Desak Nyoman Nesi adalah bibiku, adik dari bapakku, Dewa Made Tjeteg. Kakekku adalah seorang Pemangku di Batuaji Kelod.
Setiap bulan sekali, aku pulang ke Batuaji, menghantar bibiku ke rumah sakit Tabanan, kontrol gula darah. Dan, terakhir aku mengantar beliau, pada tanggal 14 Mei 2016. Sebelum aku melaksanakan tugas sebagai Narasumber pada Pengabdian Masyarakat Program Studi Administrasi Perhotelan STP Nusa Dua Bali, tanggal 25 s/d 27 Mei 2016, di Desa Licin, Kecamatan Ijen, Kabupaten Banyuwangi, Propinsi Jawa Timur.
Tanggal 27 Mei 2016, di atas Ferry yang bergerak dari pelabuhan Ketapang menuju pelabuhan Gilimanuk, aku mendapat berita bahwa kondisi Dewa Biyang semakin melemah setelah sempat terjatuh di halaman rumah sambil memungut bunga kamboja. Hingga akhirnya meninggal pada pukul 4.30 pagi dini hari, Sabtu, 28 Mei 2016, aku tidak sempat menemani beliau di penghujung nafasnya.
Saat kuterima telpon dari Dewa Gede Suputra, saudara sepupu yang juga tinggal berdampingan bersama Dewa Biyang, yang mengabarkan bahwa Dewa Biyang telah meninggal, kuputuskan untuk tidak menangis..... Aku berbisik perlahan, memanggil bapakku, kakek dan nenekku, bahkan Dewa Biyang Nyoman Nesi, para leluhur, juga Tuhan, untuk membantuku, memberi jalan keluar dari situasi yang kuhadapi..... Sepanjang perjalanan menuju Batuaji Kelod, sambil mengendarai motor tuaku tercinta, si putih nyonya tua, kuputuskan, tidak akan menangis meratapi keadaan, namun bersyukur atas situasi yang kuhadapi.
Tiba di halaman jeroan, pukul 07.00, dan perlahan naik ke Bale Gede, tempat Dewa Biyang disemayamkan...... Kucium tangan nya, kucium pipinya..... Kubisikkan, "Biyang, Santi akan mengangkat Biyang. Biyang akan Santi Abenkan. Mohon bantu Santi memperlancar semuanya....." Aku lalu turun dari Bale Gede, menyampaikan niatku di depan keluarga besar yang telah berkumpul.
Bahkan, saat keluarga besar memutuskan akan memanggil mantri suntik formalin jenazah, aku belum memiliki uang di tangan, juga rekening di bank dalam keadaan kosong..... Ah. “Ongkos nya satu juta seratus ribu rupiah”, ujar mangku alit.
Berikutnya, aku ditemani oleh mangku alit, Dewa Kadek Dwipayana, juga Dewa Komang Rai, nangkil, menemui Dewa Aji Siwa, ghriyanya terletak di bagian Utara dusun kami. Beliau menyatakan rencana dewasa baik untuk melakukan prosesi pengabenan adalah setelah melaspas Bale Banjar saat Tumpek Wayang, yakni Anggara tanggal 7 Juni, dengan tingkatan madya. Kami lalu kembali ke Jeroan, dan bersiap berangkat ke Grhya di Banjar Anyar, Desa Timpag.
Berikutnya, bersama suamiku yang juga telah tiba di Jeroan, dan dua kendaraan milik Dewa Kadek Lemuh, dan Dewa Komang Rai, mangku alit, beberapa serati atau tukang banten, kami menemui Ida Ratu Peranda Ghriya di Timpag. Kami menjelaskan rencana nangun karya, melaksanakan upacara Pelebon Desak Nyoman Nesi, memohon untuk dibantu dan dibimbing, agar prosesi berjalan lancar.
Ibu dan adikku yang masih berada di Pontianak, selalu memonitor dengan telpon genggam. Tiket pesawat tidak berhasil mereka dapatkan, dan akan dicoba lagi esok hari. Ibuku selalu terdengar menangis setiap kali berhasil tersambung denganku. Kutenangkan beliau, dan kukatakan, aku baik-baik saja, dan siap melakukan upacara tersebut bersama bantuan keluarga besar......
Well..... dari hari Sabtu, tanggal 28 Mei 2016, hingga rangkaian prosesi Pelebon berlangsung pada puncaknya, hari Selasa, tanggal 7 Juni 2016, aku tinggal di Batuaji Kelod. Dengan hampir setiap hari, berangkat pagi-pagi sekali menuju Denpasar, lalu lanjut ke Nusa Dua, menuntaskan pekerjaan kantor, lalu kembali pada sore hari ke Batuaji Kelod...... Tentu membutuhkan kondisi prima.
Ibu ku tercinta tiba dari Pontianak bersama adikku, I Dewa Nyoman Diwya Artha Kesuma, pada hari Minggu, 29 Juni 2016, pukul 5 sore hari, bersama suamiku dan supir yang masih saudaraku pula, Dewa Kadek Jungkir.
Kakakku, Ni Desak Putu Evi Suandani, tiba dari Jakarta bersama suami dan anaknya yang baru mengikuti UN SMP, hari Minggu, 5 Juni 2016, dengan pesawat Lion Air, pukul 14.30, di Bandara Ngurah Rai.
Dan, adikku, I Dewa Ketut Karma Susatia, tiba dari Jakarta dengan pesawat Air Asia terakhir, hari Senin, 6 Juni 2016. Aku sudah tertidur lelap di teras rumah pada pukul 3.00 pagi hari Selasa, 7 Juni 2016, saat dia berbaring tertidur di sampingku pula...... kami tertidur lelap selama dua jam, dan kemudian terbangun untuk memulai prosesi Pelebon pukul 5 pagi hingga larut malam, Selasa 7 Juni 2016.
Ah, persaudaraan, kekerabatan, keluarga besar...... Inti dari ini semua adalah.... cinta. Cinta dan cita yang bisa menggerakkan kita semua, untuk selalu bersama, meski tak selalu bisa sama dan bersama-sama......
Berkat cinta ku pada Dewa Biyang Nyoman Nesi, aku bisa melaksanakan Upacara PitraYadnya dengan tulus ikhlas, meski dengan beragam situasi yang terkadang memancing emosi ku meluap-luap bagai banjir bandang.....
Berkat cinta ku pada keluarga, hingga aku bisa menempuh jarak Denpasar - Tabanan, pp berkali dalam sehari, mengawasi keperluan suami dan anak-anakku sehari-hari, di tengah rangkaian prosesi Pelebon Dewa Biyang Nyoman Nesi.
Berkat cinta suami ku dan kedua anak-anakku, yang telah mengijinkan ibunda nya, mengurangi perhatian pada mereka, dan lebih fokus pada urusan Pelebon di Desa Batuaji Kelod.
Berkat cinta ibu ku, kedua adikku, dan juga kakak ku, beserta keluarga mereka, yang mengijinkan kami berkumpul bersama, menyelesaikan pelaksanaan rangkaian upacara Pelebon Dewa Biyang Nyoman Nesi di Desa Batuaji Kelod.
Berkat cinta keluarga besar Jeroan di Batuaji Kelod, yang telah memperlancar seluruh rangkaian prosesi Pelebon Dewa Biyang Nyoman Nesi, mulai dari Hari Sabtu, 28 Mei 2016 Nangun Karya, Nancap Taring, Ngeringkes, Pelebon, Nyegara, Me ajar - ajar, hingga Nge Linggihang ring Rong Tiga merajan Alit, Selasa, 7 Juni 2016.......
Berkat cinta dari seluruh keluarga besar pula, yang hadir baik dari Bongancina, Buleleng, Negara, Tabanan, Denpasar, Klungkung, Karangasem, Bangli, Jawa, Kalimantan, para sahabat yang memberikan doa penghantar, maka semua terasa indah juga damai......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar