Jum'at pagi, 27 Juli 2012. Tuntas di pagi hari dengan urusan dalam
negeri alias rumah tangga, dari mencuci dan jemur baju, mempersiapkan
sarapan dan bekal makan siang anak2ku di sekolah mereka. Made
Yudhawijaya berangkat menuju sekolah, SDN 3 Padang Sambian Kelod, dengan
kakaknya, Wayan Adi Pratama, yang lalu menuju sekolahnya sendiri, SMAN 1
Denpasar, di Jalan Angsoka, daerah Kreneng Denpasar. Aku menuju ke Nusa
Dua.
Pagi ini ada Gladi Kotor Upacara Pembukaan Pembinaan Sikap Dasar
Profesi, bagi 800 an mahasiswa baru Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua
Bali. Juga ada Ujian Sidang Tugas Akhir / Skripsi, bagi para mahasiswa
yang telah menuntaskan bimbingan dengan para dosen.
Banyak orang mengatakan, "Ibu, sibuk selalu, terlihat pada banyak
aktivitas dan peristiwa". Hmmm, aku bukanlah orang yang sok aktif dan
berusaha untuk terlihat dimana-mana. Aku juga bukan termasuk orang yang
sering muncul dalam deretan nama pada berbagai SK mengenai orang yang
terlibat dan bertanggungjawab terhadap berbagai kegiatan, khususnya di
STPNDB. Ini semata-mata hanya didorong keinginan untuk memberikan
pelayanan yang terbaik, karena aku mencintai pekerjaanku, menyayangi
setiap aspek kehidupan, dan sekaligus, dorongan untuk berbagi informasi.
Banyak orang yang tidak mendapatkan peluang sebaik diriku, banyak orang
yang tidak mengetahui duduk permasalahan sesungguhnya, banyak orang yang
bersikap tidak mau tahu dan tidak perdulian. Aku ingin menikmati
berbagai situasi dan kondisi, mengumpulkan informasi, memberikan yang
kumampu bagi sesama, dan juga, berbagi dengan yang lain tentang
kebahagiaanku, suka dan dukaku.
Maka, dengan semangat yang sama pula, aku berangkat pagi hari itu,
mengendarai motor tercinta, menembus jalan raya Denpasar - Nusa Dua,
tiba pada pagi hari pukul 7.30, di lapangan olah raga STPNDB.
Kulihat, jajaran dan jejeran mahasiswa baru dengan mengenakan uniform
baju kaos putih dan celana hitam. Panitia, baik dari kalangan dosen dan
pegawai, juga mahasiswa STPNDB, telah berada di tengah lapangan.
Perlahan aku menaiki anak undakan yang menuju ke lapangan OR.
Seorang mahasiswa, dengan mengenakan uniform baju kaos seragam STPNDB
dan celana cokelat menghampiriku. Dari uniformnya, jelas, dia adalah
Warga Kampung. Istilahku bagi mahasiswa yang telah bertahun mengikuti
pendidikan di STPNDB, namun belum mengikuti PSDP, sebagai prasyarat
untuk mengikuti Ujian Sidang.
"Ibu, saya mohon bantuan ibu. Ijin agar saya bisa mengikuti PSDP ini.
Saya baru keluar dari rumah sakit kemarin, karena operasi paru-paru yang
saya ikuti. Saya sekarang sudah semester 5, bu. Saya ingin ikut ujian
semester 6 nanti, tahun 2013".
Ah, anakku ini..... Dia baru saja keluar dari rumah sakit, dan
bersikeras ikut PSDP agar tahun depan bisa berkonsentrasi pada skripsi
dan ujian sidang. Hmmm. Tidak ada perlakuan khusus dan perbedaan
perlakuan bagi seluruh mahasiswa STPNDB, dalam mengikuti PSDP. Ini
bertujuan bagi pembinaan dan pengembangan sikap dalam diri, agar mereka
mengenali bagaimana seorang hotelier sesungguhnya. Karakter seseorang
sudah tentu tidak bisa dibentuk semudah kita membalik telapak tangan,
namun mereka harus paham dan bisa mengaplikasikan ini dalam berbagai
ruang kehidupan mereka. Tidak akan pernah ada kontak fisik. Tapi tidak
akan ada toleransi bagi sikap manja dan kekanakan. Maka, kusuruh dia
beristirahat, mempersiapkan diri bagi kuliah yang akan berawal di bulan
September kelak, dan mengikuti PSDP tahun 2013.
Tuntas di lapangan olah raga STPNDB, aku bergerak ke ruang ujian sidang.
Aku terjadwal menguji bersama bapak I Nyoman Sudiksa, SE., M.Par., juga
I Made Mentra, SE., MM. Ujian sidang kali ini berlangsung di 15 kelas,
dangan masing-masing kelas terdiri dari 3 mahasiswa yang mengikuti
ujian. Dan aku menguji 3 mahasiswa yang ketiganya berasal dari Program
Diploma IV, Program Studi Administrasi Perhotelan.
Pada Ujian Sidang kali ini, terdapat pula beberapa mahasiswa bimbingan skripsiku. Misalnya, Putu Ivan Krisnantha.
Pukul 11.30, ujian sidang tuntas, banyak revisi yang harus dilakukan
para mahasiswa, sebelum mereka dinyatakan lulus, dan berhak mengikuti
Wisuda STPNDB, yang berlangsung April tahun 2013. Aku bergerak pulang ke
rumah. Ada beberapa janji yang harus kupenuhi.
Tiba di rumah, kudapati Yudha, putra bungsuku ini, menangis tersedu2
dengan mata bengkak. Hmmm, dia berduka. Layangan yang dia naikkan
kemarin sore bersama teman2, terputus, dan hilang entah kemana. Padahal,
pagi hari, bapaknya sudah mengingatkan untuk menurunkan layangan
tersebut. Dia bersikeras membiarkan layangan tersebut berkibar sepanjang
hari, agar bisa dipamerkan pada teman2 sekolahnya. Sekolahnya berjarak
50 meter dari perum kami, dan, dia berharap bisa sesekali memandang
layangan tersebut dari sekolahnya. Maka, simbok juga ketiban panik
tatkala siang hari Yudha pulang dari sekolah sambil berlari dan menangis
tersedu2, hingga melupakan sapu yang dibawa dari rumah, tertinggal di
sekolah. Ah ha.... anakku berduka.....
Adi, si putra sulung, pulang dari sekolah, dengan laporan, dia akan
mengganti lensa kamera temannya yang telah tanpa sengaja dijatuhkan. Dia
membongkar uang hasil tabungannya, dari menjual baju hasil rancangan
sendiri, stiker dan gelang yang dibuatnya. Hmmm. Rp 500 ribu yg harus
dia berikan, untuk mengganti lensa kamera seharga Rp 1.500.000. Jumlah
yang sungguh besar. Namun, dia harus bertanggungjawab terhadap hidupnya.
Ini adalah sebuah proses menuju ke arah tersebut. Menjadi seseorang
yang bijak dan dewasa dalam kehidupannya.
Waktu menunjukkan pukul 3 sore, saat aku bersama suami bergerak menuju
Campuhan di Ubud. Setelah urusan kantor dan rumah tangga, kini saatnya
urusan keluarga besar. Dewa Ajik Dewa Gede Sudiastawan, pamanku,
beristrikan seorang perempuan dari Campuhan Ubud, Nyoman Yeni. Besok
adalah hari pelebon ibunda dari bu Jro Yeni, yang telah meninggal dua
tahun silam. Kami melayat ke sana. Dan, karena kami hanya memiliki
motor, maka, aku bergandengan berkendara di atas motor Mio, bersama
suami tercinta.
Panas menyengat sepanjang jalan raya. Berboncengan berdua, mengingatkan
kami pada banyak kebersamaan melewati masa2 23 tahun bersama. Tatkala
baru berkenalan di Jogja, dia menuntaskan S2 di UGM tahun 1992, dan
kutuntaskan S1 di Psikologi UGM tahun 1993. Kami berkendara dengan
menggunakan motor pula. Hmmm, tanpa terasa, 23 tahun berlalu, dengan
segala rasa, suka dan duka, lara dan nestapa, bahagia dan sukses. Semoga
aku masih diberi kesempatan pada tahun-tahun yang akan datang berdua
bersamanya....
Kini,
kami bersama menempuh program pascasarjana S3, Doktoral, Program Studi
Kajian Budaya, pada Universitas Udayana. Dia masuk tahun 2008, dan aku
masuk tahun 2010. Ah, semoga kami bersama bisa meraih sukses dalam
arungi berbagai ujian dan tantangan dalam kehidupan ini.
Tiba di Campuhan, Ubud, pukul 5 sore, kami diterima di Restoran Miros,
yang sekaligus merangkap sebagai tempat tinggal. Ibu Jro sedang mundut
tirta, hanya ada Dewa Ajik beserta Dewa Kadek dan Dewa Nyoman, anak2
mereka, juga beberapa keluarga lain.
Tak berapa lama, tiba rombongan yang mundut tirta dari Beji. Sungguh,
sebuah family gathering dalam situasi begini. Keluarga yang berasal dari
berbagai lokasi, di luar pulau, juga di luar negeri, berkumpul menjadi
satu, melangsungkan upacara Pitra Yadnya, sebagai simbol penghargaan
terhadap leluhur dan budaya yang ada,yang diwariskan turun temurun.
Banyak pihak beranggapan, budaya bukan hal utama, dan hanya menghabiskan
biaya, waktu dan tenaga. Namun..... di balik segala kontroversi yang
ada, ini juga memperlihatkan, betapa manusia diberi akal sehat, budi dan
daya, untuk menuntaskan berbagai problema yang ada, untuk mencapai
harmonis di antara mereka.
Tinggal diri kita sendiri yang bisa memilih dan memilah, apakah hanya
akan terhenti pada polemik semata, atau akan mengaplikasikan kearifan
luhur tersebut dalam diri kita, juga bagi sesama yang ada pada
lingkungan kita. Pukul 7 malam, tuntas acara di Ubud, aku berpamit pada
seluruh keluarga besar.
Melintasi Puri Ubud, yang juga bersiap
melaksanakan perhelatan Ngaben / Pitra Yadnya, kusempatkan berhenti dan
mengambil gambar indah yang tersaji. Banyak sawa / jenasah yang
merupakan keluarga dari kalangan masyarakat biasa fi sekitar puri yang
juga bakal ikut di aben.
Lembu
raksasa yang terbuat dari kayu dan bambu, dan Bale raksasa yang akan
diikutsertakan dalam rangkaian prosesi Pitra Yatra terlihat telah siap.
Bade
atau tempat berundag / bertingkat yang akan digunakan meletakkan mayat
yang akan dikremasi juga sudah terpampang dengan megahnya.
Puluhan
patung lembu dengan ukuran lebih kecil dibanding milik keluarga puri,
yang terbuat dari kayu dan bambu sebagai tempat diletakkannya mayat dari
kalangan masyarakat yang akan ikut prosesi ini juga telah berjejer
dengan rapi.
Sungguh,
sebuah maha karya yang memperlihatkan kualitas kerja masyarakat
pembuatnya, melambangkan seni dan budaya masyarakat penyunjung dan
penyungsung budaya tersebut, bahwa, pariwisata tidak hanya sekedar
hura-hura. Pariwisata juga takkan menenggelamkan budaya luhur suatu
bangsa, yang bisa menyikapi ini dengan arif, dan dewasa....
Deretan boncengan sang ibu dan para anaknya. Hmmm, mereka asyik menikmati pemandangan, meski sungguh berbahaya dalam situasi demikian.
Dan,
kunikmati makan malam berdua, bersama suamiku, sahabat terbaikku, teman
dalam selimutku, musuh di setiap debatku, ayah dari kedua anakku, kakak
tercinta, yang kini sedang menempuh program doktoral di Kajian Budaya
UNUD, Drs. Wayan Tagel Eddy, M.S. Kami duduk di Warung Teges, Ubud,
menikmati nasi campur, sebelum pulang kembali ke rumah.