“Ni Gusti Made Srimin, ibu, senantiasa mendukung
saya, meski terkadang banyak rintangan yang kami temukan”. Ujar Pande Wayan
Suteja Neka mengenai istri tercinta saat kami berdiskusi bersama sambil
menyusuri ruang demi ruang di Museum Seni Neka di awal tahun 2014. Ada lebih dari 400 an karya seni lukis, 300
an patung dan 300 an keris di Museum Neka yang terletak di Jalan Raya
Sanggingan Campuhan, Desa Kedewatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar ini.
Gallery Seni Neka (Neka Art Gallery) merupakan dunia
bisnis saya, sedangkan Museum Seni Neka (Neka Art Museum) merupakan dunia
idealis saya” Sambung Pande Wayan Suteja Neka. “Saya sudah mendapatkan banyak
hal, kebahagiaan dari ruang seni dan budaya, maka saya berkewajiban
mengembalikan pula kebahagiaan tersebut bagi dunia seni. Dalam hal ini, idealism
saya berkembang luas di tengah masyarakat”.
Lukisan karya Srihadi Soeharsono, tahun 2011
“Saya
mengawali nya sedikit demi sedikit. Mengumpulkan berbagai benda seni dan pusaka
yang menjadi bentuk tanggungjawab saya terhadap keberlangsungan budaya,
khususnya Bali. Saya merasa telah memperoleh kebahagiaan dari dunia seni, maka
saya kembalikan kebahagiaan itu kepada dunia seni itu sendiri. Dan, ibu Ni
Gusti Made Srimin selalu mendukung setiap jejak langkah yang saya lakukan”.
Lanjut Pande Wayan Suteja Neka memaparkan berbagai bentuk dukungan yang telah
dilakukan istri tercinta.
"Kami menikah pada tanggal 3 Mei 1963 dalam situasi penuh kesederhanaan, ditentang oleh pihak keluarga, dan tidak diakui. Namun perlahan kami mampu memperoleh simpati dan berjuang untuk berhasil, meski pun jalannya sering tidak lah mudah. Ibu selalu mendukung saya. Demikian pula dengan ke empat anak kami. Bahkan pada saat saya memutuskan keluar dari pekerjaan sebagai seorang guru dan memulai usaha di bidang seni". Ujar Pande Wayan Suteja Neka.
Gallery Seni Neka (Neka Art Gallery) mulai dirintis
semenjak tahun 1966. Museum Seni Neka (Neka Art Museum) berdiri semenjak tahun
1982. “Meski terkadang mendapat cemoohan dan tidak dipercaya oleh banyak pihak,
namun Ibu selalu mendukung penuh setiap aktivitas yang saya lakukan terkait
budaya”. Ujar Pande Wayan Suteja Neka sambil mengenang masa-masa perjuangan
mendirikan museum seni. Sungguh bukan merupakan hal yang mudah mengumpulkan
sedikit demi sedikit jejak langkah budaya nusantara, khususnya Bali, dalam
bidang seni rupa, mulai dari lukisan wayang klasik, aliran lukis Ubud, aliran
Batuan, aliran kontemporer Bali, hingga aliran kontemporer Indonesia. Hal ini
demi memperluas wawasan pengetahuan para penikmat seni lukis mengenai sejarah
seni rupa di Bali.
Situasi tersebut semakin berkembang denga upaya
Pande Wayan Suteja Neka untuk bergelut pada bidang keris. “Semenjak tahun 2007,
saya menambah ruang museum dengan koleksi ratusan keris. Memang tidak dapat
disangkal, eyang buyut yang merupakan seorang empu keris dari kerajaan Peliatan
Ubud pada awal abad ke 19, Pande Pan Nedeng, telah mengalirkan darah seniman
keris sejati”. Pande Wayan Suteja Neka menguraikan lebih lanjut bahwa meski
bukan merupakan seorang empu pembuat keris, namun JMK Pande Wayan Suteja Neka
berhasil mengembangkan semangat budayawan sejati, sebagai seniman sejati,
dengan koleksi beragam aliran senirupa dan keris yang legendaries, dengan bukti
beragam penghargaan yang telah diraih, seperti Lempad Prize (1983), Penghargaan
Seni dan Medali Emas Gubernur Bali (1992), Piagam Penghargaan dari Mendikbud RI
(1993), Penghargaan Seni Wija Kesuma dari Bupati Gianyar (1997), Piagam
Penghargaan dari Menparpostel (1997), Heritage Award dari PATA Indonesia Chapter
(1997), Penghargaan Adi Karya Pariwisata oleh Pemerintah RI (1997), Penghargaan
Karya Karana Pariwisata dari Pemerintah Provinsi Bali (2003).
Namun kebahagiaan keluarga terusik tatkala ibu Ni
Gusti Made Srimin diketahui mengalami penyakit. Berbagai upaya dilakukan oleh
pihak keluarga demi kesembuhan ibu, termasuk berobat ke Luar Negeri. Dr. Kardi
Suteja Neka menjelaskan bahwa penyakit ibu telah diketahui semenjak beberapa tahun
lalu, setelah dinyatakan tuntas menjalani perawatan di Singapura, ternyata
kemudian kembali kambuh. Kembali pula berbagai upaya dilakukan oleh pihak
keluarga, termasuk menjalani perawatan semenjak awal Januari 2018 lalu di Negara
Singapura. Bergantian pula, pihak keluarga, anak, menantu dan cucu mendampingi
dalam proses perawatan tersebut.
“Ibu Ni Gusti Made Srimin dirawat di Farrer Park
Hospital, Singapura, semenjak 8 Januari 2018, atas penyakit kanker yang
diderita. Bapak Pande Wayan Suteja Neka menemani dengan setia, dan menetap di
One Farrer Hotel and Spa, yang merupakan hotel berbintang lima dan terkait
dengan Farrer Park Hospital. Ujar beliau saat kami mengucapkan selamat
menyambut Tahun Baru 2018.
Namun takdir dan karma berbicara lain, ibu Ni Gusti
Made Srimin meninggal pada pagi hari, Sabtu, 3 Maret 2018, di Singapura. Bapak
Pande Wayan Suteja Neka beserta anak-anak mendampingi saat-saat beliau
berangkat. Amor ring acintya. Om ksama sampurna ya nama swaha. Om asato ma sat
gamaya, Tamaso ma jyotir gamaya, Mrityor mam ritam gamaya…..Ya Tuhan, Ida Sang
Hyang Widhi Wasa, bersatulah sang atman, Engkaulah yang Maha Sempurna, bimbing kami
semua mencapai kebenaran, dari jalan gelap menuju terang, dari kematian menuju
keabadian.
Rombongan keluarga kembali ke Indonesia pada hari
Senin, 5 Maret 2018, dalam kondisi penuh duka. Jenasah disemayamkan di rumah
duka Banjar Taman Kaja, Peliatan, Ubud. Prosesi upacara mekingsan di geni
berlangsung pada tanggal 8 Maret 2018. “Kami merencanakan upacara Ngaben kelak
bersama warga di Banjar Andong, Desa Peliatan, Kecamatan Ubud”. Ujar putra ibu
Ni Gusti Made Srimin, dr. Kardi Suteja Neka, saat kami melayat pada hari
Selasa, 6 Maret 2018.
Wajah lelah dan penuh duka terpancar dari seluruh
anggota keluarga, dari seorang pria tua, Pande Wayan Suteja Neka, yang begitu
mencintai istrinya. Begitu banyak rangkaian bunga di halaman rumah mereka,
Gallery Seni Neka. Begitu banyak para sahabat yang dating berkunjung, juga
warga banjar, dalam rangkaian upacara mekingsan di geni.
Aku ingin belajar dari cinta kasih sejati seorang
Pande Wayan Suteja Neka dan Ni Gusti Made Srimi…… bahwa, cinta yang menguatkan
mereka untuk menjalani hari-hari bersama, bahwa, kebahagiaan hadir dalam
beragam cara, dalam cinta tentang seni dan budaya, yang hadir di tengah
kehidupan mereka berdua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar