Melasti dilaksanakan sebelum hari Nyepi sebagai rangkaian kegiatan dalam rangka menyambut tahun baru Caka dan upacara Tawur Kesanga. Melasti atau Mekiyis atau Melis artinya Penyucian diri, dilaksanakan di sungai atau di laut (pantai), danau, campuan, atau sumber mata air suci. Dengan melakukan Melasti, umat mengharap / mohon penyucian diri dari segala dosa atau kesalahan diri kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dalam simbol Beliau sebagai Sang Hyang Baruna, yang disertai dengan berbagai upacara / upakara.
Dr. W.Suarjaya, M.Si., dosen IHDN, di BP 12/3/2010, menjelaskan bahwa Melasti memiliki dua tujuan, angayutaken lara petaka, dan angamet amertha ring tengahin segara. Melalui Melasti, umat Hindu menyucikan secara simbolis Buana Alit dan Buana Agung, dan memohon Tirta Amertha. Memohon kesucian pikiran, perkataan dan perbuatan. Memohon kesucian agar mendapatkan kedamaian dalam lingkungan keluarga, di lingkungan, dan dalam alam semesta.
Berbagai pelawatan Ida Bethara, berbagai simbol dari Sang Hyang Widhi dalam berbagai bentuk dan rupa, berbagai simbol Buana Agung, seperti pratima, diarak di atas Jempana menuju sungai, pantai, danau, campuhan, tempat sumber mata air. Dengan demikian diharapkan dapat membersihkan dan menyucikan pikiran umat manusia, Buana Agung menjadi suci. Tirta Amertha sebagai simbol tirta kehidupan yang menyucikan pikiran umat manusia akan dibagikan serangkaian dengan upacara Pengerupukan, sehari sebelum Nyepi. Setelah pelaksanaan Melasti, selanjutnya Pretima akan Nyejer, dilinggihkan / ditempatkan di Pura Utama, dan diadakan persembahyangan bersama.
Mecaru merupakan rangkaian kegiatan selanjutnya, yaitu upacara yang dilakukan berkaitan dengan Bhutakala / roh jahat yang senantiasa mengganggu desa, biasanya dilaksanakan di persimpangan jalan yang terdapat di desa dengan tujuan agar desa di Somya, yaitu dinetralkan dari sifat buruk atau roh jahat, agar konflik terhindar, agar mara bahaya dan berbagai bentuk penyakit atau gangguan tidak terjadi.
Selanjutnya dilaksanakan Ngerupuk, yaitu membakar semua sifat buruk atau roh jahat yang masih tersisa dengan berkeliling desa membawa obor. Dalam prosesi ritual Pengrupukan, umat Hindu melaksanakan Nyomia Bhutakala. Bhutakala disimbolkan dengan wujud raksasa yg besar dan berwajah menyeramkan. Belakangan, hadir dalam wujud Ogoh-Ogoh. Mengarak Ogoh-ogoh keliling Desa, sekaligus mewujudkan kerja sama dan keberadaan nilai kemasyarakatan di lingkungan Desa. Nilai-nilai Bhutakala ini lah, yang diharapkan lebur, musnah, dengan upacara Pengerupukan. Segala keserakahan, egois, emosi, dan berbagai hal yang bersifat negatif dalam diri umat manusia, agar ke depannya kita bisa memelihara kesucian dalam setiap jejak langkah dan arah tujuan, baik dalam pikiran, perkataan dan perbuatan, baik pada Buana Alit, dan juga Buana Agung.
Setelah semua rangkaian diatas dilaksanakan, dilanjutkan dengan pelaksanaan Nyepi atau Sipeng. Catur Brata Penyepian, amati geni, amati karya, amati lelanguan
Catur Brata Penyepian, amati geni, amati karya, amati lelanguan, amati lelungaan. Padamkan, istirahatkan, relaksasi lah sejenak, pikiran perkataan dan perbuatan dari berbagai tuntutan materi dan fisik semata, dari hiruk pikuk situasi duniawi. Berkonsentrasi pada nilai-nilai agama dan spiritual, menjaga sisi rohani dan psikis, dan menjaga selalu api dalam diri masing-masing umat, agar tercipta santi, damai, di bumi ini.
Selamat Tahun Baru Caka 1932
Dumugo anemu saptawerdhi ring warsane sane jagi rawuh.
Dumogi sarva roga, marana, vighna, papa klesa vinasanam...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar