Setelah sekian lama tidak bisa pulang ke Sepang, entah demi alasan
kesibukan demi kesibukan yang menggoda, meski anak2 sedang dalam libur
sekolah mereka, maka, Sabtu, 14 Juli 2012, aku dan Putu Widhiasih,
simbok, pulang berdua.
Yudha
menolak ikut, meski sudah kurayu berkali. "Bapak enggak ikut pulang,
Yudha di sini aja dengan bapak" Sahutnya sambil mohon ijin melanjutkan
proses membuat layangan bebean berukuran 2,5 X 1,5 meter bersama
teman-teman, dengan dibimbing oleh Om Putu, tetangga kami. Adi,
kakaknya, berangkat ke sekolah mempersiapkan MOS bagi adik-adik kelas
mereka yang diterima di SMAN I Denpasar.
Minggu depan adalah
minggu dimana para murid mulai mengawali kegiatan belajar mengajar.
Mungkin kami akan agak sukar mengatur jadwal untuk pulang kampung. Maka,
kusempatkan pulang bersama, menemui para ipar dan kerabat di kampung.
Toh Ayu, cucu suami yang sudah 7 tahun bersama kami, mengasuh anak-anak
semenjak kecil, baru menuntaskan ujian Kelompok Belajar Paket C, setara
dengan SMA.
Kami berangkat sudah siang. Pukul 10. Namun dorongan
hasrat akan kerinduan pada kampung halaman begitu kuat. Dengan motor
Astrea Grand keluaran tahun 1993, kami menyusuri arah jalan pulang.
Banjar Tegallantang, Dalung, Pura Purusadha di Kapal, dan tembus di
jalan raya Denpasar Gilimanuk. Kusadari kami terlupakan membawa jas
hujan. Hmmm, semoga Tuhan, Ida Sang Hyang Widhi Wasa memberkahi, dengan
udara sejuk, mendung, tiada hujan.
Tanpa
berhenti semenjak dari Denpasar, kami tiba di pinggir jalan, menuju
hutan Bading Kayu. Berhenti sejenak untuk menikmati roti dan minuman
yang kami beli di warung pinggir jalan. Waktu menunjukkan pukul 11.
Menyusuri hutan Yeh Leh Yeh Lebah, jalan aspal yang berlubang dan batu
kerikil berserakan, tanjakan dan turunan parah. Ayu menangis tatkala
menyadari mobile phone nya hilang. Kami hampir tiba di jalan desa Dapdap
Putih. Hmmm, terpaksa kembali menyusuri jalan. Hingga 5 km kembali
menuju ke arah Bading Kayu, dan, kami sadari, tak mungkin handphone
kembali, pasrah, dan kembali melanjutkan perjalanan menuju kampung
halaman.
Tiba di KUD Dapdap Putih, kami berhenti membeli oleh2 dan
buah tangan bagi keluarga. Kubelikan pula oleh2 bagi orangtua dan adik
bayi Ayu. Ya, Ayu memiliki adik bayi yang berjarak 20 tahun usia
dengannya. Ibunya kembali melahirkan anak. Maka Ayu memiliki dua adik.
Kami
kembali melanjutkan perjalanan menuju Utara. Sungguh, sebuah usaha
menjadi seorang pengendara motor ulung di daerah ini...... Betapa tidak,
jalanan menanjak dan menurun, menikung, aspal yang tidak bisa dibilang
bagus. Hmmm, jangan bilang dirimu seorang biker sejati sebelum
menaklukkan medan jalanan ini, dengan tantangan luar biasa.
Di
desa Sepang Kelod, kami berpisah. Ayu kutitipkan pada seorang tukang
ojek yang akan membawanya menuju ke Dusun Gunung Sari. Jalannya
menanjak, dan ada tanah longsor yang menyisakan badan jalan hanya
separuh. Aku menyerah kalah untuk medan ini. Aku berbelok ke arah Dusun
Asah Badung, menuju ke Pangkung Singsing, istilah bagi daerah dimana
rumah tua berada. Disini kujumpai Kadek, keponakan, sedang ngepikin
cengkeh. Istilah bagi memisahkan cengkeh dari batangnya, dengan
menggunakan kedua tangan.
Dia
menghidangkan segelas kopi, juga jaje bali hasil bikinan nya pagi ini.
Hmmm, keramahan yang sungguh mengobati rasa lelah setelah menempuh
perjalanan 3 jam dengan berkendara di atas motor.
Selesai
bercengkerama dan diskusi, kami berjalan beriringan menemui suaminya
yang sedang mengalap cengkeh. Istilah bagi orang yang sedang memanjat
dan memetik cengkeh dari pohonnya. Menyusuri jalan setapak menyeruak
kebun, diantara aroma cengkeh dan kopi yang memerah, kami temui Nyoman
Kopat suaminya, sedang memindahkan tiying banggul, batang bambu untuk
memanjat, dari satu pohon, ke pohon lainnya. Dia ditemani oleh 3 orang
tenaga pengalap.
Kulihat
juga ada seorang anak kecil, yang ikut ngorek, memungut cengkeh yang
terjatuh di tanah. Hmmm, betapa, anak sekecil itu sudah ikut terlibat
dalam upaya mengumpulkan uang demi membantu orangtua. Dengan wajah ceria
kekanakan, dia berlarian membawa kantung plastik kecil yang berisi
cengkeh.
Ponakanku,
Nyoman, terlihat sedang mengikat tiying banggul dengan menggunakan tali
ke pohon cengkeh, agar tidak mudah bergerak pada saat sedang dinaiki
oleh para pengalap.
Aku
kembali melanjutkan perjalanan berjalan kaki menuju ke arah Utara, dimana iparku
berada. Kudapati Mbok Ktut Ngempi sedang duduk di dapur rumah.
Ponakanku, Ketut, bersiap untuk berangkat ke dokter, mengantar suaminya,
Wayan Mulyawan, ke dokter di Dapdap Putih. Juga sambil mencukur rambut
Putu Dita, anak mereka, yang akan kembali masuk bersekolah hari Senin
ini.
Putu
Dita, sang cucu, bermain sepeda mengelilingi halaman rumahnya, di
antara timbunan cengkeh dan kopi yang ditutupi terpal plastik.
Di
halaman terdapat timbunan cengkeh yang ditutupi terpal agar tidak
terkena hujan dan embun malam yang bisa meninggikan kadar air dalam
cengkeh, hingga bisa membuat cengkeh rusak. Bli Wayan Tinggal menginap
bersama Mbok di Bebengan untuk sementara waktu, sambil ngepikin cengkeh
yang baru di alap, dan menjemur cengkeh yang sudah dikepikkin. Waktu
menunjukkan pukul 4 sore saat setelah makan bersama Mbok, aku berpamit.
Pukul
4 sore, ke empat tenaga pengalap di tegalan cengkeh bli Wayan Tinggal
berpamitan pulang. Mereka membawa hasil cengkeh yang mereka alap, dan
bakal dikepikkin oleh anggota keluarga. Dan keesokan hari bakal membawa
cengkeh yang sudah dikepik agar siap dijemur di halaman rumah Mbok Ktut
Ngempi ku ini.
Kembali
berjalan menyusuri jalan setapak menuju ke rumah tua. Lalu mengambil
kunci motor dan melaju mengarah ke Barat, kali ini rumah Bli Made Miasa
dan Mbok Tut Sukati.
Jalanan menanjak beraspal yang sudah
mengelupas, berkerikil. lalu jalanan dari campuran semen dan kerikil,
sebelum akhirnya tiba di halaman rumah Iluh tempat kutitipkan motor
hingga keesokan hari. Kuputuskan akan menginap di tempat Mbok Tut Kauh.
Terlihat
ada beberapa orang sedang menyelip bijih kopi yang sudah kering, agar
terlepas dari kulit kopi. Suara mesin selip keras terdengar
meraung-raung. Aku melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju
rumah Bli Made dan Mbok Ktut Dauh.
Kudapati
Bli Made sedang ngepikin cengkeh. Simbok malah masih di atas pohon
cengkeh. Hmmm, sungguh berat perjuangan para petani cengkeh. Bli Made
dan Simbok sudah tua. Anak satu2nya adalah perempuan, menikah dengan
orang Jepang, dan tinggal di negeri sakura bersama kedua anaknya. Sudah
tentu, mereka sangat kesepian. Ahhh. Seringkali mereka bertanya, andai,
salah satu dari anakku mau tinggal bersama mereka.....
Di
saat ini, panen cengkeh terjadi pada hampir seluruh daerah di kabupaten
Buleleng. Berbarengan pula dengan panen kopi. Banyak dibutuhkan tenaga
untuk ngalap atau memetik. Per hari, buruh tukang ngalap cengkeh
mendapat upah Rp 60.000. Dengan membawa nasi dari rumah masing-masing,
mereka mendapatkan lauk untuk makan siang, juga kopi dan jaje bali.
Mereka bekerja dari pukul 8 pagi hingga pukul 4 sore. Berdiri di atas
tiying banggul yang berisi palit untuk pijakan kaki dan berpegangan,
memetik cengkeh dari ranting pohonnya, memasukkan ke dalam kantong dari
karung plastik.
Cengkeh yang baru di alap dari pohonnya dan masih bersatu dengan batang.
Cengkeh yang telah kering dijemur akan menjadi hitam.
Bila
para pengalap ini membawa cengkeh ini ke rumah masing-masing, lalu
mengepik dan membawa kembali hasil cengkeh kepikan, akan dihargai seribu
rupiah per kg nya. Dan.... panen cengkeh ini akan berlangsung hingga
sebulan atau dua bulan ke depannya. Wooww. Sebulan kerja, mereka bisa
mendapatkan hampir Rp 2 juta rupiah. Ahai, sungguh, sebuah usaha yang
tidak kan sia-sia. Tuhan menghargai dan memberkati orang yang mau
bekerja keras dalam mewujudkan keberhasilannya.
Banggul
yang dipergunakan pengalap untuk mengalap cengkeh dari pohon. Terbuat
dari batang pohon bambu, dengan tinggi 15 hingga 30 meter, dibuatkan
palit setiap setengah meter, untuk pijakan kaki dan berpegang.
Di sela kesibukan, simbok masih menyempatkan membuatkan hidangan dan wedang bagi ku. Keramahan khas orang kampung....
Memasak
dengan menggunakan tungku dari batubara. Hmmm, menikmati suasana alam
pegunungan, kokok ayam membangunkan dari tidur, alam hijau pegunungan
terhampar indah di depan mata.
Bli
Wayan Tinggal. Sungguh sudah sepuh, namun tak hendak hanya berdiam
diri, masih tetap berkarya, meski hanya sekedar ngepikin cengkeh dan
menjemurnya. Tinggal di gubuk bambu, menolak tinggal di rumah baru, demi
menunggui cengkeh agar tidak dicuri orang. Hmmm, sungguh berat
perjuangan menahan dingin angin malam mengusik rematik yang diidap
beliau, juga menjaga benda milik agar aman dari tangan2 jahil....
Dalam
situasi panen yang terjadi hampir serempak ini, sungguh susah mencari
buruh atau tenaga untuk ngalap. Hampir semua tersedot pada lahan milik
mereka sendiri, dan juga saling mencari tenaga hingga ke luar daerahnya.
Bahkan, Bli Made Miasa menandukan lahan cengkehnya, karena tidak
mendapatkan buruh untuk ngalap, dan untuk ngalap sendiri beliau sudah
tidak sanggup. Well, daripada cengkeh menjadi berbunga dan tidak layak
untuk di alap lagi. Apalagi, faktor cuaca juga ikut menentukan. Mendung
dan gerimis yang sewaktu-waktu turun akan meningkatkan kadar air yang
dikandung dalam cengkeh, hingga kualitas menjadi merosot. Bahkan,
terkadang, petani terpaksa menyeduh cengkeh, agar cengkeh menjadi panas
dan tidak memutih / rusak.
Setelah buah cengkeh dipisahkan dari
batangnya, batang ini pun bisa dijual seharga Rp 4 ribu per kg. Bahkan,
daun kering cengkeh juga bisa dijual seharga Rp seribu per kg. Siapa
yang membeli? Selalu ada saja para pengepul yang siap untuk membeli.
Mereka lalu membawa ke tempat penyulingan, yang lalu menyulingnya, untuk
dijadikan campuran dalam proses membuat balsam cengkeh. Namun, proses
panen ini sudah tentu tidak setiap bulan bisa mereka dapatkan, bahkan
juga, belum tentu bisa setiap tahun. Semakin lama pohon cengkeh tentu
harus diremajakan kembali, rajin dirabuk, agar rimbun dan banyak
buahnya. Dan ini juga tentu membutuhkan tenaga dan biaya lumayan dalam
perawatan.
Hmmm, disaat harga cengkeh kering di pasaran adalah
Rp 80 ribu per kg, sudah tentu..... sungguh tipis sekali margin
keuntungan yang mereka dapatkan. Belum termasuk ongkos pemeliharaan
tanaman cengkeh, ongkos upah buruh, dan berbagai biaya lain. Entahlah,
apakah aku bisa se sabar dan se bijak para petani dalam melakukan tugas
ini..... atau malah menuntut yang serba instant dan selalu terpatok pada
hasil dan hasil...... bukannya harus selalu berusaha dan berjuang,
dalam jalani setiap proses sebelum meraih hasil dalam genggaman.......
Ah
betapa...... Kehidupan mengajarkan padaku untuk belajar semakin
memahami dan merendah pada kebijaksanaan alam. Sesuatu yang bagi kita
sudah pasti dan indah, namun bisa saja terhempas hingga menjadi hal yang
mengecewakan. Namun, hanya dengan pasrah, mengikuti air yang mengalir,
selalu berharap dan disertai doa, juga usaha keras, maka kita bisa
menjadi semakin bijak. Aku sungguh ingin menjadi smakin bijak, dengan
berguru pada alam.