Terkadang masalah datang dan membuat kita alami gangguan kepribadian. Merasa sedih, marah, benci, rindu, memberontak, menghancurkan benda di sekitar, melukai orang lain, melarikan diri, bunuh diri.... Apakah yang dapat dijadikan pedoman, tatkala ini terjadi? Materi? Pemimpin? Tetua? Kekasih hati? Harta? Bagaimana, jika orang terkasih tak disisi? Menemukan masalah yang tiba bertubi-tubi, dipecat, kehilangan orangtua, anak, sahabat, suami, harta benda. Hmm...
Tidak pernah ada istilah mantan anak atau mantan orangtua. Ada mantan suami atau istri. Bekas rumah, mantan pemimpin. Tanpa orangtua, tanpa harta, tanpa belahan jiwa, seseorang masih bisa tetap hidup, menjalankan kehidupan, mengalami perkembangan. Namun, apakah pedoman kehidupan kita di dunia? Harapan dan tujuan kita?
Dalam Bhagavadgita (IX: 22, 27, 29, 30, 32) terpapar hal yang patut dijadikan pedoman dalam meniti hidup dan kehidupan. Jadikan kitab suci Weda dan Bhagawadgita sebagai pedoman hidup dan kehidupan, yatra yogesvarah krishnah yatra partho dhanur-dharah, tatra srir vijayo bhutir dhruva nitir matir mama (XVIII.78), "Dimana saja, bila Tuhan Yang Maha Esa diagungkan dengan mengimplementasikan ajaran-Nya, oleh umat manusia yang cerdas dan bijaksana, maka di sana pasti kesejahtraan, kedamaian, ketentraman, dan kebahagiaan dapat diwujudnyatakan”.
Dilandasi dengan Sraddha (keimanan) dan Bhakti (ketaqwaan) menurut ajaran suci Weda, yang dikaji secara mendalam, ajaran suci itu sangat logic dan memberi manfaat yang benar-benar mengantarkan seseorang pada keadaan jiwa yang tentram dan damai, senantiasa riang gembira, penuh dedikasi dan kebahagiaan. Permasalahannya kini bagaimana ajaran yang luhur tersebut bisa diwujudnyatakan dalam kehidupan sehari-hari. Sejauh mana kita yakin, memiliki keyakinan, mempertahankan keyakinan, mengembangkan keyakinan, sungguh-sungguh yakin. Bahwa, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, akan selalu hadir bersama kita, ditiap pikiran, perkataan dan perbuatan, di tiap jejak langkah dan arah yg dituju.
Kitab suci Weda, juga kitab suci Bhagawadgita memberikan petunjuk agar semuanya itu dilakukan dengan penuh keikhlasan, antara lain dengan membiasakan diri atau abhyasa, yakni latihan yang dilakukan terus menerus (Bhagavadgita VI.36, VIII.8, XII dan XVIII.36), dengan penuh keikhlasan (Bhagavadgita XVIII.1, 3, 4 dan 10), di samping vairagya atau melepas keterikatan terhadap kesenangan yang dapat menjerumuskan dan dengan sthitaprajña yakni hidup yang teguh pada kebenaran (tahan uji) dalam menghadapi gelombang kehidupan, suka dan duka (Bhagavadgita II.54).
Namun, seberapa jauh kita bisa melepaskan diri dari segala keterikatan duniawi? Tiap kali badai datang mengharubiru hati, terpuruk dan jatuh, terluka....
Bisakah aku dicintai? Cukup pantaskah aku dicintai? Layakkah cintaku? Seberapa jauh harus ku melangkah dalam mencintai? Bentuk yang bagaimana akan layak bagi sebuah cinta? Susahkah untuk selalu jatuh cinta dan mencintai serta dicintai, dalam berbagai aplikasi di tiap sendi ruang kehidupan ini?
Dengan membiasakan diri, ikhlas melaksanakan segala sesuatu untuk kebajikan, tidak terikat pada kesenangan yang menjerumuskan dan teguh dalam memegang prinsip dan ajaran dharma dalam menghadapi berbagai tantangan, maka seseorang akan dapat dengan mudah menghadapi dan mengatasi berbagai permasalahan tersebut. Menjadikan kitab suci Weda dan Bhagawadgita sebagai acuan, seseorang akan mampu dan sukses menghadapi berbagai permasalahan hidup dan kehidupan, seperti halnya sebuah kompas yang dijadikan pedoman ketika seorang nelayan kehilangan arah di samudra luas. Semuanya itu akan sukses bila dilandasi dengan Sraddha (keimanan) dan Bhakti (ketaqwaan) yang mantap.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
It is hard if we try find a reason to love a resone to be loved :)
BalasHapusBenar sekali...
BalasHapusTerkadang, tidak dibutuhkan alasan apapun, untuk selalu jatuh cinta, dan jatuh cinta lagi, berkali dan berkali....