Bali memiliki luas 5.632,86 km per segi, dengan sekitar 3,5 juta jiwa. Situasi dan kondisi Bali, dengan 1.433 Desa Adat / Desa Pekraman, 4.863 Banjar, 2.345 Subak, lebih dari 600 Sekeha Kesenian, seharusnya dapat menjadi potensi dahsyat dari sumber daya alam dan sumber daya manusia dalam mengembangkan eksistensi Bali itu sendiri.
Bali sebagai ikon pariwisata Indonesia, merupakan lokomotif pembangunan perekonomian masyarakat, dengan daya tarik Budaya dan Alam, dimana elemen Budaya Bali sebagian meliputi tradisi, pandangan hidup, arsitektur, agama, makanan tradisional, seni dan musik, barang - barang kerajinan. Hasil survey membuktikan 67 % wisatawan ke Bali mengemukakan bahwa Bali menarik karena budayanya.
Namun, apa yg terjadi di lapangan? sebagai dampaknya.....
1. Pertambahan jumlah penduduk yang bombastis telah mengakibatkan : kualias lingkungan menurun, terjadi pencemaran, pengambilan air bawah tanah semena-mena, tingkat kriminalitas bertambah (STI: kecenderungan konflik dalam komunitas juga bertambah, karena beda kepala, beda mau dan beda mampu)
2. Alih fungsi lahan bertambah : jalur hijau berubah menjadi jalan / ruko, subak berkurang (STI : Aneh ya? Area / lahan pertanian merosot drastis 1000 ha per tahun nya, tapi jumlah Subak justru bertambah).
3. Kemacetan lalu lintas semakin menjadi (STI: ah dulu indah sekali naik sepeda gayung sore hari, dengan anakku bergelayut manja di dalam kantung kangguru di dada, keliling Kuta, Sunset Road, Imam Bonjol, sekarang? Whuih....
4. Komersialisasi / komodifikasi unsur-unsur budaya (STI: iya tuh, segala macam bisa dikomodifikasi...diubah dikit / banyak demi kepentingan wisatawan...demi dapatkan uang).
5. Belum terwujudnya pemerataan (STI: asas adil dan merata? Desa - Kota, Utara - Selatan, Pusat - Daerah, perlu banyak pembenahan).
6. Berubahnya perilaku masyarakat: dari yang ramah, murah senyum, jadi cenderung cepat gerah, negatif thinking duluan, bertindak kurang logika.
7. Produk asesoris pada Daerah Tujuan Wisata lebih dominan daripada produk inti (STI: wisatawan mo lihat alam, atraksi kesenian, dipaksa, diuber untuk beli gelang, kalung, patung, kacamata, jam tangan.....salak gula pasir jadi terlupakan).
8. DTW buatan cenderung keluar dari pakem Pariwisata Budaya (STI: pernah analisis rombongan Gereja, ke Bali Buggy..... wow...jauh jauh datang ke pedalaman, ngebut, merajai jalanan pedesaan, sedikit sentuhan / interaksi dengan budaya.
9. Kualitas pelayanan yang rendah dengan banyak kasus di imigrasi, di bandar udara, di restaurant, di pasar (STI: kecenderungan kita untuk lebih minta dilayani dari pada melayani, memahami, mnerima setiap orang tanpa membedakan).
Hal ini seharusnya menjadi perhatian banyak pihak, kita semua,
Bahwa kita memiliki daya saing yang rendah dan mengalami over supply.
Hal ini terjadi karena kualitas destinasi yang menurun / mulai kurang menarik dimata wisatawan.
Dengan Tourist arrival 7.285.000 per tahun, Room demand 5.500.000 kamar per tahun,Room supply16.145.000 room available per tahun, Travel agent 570.
Ah....
Baliku tersayang..
Tapi..mau bilang apa lagi...
Bali is still Bali...
Bagaimanapun...akan tetap Bali
Demikian kata Covarrubias
Sekarang tinggal kita pikirkan bersama
Apakah implementasi Tri Hita Karana telah berjalan sepatutnya?
Bagaimana pola hubungan, penyusunan rencana, dan operasional,
implementasi serta pengawasan, inspection, antara Pusat dan Daerah, antara masyarakat dan pemerintah, antara stake holder yang terlibat dan bermain
di dalamnya dan para pengusaha. Clifford Geertz menambahkan dalam essainya tentang Mojokuto dan Tabanan: antara rakyat dan bangsawan, antara penguasa dan pengusaha.
Siapa elit kita? Siapa penguasa berikutnya? Seberapa kuat mereka? dan siapa yang mempengaruhinya, pembisik - pembisiknya. Bagaimana spiritnya? Kita membutuhkan orang-orang yang kuat dengan karakter yang dibutuhkan, pemimpin yang berani bertindak tegas, bukan mementingkan keluarga dan sahabat, bukan mementingkan hasrat dan peluang terhadap kemungkinan terjadinya penyimpangan - penyimpangan libido kapitalis dalam pengembangan ipoleksosbudhankam di Bali ini. Sehingga tidak timbul kesan, bahwa Diparda tanggapi dingin desakan Dewan untuk verifikasi perijinan di Badung, Dewan merasa dilecehkan dengan keluarnya Perbup Gianyar tentang kenaikan tarif PDAM padahal Pansus masih bekerja untuk itu, Ranperda RTRWP telah menghasilkan generasi penghancur Bali, dan.....masih banyak contoh kasus lainnya...
Benar...kita perlu banyak orang - orang Hindu, yang kuat, yang berani keluar dari persembunyiannya, yang keluar dari pertapaannya, berani tampil, yang bisa berinteraksi dan bekerja sama dengan berbagai pihak secara luas, menyusun planning dan mengkoordinir tugas serta wewenang, tanpa jabatan ganda yang bakal bikin gak bisa konsentrasi penuh. Sudah tiba saatnya, untuk tidak merengek lagi, berpangku tangan merenungi nasib, bermalas dan menunggu warisan atau bantuan pihak lain, menyombongkan kemampuan diri sendiri, dan keagungan masa silam.
Ah, Baliku....
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Wah..., Mbak Santi, ulasan paling awalnya selalu melihat dari sisi psikologi :)
BalasHapus