Setelah bertahun dilanda penyakit hepatitis, akhirnya pamanku meninggal dua minggu lalu di rumahnya. Dewa Nyoman Sudirga, atau lebih dikenal dengan nama panggilan Dewa Nyoman Pagi. Mayatnya telah dikubur di Bongancina, Singaraja. Tak lama kemudian, kakekku juga. Dewa Nyoman Gereh, yang meninggal karena penyakit seska nafasnya, di RS Puri Raharja, minggu lalu.
Setelah urun rembug yang berlangsung di keluarga besar, disepakati upacara ngaben akan berlangsung Wrespati Pon Uye, 15 November 2012, di Bongancina, Kab. Buleleng. Jenasah Dewa Kakiyang yang meninggal di Denpasar untuk sementara diinapkan di RS Sanglah, dan baru akan dibawa pulang tanggal 12 November 2012.
Sekian hari disibukkan urusan anak sakit, dan simbok yang terkapar sakit, aku tidak berani meninggalkan rumah untuk berkunjung ke Bongancina. Kuputuskan baru akan berangkat ke Bongancina hari Kamis, 15 November 2012.
Pagi hari, tuntas dengan cucian 2 ember, memasak demi keluargaku, anak-anak berangkat ke sekolah masing-masing, memberi obat dan makan bagi simbok yang sedang terkapar sakit, aku berpamitan pada suami. Aku berangkat dengan mengendarai motor, melintasi jalan raya Denpasar Gilimanuk. Tiba di Desa Suraberata, aku berbelok ke kanan, memasuki daerah Kedatuan, Kawista, Belatungan, dan menuju Bongancina.
Dua jam mengendarai motor semenjak dari Denpasar, mampir di warung Jero, di dekat rumah Kakekku, kubeli satu karung beras seharga Rp 200.000, lalu kubawa untuk kuberikan pada keluarga sang kakek. Lalu aku berganti pakaian, mengenakan kain, dan bergabung dengan rombongan yang mulai bergerak berjalan menuju setra / kuburan desa.
Wadah layon yang diusung oleh anggota banjar, dan juga bade lembu yang diarak bergerak perlahan, diiringi oleh sekeha gong baleganjur. Kami bergerak perlahan mengiringi dari belakang. Setibanya di kuburan, para tukang banten dan pemangku mempersiapkan beragam upakara dan upacara banten pelebon.
Anggota keluarga yang membawa berbagai lambang dan simbol upakara pelebon mendekat, Wajah-wajah sedih yang terbayang, mulai dari anak dan istri, para cucu dan kerabat, yang tersebar di seantero nusantara, mulai Jakarta, Kalimantan, Jawa, di desa Bongancina sendiri, dari Denpasar, Batuaji Tabanan, Klungkung ..... duh, terbayang bapakku saat pelaksanaan Pelebon di Batuaji, Kerambitan Tabanan, tahun lalu.
Kulihat Om Dewa Ketut Anggrawan. Beliau adalah adik dari Om Dewa Ajik Nyoman Pagi yang ikut di aben hari ini. Berdua, mereka pernah berada di Pontianak. Tinggal bersama kami di perumahan, asrama tentara di daerah Sungai Raya. Menghantar dan menjemput kami ke dan dari sekolah. Belasan km. Ya, aku adalah empat bersaudara yang pernah mereka rawat sawaktu SD dahulu.
Kulihat pula, Dewa Ajik Chiko di antara para saudara yang berada di setra desa Bongancina. Beliau belum berkeluarga, namun terlibat aktif dalam beragam aktivitas keluarga besar, juga kehidupan bermasyarakat di desa tersebut. Hmmm, sungguh, sebuah bentuk ke arah kebijaksanaan dalam memimpin keluarga di masa depan kelak.
Jenasah Dewa Kakiyang Nyoman Gereh dan Dewa Ajik Nyoman Pagi diturunkan dari Bade, dan dimasukkan ke dalam patung sapi, sebagai simbol kendaraan yang akan menghantar menggapai Hyang Widhi Wasa, dan bersatu dengan Beliau. Lalu kemudian api pembakaran dinyalakan, perlahan menghanguskan patung dan seisinya.
Di antara para pengunjung yang terlihat di sekeliling setra desa tersebut, ada pula anggota keluarga besar Batuaji, yaitu Dewa Ajik Nyoman Krisna, yang khusus datang dari Jakarta. Dahulu kala, di saat mereka masih kanak-kanak, persaudaraan kental tercipta antara Bapak kandungku tercinta, Dewa Ajik Made Tjeteg, Dewa Ajik Nyoman Gereh, dan Dewa Ajik Nyoman Krisna.
Mereka bertiga akhirnya merantau keluar daerah. Bapak kandungku, Dewa Ajik Made Tjeteg, melanjutkan pendidikan Sekolah Asisten Apoteker di Jogjakarta, lalu memilih ditempatkan di Rumah Sakit Angkatan Darat di Pontianak, Kalimantan Barat. Dewa Ajik Nyoman Gereh, merantau ke Kalimantan Tengah, dan Dewa Ajik Nyoman Krisna ke Jakarta. Sekarang yang masih tertinggal adalah Dewa Ajik Nyoman Krisna.
Terlihat pula, Dewa Ketut Suryantara, saudara sepupuku, yang kini bertugas di Jakarta.
Ada pula, Dewa Made Dwipayana bersama Dewa Gede Muliawan, di antara para keluarga besar, yang hadir di setra desa Bongancina saat itu.
Kulihat Desak Nyoman Suryani, saudara sepupuku nan cantik, yang belum menikah. Berdiri di dekat Dewa Aji Gede, yang khusus datang dari Sumbawa, untuk kelangsungan upacara Pelebon ini.
Dewa Aji Mangku, bersama Dewa Aji Siwa, kehadiran beliau-beliau yang kompak ini, membantu menuntaskan pelaksanaan upacara Pelebon bagi anggota keluarga besar, yang tersebar di seantero Bali
Satu setengah jam api menyala dari tabung pembakaran, sebelum akhirnya semua tuntas terbakar. Dan, tepat di saat2 tuntas, hujan turun dengan deras. Namun upacara tetap berlangsung, memilih dan memilah sisa tulang, meringkas, dan kembali mempersiapkan prosesi berikut, nganyut ke campuhan sungai Bongancina.
Mengajarkan anak-anak mengenai budaya sendiri, adat istiadat, ritual dan prosesi, banten dan makna yang ada di balik setiap gelaran upacara dan upakara, menghargai warisan leluhur dan nenek moyang mereka. Hal ini akan memperkuat kepribadian mereka sendiri dalam menghadapi berbagai tantangan dan rintangan kehidupan. Membentuk menjadi pribadi-pribadi yang tangguh dan dewasa, juga bijak dalam menghadapi beragam situasi dan kondisi hidup....
Meski hujan, anak-anak ini tetap bertahan melihat dan menyaksikan upacara Pelebon sang kakek dan paman terkasih mereka.... Tetap dengan segala keceriaan anak-anak yang terpampang di wajah dan perilaku mereka.
Meski hujan deras turun melanda, membasahi tempat dimana rangkaian upacara Pelebon sedang berlangsung, namun sebagai bentuk bhakti anak dan menantu, juga sanak saudara, tetap bertahan dan terlibat dalam rangkaian peristiwa. Penampilan bukan lagi suatu hal ekslusif yang harus terjaga dan tertata rapi serta anggun......
Pasangan suami istri yang berbasah-basahan menuntaskan upacara Pelebon, sebagai bukti bhakti anak dan menantu. Pamanku, Dewa Ajik Made Dhyana Putra, beserta istri tercinta.
Ida Ratu Peranda dari Wana Sari, yang membantu memuput upacara Pelebon, sehingga tuntas rangkaian yang harus dilewati sang atman dan juga para keturunan beliau....
Kemudian kami kembali melanjutkan perjalanan dengan kendaraan, membawa rangkaian serpihan sisa tulang jenasah yang akan dihanyutkan di campuhan aliran sungai desa Bongancina, sebelum kembali ke rumah induk, dimana semua rangkaian dituntaskan.
Mangku mengawali dengan proses pencaruan, pembersihan area rumah, dan para anggota keluarga melantunkan kidung suci puja dan puji bagi sang atman yang ditempatkan dalam sebuah daksina. "Nyampat, nyampat, meceniga sumping keladi, sane nyampat putran dewa,
sane me banten putran dedari, apang enggal i dewa numadi....."
Duh,
lantunan kidung yang membuat astralku memintas ruang batas tepian
waktu..... ini yang kunyanyikan tatkala upacara Pelebon bapakku tahun lalu di Batuaji. Rinduku pada Hyang Maha Guru. para bethare, leluhur, Tuhan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.....
Penglingsir Pasemetonan "Ksatria" Batuaji, Dewa Aji Gede Susatya, ikut datang menghadiri Pelebon ini.....