Merantaulah, maka kau akan tahu arti rindu
Bepergianlah, maka kau akan tahu arti pulang ke
rumah….
Mudik bagi sebagian
orang dianggap cuma euphoria sesaat. Pulang kampung. Kami sering lakukan ini.
Hampir sebulan sekali. Entah dengan menumpang mobil, mengendarai sepeda motor,
berboncengan, berramai-ramai, atau bahkan hanya sendirian. Entah ke Kerambitan
di Tabanan, atau ke Nyalian di Banjarangkan, mungkin ke Sepang di Buleleng.
Tatkala dalam
perjalanan mudik, saat aku pulang ke Sepang, bertepatan dengan Hari Raya Idul
Fitri, hari Jum’at, 15 Juni 2018. Mengendarrai motor Yamaha MX, berangkat pagi
hari setelah selesai urusan cuci mencuci, masak memasak. Sudah kurencanakan
hanya seharian, alias PP. Demi membawa kacamata ipar yang tertinggal di
Denpasar, mengunjungi cucu, ponakan, sekaligus akan menyambangi Batuaji, Jeroan
di Kerambitan, dan memenuhi undangan si Dian, sahabatku di Tabanan.
Di sepanjang perjalanan
semenjak kota Denpasar, ramai kendaraan yang juga kuperkirakan akan mudik,
dipenuhi koper, ransel. Ya, libur panjang para murid dan mahasiswa di akhir
semester, libur panjang dalam rangka merayakan Idul Fitri, libur minggu lalu
merayakan Galungan dan Kuningan, membuat banyak anggota masyarakat yang
mengatur jadwal mudik mereka ke berbagai daerah. Entah itu kampung halaman,
lokasi wisata, suatu destinasi.
Beristirahat sejenak di
Posko Pantau Arus Mudik yang terletak di Pantai Selabih, aku mengisi motor
dengan bensin, menyempatkan menyapa para bapak polisi yang sedang bertugas, turut
mengecek tensi darah di Pos PMI yang saat itu sedang dilayani oleh Mbak Tisna
dan Mbak Yayuk. Ah, mereka adalah orang-orang dengan dedikasi sepenuh hati.
Melaksanakan tugas, meski di hari libur, meski masih dalam rangkaian hari raya
dan upacara, demi memberikan pelayanan maksimal bagi para pemudik.
Saat dalam perjalanan
kembali ke Denpasar, beristirahat di Patung Penggembala karapan sapi, kutemui
Wahyu yang juga sedang beristirahat. Dia mengendarai motor sendirian menuju
Pulau Jawa. “Saya tadi pagi selesai bersembahyang Sholat Ied, lanjut bekerja di
salah satu minimarket di Mengwi. Setelah selesai bekerja di sore hari, sekarang
saya sedang dalam perjalanan mudik ke Jember”. Ujarnya mantap.
Kuminta dia selalu
berhati-hati selama berkendara di jalan. Setiap dua jam harus beristirahat
sebelum melanjutkan perjalanan. Wajah nya terlihat ceria. “Tentu, bu. Saya akan
selalu berhati-hati. Minggu depan saya akan kembali ke Bali dan kembali bekerja”.
ujarnya mantap.
Tiba di Tabanan,
kembali aku masuk ke salah satu minimarket. Kembali kutemui seorang perempuan
muda berjilbab. Ku sapa. “Hai mbak. Bukankan ini hari suci mu ? ga ambil libur
? kok bertugas ?”. Gak kenapa, bu. Tadi pagi saya sudah sempat bersembahyang
bersama keluarga besar di daerah Pegayaman, Singaraja. Sempat berhalalbihalal
juga, lalu saya berpamitan ke Denpasar untuk langsung lanjut bekerja.”.
Aku terpekur….. apa
yang membuat mereka begitu bersikeras mudik, meski setumpuk kesibukan menanti
mereka tidak mengambil hak libur….. jawab nya adalah, rumah, damai, rindu, dan
mudik, adalah suatu rangkaian yang tidak bias terlepas dari dasar hati, dari
lubuk terdalam umat manusia…. Kita semua adalah orang-orang yang rindu rumah,
rindu damai, rindu suasana kekeluargaan dan persahabatan untuk selalu ada di
dalam hati kita, di sekeliling kita…..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar