Ri masa ika hana malih hakyangan kang maka ngaran kahyangan Samuantiga, Ika maka cihna mwah genah ira kang para Dewa-Dewata Bhatara-Bhatari, Mwah kang para Resi ika makabehan paum duking masa ika, Kang ingaranan pura Samuantiga ri mangke".
Pada masa itu terdapat kahyangan (tempat suci) yang bernama Kahyangan Sarnuantiga, itu sebagai tanda dan tempat dimana para Dewa dan Dewata, Bhatara-Bhatari,Juga para Rsi (Pendeta) seluruhnya rapat (musyawarah) pada masa itu, dinamai pura Sarnuantiga sampai sekarang.
Pura Samuan Tiga merupakan Pura Kahyangan Jagat yang sekaligus merupakan Cagar Budaya Nasional semenjak tahun 1992. Sebagai suaka peninggalan sejarah dan purbakala dari jaman kerajaan Bedahulu (Bedulu). Menurut I Wayan Patera, salah satu pengempon pura, Pura ini dahulu di sebut juga dengan Pura Gunung Goak. Asal muasal kata Pura Samuan Tiga juga bermakna Samua Tiga, penyatuan dari berbagai perbedaan bentuk, fungsi dan makna terkait pura yang ada di seluruh Bali, menjadi tiga klasifikasi utama.
"Samalih sapamadeg idane prabu Candrasangka, mangwangun pura saluwire : Penataran Sasih, Samuantiga, hilen-hilen rikala aci, nampiyog nganten, siyat sampian, sanghyang jaran nglamuk beha, mapalengkungan siyat pajeng, pendet, hane bale pgat, pgat leteh". Tatwa Siwa Purana, Lontar ke 11.
Dan lagi semasa pemerintahan beliau Prabu Candrasangka, membangun pura antara lain : Penataran Sasih, Samuantiga, tari-tarian di saat upacara, nampiyog nganten, siyat sampian, sanghyang jaran menginjak bara, mapalengkungan perang payung (pajeng) pendet dan ada balai pegat penghapus ketidak sucian (leteh).
Uraian ini menjelaskan bahwa umat manusia melakukan berbagai macam aktivitas, cara, simbol agama, budaya, juga bermakna untuk meningkatkan keyakinan kepada Tuhan, membersihkan diri, penyucian lingkungan, bertujuan untuk semakin mantap melangkah ke depan, bersama dengan orang lain di sekelilingnya.
Literatur sejarah Bali kuno menguraikan pemberian nama Samuan Tiga terkait dengan adanya suatu peristiwa penting musyawarah berbagai tokoh pada masa Bali Kuna. Pelaksanaan musyawarah para tokoh di Bali pada masa pemerintahan raja suami-istri Udayana Warmadewa bersama permaisurinya Gunapriyadharmapatni yang memerintah sekitar tahun 989 – 1011 Masehi.
Pura Samuan Tiga terdiri dari tujuh bagian utama, yakni : 1. Mandala Jaba Sisi (ruang terbuka), 2. Mandala Penataran Agung, 3. Mandala Duwur Kelod, 4. Mandala Beten Kangin, 5. Mandala Beten Manggis, 6. Mandala Sumanggen, 7. Mandala Jeroan.
Menurut Lontar Tatwa Siwa Purana, Pura ini berdiri pada masa pemerintahan Raja Chandrasangka, pada abad X, sebagai pura Penataran dari Kerajaan Bali Kuna, terletak di pusat pemerintahan, dan disebut sebagai Bata Anyar.
Menurut R. Goris (1948), pada masa itu di Bali berkembang kehidupan keagamaan
yang bersifat sektarian. Ada sembilan sekte yang berkembang pada masa
itu. Sekte-sekte tersebut adalah Pasupata, Bhairawa, Siwa Sidhanta,
Waisnawa, Bodha, Brahma, Resi, Sora dan Ganapatya. Masing-masing sekte
memuja Dewa-Dewi tertentu sebagai istadewata (Dewa Utama) dengan simbol
tertentu. Penganut setiap sekte berkeyakinan bahwa istadewata merekalah
yang paling utama di antara dewa yang lain. Keyakinan sektarian
itu mengakibatkan benturan konflik dan ketegangan antar-sekte. Hal ini
berpengaruh terhadap stabilitas kerajaan dan masyarakat.
Menyadari hal itu, raja suami-istri Gunapriyadharmapatni dan Udayana
berusaha mengatasinya dengan mengundang tokoh-tokoh spiritual dari Bali
dan Jawa Timur (Gunapriyadharmapatni adalah putri raja
Makutawangsawardhana dari Jawa Timur) untuk mencari jalan keluar gejolak
antar-sekte ini.
Pada waktu itu di Jawa Timur ada lima pendeta bersaudara. Ke-lima
pendeta bersaudara tersebut kerap dijuluki Panca Pandita atau Panca
Tirta. Mereka adalah Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, Mpu Gnijaya dan
Mpu Bharadah. Dengan pemahaman mendalam terhadap latar belakang sejarah juga budaya yang berkembang di tengah masyarakat, kemampuan bernegosiasi dan juga semangat memotivasi orang lain, mengatasi konflik, menjadi teladan bijak bagi umat, kelima pendeta tersebut diyakini mampu mempersatukan umat yang terpecah-belah. Empat di antara kelima pendeta tersebut didatangkan ke
Bali secara berturut-turut, yaitu:
1. Mpu Semeru datang di Bali pada tahun saka 921 (999 M) berparhyangan di Besakih.
2. Mpu Ghana datang pada tahun saka 922 (1000 M) berparhyangan di Gelgel.
3. Mpu Kuturan datang pada tahun saka 923 (1001 M) berparhyangan di Silayukti, Padangbai.
4. Mpu Gnijaya datang pada tahun saka 928 (1006 M) berparhyangan di Lempuyang (Bukit Bisbis).
Mpu Kuturan yang berpengalaman sebagai kepala pemerintahan di Girah
dengan sebutan Nateng Girah, oleh Gunapriyadharmapatni diangkatlah
beliau sebagai senapati dan sebagai Ketua Majelis Pakira-kiran I jro
Makabehan.
Melalui posisi yang dipegang itu, Mpu Kuturan melaksanakan musyawarah
bagi sekte keagamaan yang berkembang di Bali bertempat di Pura Penataran
kerajaan. Pada masa itu, setiap kerajaan di Bali memiliki tiga pura
utama: Pura Gunung, Pura Penataran (di pusat kerajaan) dan Pura Segara
(laut). Upaya Mpu Kuturan berhasil. Musyawarah tersebut berhasil menyatukan semua sekte untuk
penerapan konsepsi Tri Murti yaitu kesatuan tiga manisfestasi Tuhan
(Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa) dalam satu kesatuan yang tak
terpisahkan. Konsep Tri Murti ini diperkenalkan dan disebarluaskan pada masyarakat, berlaku tidak hanya di Bali, namun di seluruh nusantara.
Konsepsi "three in one" ini (aryapengalasanblogspot.com) berlaku di
seluruh Bali dan menghapuskan dominasi satu sekte terhadap sekte
lainnya, meskipun belakangan sekte Siwa Sidhantalah yang tampil dominan.
Penyatuan ini serupa dengan apa yang dilakukan oleh Mpu Kuturan di Jawa
dengan mendirikan Candi Loro Jonggrang (Prambanan) yang memuja Dewa
Brahma, Wisnu dan Ciwa.
Untuk memperingati peristiwa penting tersebut maka tempat dimana terjadi
musyawarah tersebut, yakni Pura Penataran kerajaan tersebut, diberi
nama Pura Samuantiga.
Konsep Tri Murti yang diperkenalkan oleh Mpu Kuturan kemudian diterapkan
dalam pola Desa Pakraman dengan pendirian pura Kahyangan Tiga yakni
Pura Desa (Brahma), Pura Puseh (Wisnu) dan Pura Dalem (Siwa) pada setiap
desa. Bagi setiap keluarga, diterapkan pembangunan Sanggar Kamulan Rong
Tiga (tempat pemujaan dengan tiga pintu).
Pura Samuan Tiga telah menjadi saksi sejarah perjalanan panjang masyarakat Bali, tentang kehidupan, budaya, konflik, perpecahan, perjuangan, penyatuan, semangat kebersamaan, usaha dan kerja keras, doa
Ini yang menjadi pitenget bagi siapapun, bahwasanya, harmoni akan tercipta bila didasari dengan niat tulus dalam diri setiap insani, pemahaman mendalam terhadap latar belakang sejarah, saling menghargai satu sama lain, dan aplikasi nyata dalam berbagai aspek kehidupan. Karena.... bukankah, setiap orang memiliki peranan dan fungsi nya masing-masing yang akan saling melengkapi satu sama lain. Pedagang, penyanyi, petani, nelayan, guru dan murid, pemimpin dan rakyat, penguasa dan pengusaha, tokoh spiritual dan umat. Semua sama penting dan mulianya.
Aryapengalasanblogspot.com
Tatwa Siwa Purana
Babad Bali.com
Goris, R. 1948. Sejarah Bali Kuno. Singaraja: Tidak diterbitkan
Goris, R. 1954. Prasasti Bali I. Bandung: NV Masa Baru
Stutterheim. 1930. Oudheden van Bali.
Stuterheim. Willem. 1987. Buku Teks: Sejarah Bali. UI: tidak diterbitkan.