Melasti atau Melis, Mekiyis,
merupakan rangkaian prosesi dari Upacara Tawur Kesanga. Tawur Kesanga adalah
Upacara yang dilakukan umat Hindu dalam rangka menyambut Hari Raya Suci Nyepi.
Dan tahun ini pergantian tahun Saka 1938 menuju 1939. Pretima maupun berbagai
bentuk, simbol, lambang yang dikeramatkan atau disungsung umat Hindu
dibersihkan, diletakkan dalam jempana atau tempat bagi beragam pretima,
kemudian diarak menuju sungai, danau, atau pantai.
I Gusti Made Darmaweda menjelaskan
bahwa Tawur Kesanga memiliki makna filosofis dimana kita membersihkan diri dari
sifat ego yang melekat, membayar atau mengembalikan sifat hakiki sebagaimana
mestinya seorang umat, terlepas dari keserakahan. Dan Tawur Kesanga berlangsung
pada Sasih Kesanga dari 12 sasih yang ada.
Masing-masing Desa Adat memiliki
awig-awig, perarem, atau peraturan yang ditetapkan berdasar kebiasaan semenjak
leluhur maupun kebijakan yang ditetapkan masyarakat di daerah tersebut. Dan
Desa Adat Kerobokan, Kuta, melaksakan Melasti terkait Upacara Tawur Kesanga
tahun ini pada hari Sabtu, Saniscara Wage Kliwon Julungwangi, 25 Maret 2017.
Melasti diadakan di pantai Petitenget, Seminyak.
Bendesa Adat Kerobokan, Anak Agung
Putu Sutarja, menjelaskan bahwa terkait Melasti, Desa Adat Kerobokan tidak
dapat terpisahkan dari Desa Adat Padang Sambian dan Desa Adat Padang Luwih.
Melasti ketiga Desa Adat tersebut selalu dilaksanakan pada saat yang bersamaan.
Kebijakan ini sudah berlangsung semenjak nenek moyang, dan merupakan kearifan
lokal (indigenous wisdom) yang sekaligus juga bermakna ikatan historis bahwa
kita tidak akan pernah berdiri sendiri dalam menjalani kehidupan ini.
Prosesi Melasti bagi ketiga Desa
Adat ini diawali dengan kegiatan melakukan Pesamuan Hidangan, atau sesaji bagi
para Dewa, Leluhur, Tuhan. Dimana Desa Adat Kerobokan bertugas mempersiapkan
dan membuat sarana upakara Pesamuan, Desa Adat Padang Luwih bertugas membawa
hewan ternak seperti ayam dan itik, anak babi, dan Desa Adat Padang Sambian
bertugas mempersiapkan, membuat dan mengusung banten sesajian loloan. http://koranjuri.com/desa-adat-kerobokan-gelar-pelaksanaan-melasti-di-pantai-petitenget/
. Dari ketiga Desa Adat tersebut, Desa Adat Kerobokan memiliki jumlah pura terbanyak,
yakni 400 pura.
I Gusti Made Darmaweda juga
menguraikan bahwa di dalam kehidupan, manusia selalu mengambil, menyerap
sumber-sumber alam untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Perbuatan
mengambil akan mengendap dalam jiwa atau dikenal sebagai KARMA WASANA https://www.facebook.com/darmaweda
.
Perbuatan MENGAMBIL, perlu dimbangi
dengan perbuatan MEMBERI, yaitu berupa persembahan dengan tulus ikhlas.
Mengambil dan memberi perlu selalu dilakukan, agar KARMA WASANA agar hidup
menjadi harmonis atau seimbang. Hal ini berarti TAWUR KESANGA bermakna
KESEIMBANGAN JIWA, dimana manusia membersihkan diri dan lingkungan.
Nilai ini yang terkandung dan perlu
ditanamkan serta dikembangkan dalam merayakan pergantian Tahun Saka, sehingga
kita memperoleh nilai kesadaran dan toleransi, yang selalu dibutuhkan umat
manusia di dunia ini, baik sekarang maupun pada masa yang akan datang. Karena
dengan menghargai leluhur, melestarikan ajaran leluhur dan mengembangkan dalam
hidup, kita menghargai diri sendiri, juga menghargai orang lain yang ada di
sekitar kita. Hal ini yang mampu membuat kita terhindar dari konflik, dan
dijadikan pedoman dalam mengantisipasi permasalahan yang timbul.
Sebelum berlakunya Peraturan Daerah
Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001, istilah yang digunakan adalah istilah “desa
adat” sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 06 Tahun 1986. Pasal 1 Perda 06
Tahun 1986 menyatakan bahwa:
Desa adat adalah kesatuan masyarakat
hukum adat di Daerah Tingkat I Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan
tradisi dan tata pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun
dalam ikatan Kahyangan Tiga yang mempunya wilayah tertentu dan harta kekayaan
sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri.
Secara formal, istilah desa pakraman
pertama kali digunakan dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa
Pakraman yang ditetapkan pada tanggal 21 Maret 2001. Dalam Pasal 1 angka 4
disebutkan pengertian desa pakraman sebagai berikut:
Desa Pakraman adalah kesatuan
masyarakat hukum adat di Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan
tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam
ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan
harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri.
Sumber Referensi :
R. Soepomo, 2001, Asas-asas dan
Susunan Hukum Adat. Pradnya Paramita., Jakarta.
Van Dijk, 1979, Pengantar Hukum
Adat Indonesia, Penerbit Sumur Bandung, hal. 18.
I Ketut Sudantra, 2001, ”Pola
Penyelesaian Persoalan-persoalan Hukum Hukum Oleh Desa Adat”. Dinamika
Kebudayaan III. Lembaga Penelitian Universitas Udayana, Denpasar.
Tim Peneliti Pusat Studi Hukum Adat
Unud., op.cit., hal. 24.
I Ketut Sudantra, 1999, ”Formalisasi
Forum Komunkasi Antar Desa Adat dalam Kontek Penyelesaian Persoalan-persoalan
Hukum yang Dihadapi Desa Adat”, Kertha Patrika No.72 Th.XXIV. Denpasar:
Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar