gadjah Mada mengakhiri hidupnya, kemudian mempersatukan nusantara menjadi suatu
kesatuan nusantara. Bhargawa atau Pengentas Arug yang dimiliki oleh Kriyan
Pasung Grigis, menjadi perlambang penghancur kegelapan, sisi duniawi yang negatif,
membuka jalan ke arah kebaikan, dan ditempatkan di Pura Dalem, dipergunakan
terutama pada saat terkait dengan upacara kematian, kremasi atau pelebon.
Belajar dari semangat
Kebo Iwa, Patih Gadjah Mada, dan Patih Mangkubumi Kriyan Pasung Grigis dengan
beragam senjata yang beliau miliki, masing-masing memiliki makna dan tujuan
penggunaan. Hal ini menguraikan bahwa setinggi apapun jabatan, kekuatan dan
kesaktian yang kita miliki, sehebat apa pun peralatan yang kita punyai,
secanggih apapun manfaatnya, semua harus dipergunakan demi tujuan bijak dan
baik. Bajra atau Wajra, Bhargawa, juga Pengentas Arug, merupakan simbol dewata
penghancur kegelapan, pembuka jalan menuju terang, bersih, suci, sehingga
manusia bisa mencapai tahapan kehidupan yang lebih baik, lepas dan terbebas
dari ikatan duniawi.
Riohelmi menjelaskan bahwa
disaat kremasi berlangsung, ada rangkaian upacara dimana ritual senjata yang
disebut dengan “Pengentas Arug” dipergunakan untuk membuka peti mati