NIWATAKWACA, ARJUNA, MAKNA GALUNGAN KUNINGAN, DAN HINDU GL
Swargaloka terguncang…
Seorang manusia sakti
berhasil menembus benteng pertahanan mereka.
Manusia sakti itu,
Niwatakwaca, kini berdiri berkacak pinggang di pintu gapura Indraloka, menanti
para dewa menyerahkan Kembang Tunjung sebagai pertanda pengakuan kekalahan.
Niwatakwaca adalah
manusia biasa, yang karena ketekunannya bertapa, memperoleh restu Dewa Siwa,
sehingga memiliki kesaktian yang tak tertandingi di 3 dunia. Namun sebagaimana
biasanya, Dewa Siwa selalu memberikan kelemahan dibalik setiap kekuatan, dan
kelemahan Niwatakwaca adalah dipangkal lidah.
Barangsiapa mampu
menyerang telak titik lemah itu, maka Niwatakwaca akan mati.
Maka, diam-diam Dewa
Indra mengirim utusan turun ke bumi menemui Arjuna. Arjuna adalah satu-satunya
manusia yang memperoleh restu Dewa Siwa berupa ilmu Dhanurweda, ilmu yang
membuat Arjuna mampu melepaskan anak panah secepat kilat tanpa meleset sedikit
pun.
Dengan tekad penuh
bhakti, Arjuna memacu kereta Kencana Dewa Indra untuk menemui Niwatakwaca dan
menantang sebuah pertarungan. Maka pertempuran sengit pecah. Berhari-hari
pertarungan berlangsung, Arjuna mulai lelah dan terlihat mendekati kekalahan.
Niwatakwaca tertawa
mengejek, melecehkan, meremehkan lawan. Mulutnya terbuka lebar tertawa dengan
pongah. Tiba-tiba tawanya terhenti saat mendadak sontak sepucuk anak panah
tertancap di pangkal lidah, dia terkulai mati.
Dimasa kini, banyak “manusia
sakti” seperti Niwatakwaca. Di panggung orasi, podium, saat ceramah, di media sosial,
saat berdiskusi atau berdebat, mereka bertarung dengan lisan dan tulisan. Namun
demikian, lebih dari Niwatakwaca, manusia – manusia ini memiliki 2 kelemahan
sekaligus, di lidah dan di ujung jari.
Lidah yang menghasilkan
ujaran-ujaran, dan jari yang menghasilkan status, berita, atau sekedar “share”
berita. Kadang mereka “Shakti” seperti Niwatakwaca, senjata-senjata sulit
menjangkau mereka karena banyak tameng yang menjadi pelindung. Namun tunggulah
saatnya, ketika Arjuna dating mewakili hokum karma.
Hanya perlu satu anak
panah yang menembus pangkal lidah bagi yang tidak bisa menjaga ucapan, atau
satu Pasupata yang menancap di jari bagi yang tidak menjaga tulisan, lalu
tamatlah riwayatnya.
Maka, mari gunakan
media social dengan cerdas dan santun, agar tidak bernasib sama seperti
Niwatakwaca.
Selamat Hari Raya
Kuningan. Hari Raya sebagai pengingat bahwa Dharma yang sudah dimenangkan dan
dirayakan saat Galungan, perlu dijaga dan dikawal terus dengan penuh kesadaran
dan kesabaran.
Bukan sesuatu yang
mudah, karena Niwatakwaca mewujud dalam berbagai bentuk, ruang dan waktu.
Semoga kita semua adalah “Arjuna” nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar