Sama seperti banyak orang lain, terkadang rasa jenuh melanda. Dan, perlu
re charge energi agar selalu sepenuh semangat dalam berkarya, tetap
kreatif dari hari ke hari.
Sebagai seorang dosen yang mendapat tugas belajar, aku dibebaskan dari
segala urusan yang berkaitan dengan lembaga dimana aku terdaftar sebagai
tenaga pengajar. Namun atas kesadaran sendiri, kupilih untuk tetap
menjalankan berbagai aktivitas sama. Alasannya adalah, aku termasuk
orang yang hiperaktif dan senang mengerjakan beberapa hal sekaligus. Tak
bisa kubayangkan, rasa jenuh melanda dalam menyelesaikan pendidikan,
sedang aku mendapat kebahagiaan dan semangat jika juga berada di
tengah-tengah para murid dan anak didikku, di tengah para sahabat dan
rekan kerja, dalam melakukan berbagai kegiatan, dari rapat,
seminar-seminar, mengajar, bantu-bantu dalam kepanitiaan. Lagipula, toh,
sudah kubuktikan dahulu, pada waktu kuikuti pendidikan Program
Pascasarjana, Program Studi Kajian Budaya, Universitas Udayana, 2006 -
2008, aku bisa tetap mengikuti perkuliahan dan bimbingan di kampus UNUD,
dan tetap melaksanakan proses belajar mengajar di kampus STPNDB. Dan,
keluarga ku tetap baik-baik saja, baik dari urusan rumahtangga,
bersantai dan berkumpul bersama, menuntaskan banyak kegiatan
bersama-sama....
Kupikir, setiap urusan, sejauh bisa kita diskusikan dan lakukan bersama
secara bergotong royong, kita akan tetap bisa menuntaskan berbagai
urusan dengan sebaik mungkin. Lagipula, bukankah... pada era kini, kita
dituntut untuk memiliki multitasking, atau kemampuan dan kemauan dalam
merancang, menyusun, melaksanakan, mengendalikan dan mengevaluasi banyak
hal sekaligus.
Maka, setelah urusan rumah tangga beres di pagi hari, anak-anakku sudah
berangkat sekolah, suami sudah berangkat pula untuk membantu pelaksanaan
ujian disertasi rekannya seperjuangan, aku mengarahkan laju gerak
motorku. Kali ini ke Besakih.
Karya Pujawali di Pura Besakih, Ida Bethare nyejer dan keantuk mesineb
hingga Jum'at, 27 April 2012. Dan, hingga kini aku belum sempat nangkil
ke sana dengan banyak alasan. Anakku bersama rombongan sekolahnya bahkan
sudah berangkat ke sana. Aahh. Panggilan dan dorongan untuk berangkat
begitu kuat. Hujan yang turun perlahan tidak sanggup menahan jejak
langkahku.
Memasuki jalan raya Bypass Ida Bagus Mantra, hujan turun kian deras.
Ransel di bahu kubungkus rapat dengan tas plastik besar. Jas hujan
menutupi sekujur tubuhku. Bersyukur kukenakan sepatu hitam plastikku,
kugulung celana jeans hingga selutut, menerobos jalan tersebut.
Tiba di Desa Selat, Kecamatan Klungkung, Kabupaten Klungkung, aku
berhenti sejenak. Pasar Akah, mampir ku di sebuah toko kecil di pasar.
Bu Dayu Biyang Ngurah dan Bu Dayu Biyang Suwanti, pedagang kain di sana.
Kubeli seperangkat baju sembahyang dan kain batik. Hmmm, lumayanlah
untuk menghadap Tuhan. Lagipula, bukankah Tuhan tidak pernah menilai
kita dari segala pernak-pernik yang kita miliki dalam menemui nya.
Melanjutkan perjalanan, tiba ku di ajeng Pura Besakih. Berganti celana
panjang dan mengenakan kain panjang, lalu mengendarai motor kembali,
berbelok ke jalan raya di sebelah kanan, sebelum kemudian tiba di Pura
Kiduling Kreteg.
Pura Kiduling Kreteg berhias dengan dominan warna merah, dari Penjor dan
pengider-ider, serta kain yang serba merah. Merah adalah simbol dari
Ida Bethare Brahma, simbol Tuhan sebagai pemelihara alam semesta ini.
Aku menaiki satu demi satu undakan anak tangga untuk tiba di bagian Jero
/ tengah Pura Kiduling Kreteg. Kujumpa Mangku Wayan Karma. Beliau
sedang duduk bersama beberapa umat lain. Sudah sering kuikuti karya dan
aktivitas beliau di jejaring sosial Facebook, dan baru kali ini bisa
berdiskusi. Sungguh bersyukur bisa berjumpa langsung.
Seorang
Insinyur Teknik Sipil tamatan ITN Surabaya, namun kemudian memilih
mengabdikan hidup di jalan Dharma, ngayah demi kepentingan umat. Bahkan,
istri beliau yang seorang mangku istri, juga berjuang sepenuh semangat
ber yadnya bagi sesama. Laku seorang dengan pengetahuan sungguh luas
dalam aplikasi di berbagai sendi kehidupan. Hmmm, aku sungguh kagum dan
menghormati jalan hidup beliau sekeluarga.
Mangku Wayan Karma
bersama Kangmas Soekono Kardimin, seorang penekun spiritual dari
Lampung, berencana bakal berjalan kaki dari Bali ke Ujung Kulon, Jawa
Barat. Mereka sudah ber kali menempuh berjalan kaki ke beberapa tempat.
Dan kali ini bakal mengawali kegiatan pada tanggal 7 bulan Mei.
Ah,
sungguh sebuah rencana yg butuh tingkat penyusunan secara matang dalam
pelaksanaan, agar berjalan lancar. Aku sendiri, belum mampu untuk sampai
ke taraf laku spiritual seperti itu. Hidup dan kehidupan dengan segala
pernak-pernik duniawi masih begitu menggodaku. Jika suamiku sendiri
memiliki laku demikian, aku bakal protes keras, karena bakal merasa
diabaikan dan harus menuntaskan urusan keluarga sendirian.
Bersyukur pada Sang Hyang Widhi Wasa, Mangku Wayan Karma berkenan
menghantarku mengelilingi Pura yang ada di kompleks Pura Besakih. Beliau
menawarkan untuk memperkenalkan lingkungan Pura, dengan uraian
penjelasan yg sungguh mendalam. Hmmm, bagai, menggelar Babad dan
aplikasi nyata di lapangan. Sungguh, tidak semua se beruntung aku dalam
mendapat anugerah ini. Meski berkali ke Besakih, namun aku tetap tidak
mengetahui secara tuntas sejarah, fungsi, bentuk dan makna dari berbagai
situasi dan kondisi yang ada di Besakih.
Dari Pura Kiduling Kreteg, kami mengawali bergerak menuju Pura Gelap,
yang terletak di bagian paling atas dari rangkaian Pura di Besakih.
Kami ber kesempatan berjumpa dan berdiskusi dengan Mangku Gede yang ada
di Pura Gelap. Menerangkan maksud perjalanan ku untuk selalu bersimpuh
dan semakin mendekat dengan Hyang Widhi Wasa.
Banyak
pemedek turut bersembahyang bersama kami. Hmmm, sungguh sebuah nuansa
damai nan teduh berada di pura ini. Sungguh disayangkan, aku tidak bisa
berkumpul bersama keluargaku secara lengkap untuk bersembahyang bersama
di Pura Besakih, karena kesibukan kami masing2, karena mertua dalam
keadaan sangat sepuh, dan karena karena karena lainnya lagi. Sayang
sekali pula, rekan-rekan se kantor tidak sempat nangkil bersama, hingga
Pujawali Ida Bethare Turun Kabeh akan mesineb benjang, tanggal 27 April
2012. Namun, bukankah Tuhan Maha Mengerti dan Sangat Maklum terhadap
seluruh umat Beliau?
Akhirnya, tuntas bersembahyang di sini, di Pura Gelap. Kami kembali
bergerak menuruni anak tangga, menuju Pura yg lain lagi, yang ada di
kompleks Besakih.
Kemudian beranjak menuju Pura Ulun Kulkul, dengan dominan warna Kuning,
sebagai pralambang Mahadewa. Di sini kami jumpai Mangku Istri, dan juga
Ibu Komang Suartini beserta keluarga.
Kembali,
suasana damai dan sepenuh keteduhan menyelimuti suasana hati. Meski
mendung, namun tidak turun hujan. Ah, andai setiap umat manusia merasa
kedamaian yang sama, maka, konflik dan perpecahan yang seharusnya tidak
perlu terjadi, akan membuat kita bersatu dan bersama menjadi manusia
yang semakin bijak dan dewasa menuju masa depan.
Berikutnya, tujuan kami adalah Pura Batu Madeg, dengan dominan warna Hitam. Beliau yang bersthana adalah Dewa Siwa.
Undagan
anak tangga tinggi dan jalan yang berliku, membuatku agak letih dan
keringat bercucuran. Namun perasaan haru biru ini selalu menggiringku
untuk mengucap syukur tiada henti. Betapa.... aku mencintai Tuhan, meski
terkadang, jalan terjal dan jarak jauh menjadi perintang gerak
langkahku.
Terakhir, Penataran Agung Pura Besakih kami mengarah. Umat kian siang
kian membludak. Sungguh bersyukur aku berangkat pagi hari. Bisa sepenuh
konsentrasi dalam berdoa dan berkontemplasi dengan Ida Sang Hyang Widhi
Wasa.
Disini aku diperkenalkan Mangku Wayan Karma dengan istri beliau, Mangku
istri, Desak Suciani. Seorang mangku istri yang cantik dan ber wajah
keibuan. Ketulusan terpancar dari wajah beliau yang jernih. Ah, aku
ingin memiliki ketenangan beliau yg terpancar dari hatinya. Membayangkan
melayani umat semenjak pagi dini hari hingga larut malam, meninggalkan
dan menanggalkan keegoan diri, dengan wajah selalu tersungging senyum
manis. Hmmm, aku sungguh belum bisa se damai itu. Keluarga dan sahabat,
serta kehidupan duniawi, masih menggoda hidupku.
Kulihat,
seorang kakek menggendong cucunya yang mengeluh kecapean, seorang ibu
menyusui bayinya dan bersiap untuk sembahyang, pria dan wanita yg
menyungsung banten di atas kepalanya. Hmmm, sungguh, beragam latar umat
yang menghadap Tuhan, dengan beragam gaya dan cara, semua demi berharap
menemukan kedamaian hati. Semoga, kami selalu mendapat berkat Tuhan, dan
tetap di jalan Tuhan senantiasa.
Berikutnya, kami kembali ke Pura Kiduling Kreteg. Aku berpamitan pada
sang mangku, karena akan mengunjungi Ibu IGA Mirah Darmayanti, sahabat
kantorku yang ngodalin di Kayumas. Kami bersama-sama akan mengunjungi
sahabat kantor lainnya, ibu Luh Ketut Sri Sulistyawati dan Ida Bagus
Widana, yang melaspas rumah barunya di Jalan Saridana VI, area Cargo,
Ubung.
Rinduku
belumlah tuntas. Selalu ..... tidak pernah cukup waktuku, untuk berada
di berbagai rumah Tuhan, membahas dan membongkar seluruh makna yang
tersimpan pada jalan spiritual. Hmmm, astungkara Tuhan, Ida Sang Hyang
Widhi Wasa. Aku masih diperkenankan menghadap Mu berkali dan berkali, di
berbagai rumahMu. Swaha......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar