Hari ini aku mendapatkan suntikan ke dua untuk vaksin anti rabies, karena gigitan anjing liar yang kudapatkan tanggal 4 Januari 2010 lalu. Setelah selesai dengan urusan di RS Sanglah, aku beranjak kerja seperti biasa.
Sore hari, setelah pulang kerja, dan sempat temui Mangku Danu yang berangkat dengan pesawat Sriwijaya Air pukul 17.00 di bandara Ngurah Rai, lalu ke rumah Ben Marlon di Gg Vanili dekat pantai Berawa untuk mengambil angket penelitian Nyoman Marpha. Akhirnya, pk 18.00 tiba di rumah.
Kulihat, anak-anak perum berkumpul di dekat aula. "Anjing yang menggigit ibu telah dipukul dan diusir keluar dari perumahan ini" demikian komentar singkat mereka. Ah, induk anjing ini sedang memiliki anak anjing yang berusia satu minggu. Ia telah dengan suksesnya menggigit beberapa anak, aku sendiri, bu Ayu, bu Sudar, pedagang koran yang berkeliling, dan, terakhir, Dek Tut. Hm... miris rasanya membayangkan induk anjing ini dipukul hingga berdarah, baik mulutnya, telinganya, dan sekujur badannya. Walau aku sendiri termasuk korban yang digigitnya, dan harus berkali mengalami suntik VAR, tapi, timbul perasaan iba mendalam. Bagaimana nasib ke lima anak anjingnya yang baru berusia satu minggu itu ya?
Perlahan kuhampiri pintu gerbang aula, dimana selama ini induk anjing itu berdiam bersama anak-anaknya. Oooww, kelima anak anjing itu, bahkan, matanya belum lagi terbuka. Mereka bergerak dengan lembut, saling menggeser badan. Sesekali mendongakkan kepala, mencoba mendengus siapa yg berada di sekitarnya. Tiga anak anjing betina, dan dua anak anjing jantan. Dua di antaranya berwarna hitam legam, dan tiga berwarna coklat tua. Ku angkat perlahan satu anak anjing yang berwarna coklat. Bulunya merdesir gemerisik di genggaman tanganku. Kubawa pulang. Dan... satu satu anak anjing itu berpindah ke rumah masing-masing anak. Hmm, entah dimana induknya yang kini terluka parah itu berada.
Di rumahku sendiri, sudah ada empat ekor anjing. Namun, demi menyelamatkan anak anjing ini, aku harus membantunya, setidaknya, hingga dia cukup kuat untuk berdiri sendiri. Hweleh... aku tersenyum membayangkan istilah ini... Dan, tak lama kemudian, putra bungsuku muncul di depan pagar rumah kami. Di genggaman tangannya ada sebuah kotak berisi anak anjing betina. "Ma", bisiknya ragu merayu... "Bolehkah kita tambah satu ekor lagi anak anjing? Della tidak jadi mengambil anak anjing ini".
Ah, Tuhan. Aku bahkan tidak yakin, akan dapat memelihara seluruh anjing ini. Biaya yang lumayan tinggi bagi makanan mereka, vaksin yang harus mereka dapatkan, rumah yang sempit... Tapi, sungguh anugerah mulia jika mereka Kau berikan pada kami untuk dipelihara. Mereka mungkin saja berasal dari berbagai bentuk lain dalam kehidupan mereka terdahulu... Induknya mungkin kejam karena telah menggigitku. Namun, jika dapat membantu nya dengan lakukan ini, membuatnya menjadi manusia dan pada akhirnya dikemudian hari untuk mencapai moksah atau mukti yang yang manunggal dengan tuhan di shatya loka menikmati kebahagiaan abadi jagaditha disebut “mukti’’jadi agama hindu menuntun kita agar mencapai ‘’bukthi’’ dan ‘’mukti’’ atau jagaditha dan moksa itulah makanya setiap kita memuja Dewa Surya maka mantranya menggandung permohonan “…bhukti mukti warpradam…”.
Menurut I Gusti Ngurah Agung Arta Wijaya dalam ajunkdoank.wordpress.com.
Kata moksa berasal dari kata moha dan kyasa moha artinya kebingungan kita sudah berakhir kapan kebingungan kita sudah berakhir pada saat itu kita memulai perjalanan rohani menuju moksa. Orang yang masih moha/kebingungan tentu tidak bisa mencapai tujuan. Umpama ditengah perjalanan kita kebingungan tidak tahu lagi arah mata angin dalam keadaan seperti itu perjalanan kita akan mondar-mandir kesana kemari dan tidak bisa menemukan tempat yang dicari. Kebanyakan dari kita masih kebingungan bingung terhadap diri sendiri Kebanyakan dari kita beranggapan bahwa tubuh inilah diri kita yang sejati yaitu Atma karena tubuh ini dianggap diri menyebabkan prilaku kita mengutamakan kepentingan tubuh dan amat terkait dengan duniawi lalu mengabaikan kepentingan atma. Padahal dunia ini sebenarnya adalah penjara besar yang penuh dengan penderitaan, karena dunia ini di penuhi dengan berbagai kenikmatan untuk memenuhi nafsu badan, itulah makanya kita terbuai dan terbius menjadi Moha/kebingingan. Orang yang mencari hiburan di tempat-tempat mabuk, di perjudian, komplek wts, pesta sabu-sabu adalah orang yang Moha. Dunia ini diumpamakan sebagai mangkuk, yang penuh berisi madu dan manusia diumpamakan sebagai lebah. Lebah yang serakah dan bodoh akan berenang ditengah manguk minum madu sehingga terperangkap dan akhirnya mati tenggelam di lem oleh madu yang lengket. Tetapi lebah yang lebih cerdik minum madu di pinggir mangkuk setelah kenyang dia bisa terbang bebas kembali ke sarangnya. Artinya kita bisa menikmati isi dunia tetapi seperlunya saja dan hindarilah tepat –tempat yang dilarang oleh agama. Agama mengajarkan kita agar meniru lebah yang cerdik, jangan rakus , ambil seperlunya saja dan berhati-hati. Dunia ini adalah ladang karma untuk berbuat kebaikan sebanyak mungkin agar hutang piutang karma kita yang dulu bisa lunas.
Andai saja... kita yang manusia ini, mampu gunakan tiap kesempatan dengan baik... se baik-baiknya... mungkin saja pada tahap berikutnya moksa bakal dapat kita raaih, sehingga akan dapat bersatu dengan Tuhan, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dalam satyaloka, swargaloka...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Di kos saya di Jogja juga jadi tempat penampungan anak anjing yang terlantar - walau mungkin jarang banget ada.
BalasHapusHmm, ya, daerah Yogya, termasuk daerah yang jarang ada anjingnya ya?
BalasHapusYa Mbak, di Jogja jarang ada anjingnya, kecuali dusun kami, kadang ada satu dua ekor berkeliaran di jalan.
BalasHapus