Sabtu, 19 Juni 2010. Setelah selesaikan beberapa pertemuan dan urusan dengan beberapa sahabat, kuputuskan akan pulang kampong. Berangkat pukul 15.15 bersama simbok dan putra bungsuku, meluncur melalui jalan raya Kapal, Tabanan, melewati Bajra, menuju ke arah Negara, berbelok di jalan menuju ke hutan Bading Kayu, di Kawasan Yeh Leh Yeh Lebah. Tembus di Dapdap Putih, kembali berbelok ke arah Sepang Kelod, dan akhirnya tiba di Asah Badung. Aroma kebun kopi, cokelat dan cengkeh menyeruak udara yang mulai mendingin. Waktu menunjukkan pukul 17.15. Hmm, dua jam tembus dari Denpasar hingga ke kampung halaman. Kuantar simbok, Ayu, ke rumah orangtuanya, di Gunung Sari. Dia masih terbilang cucu jauh dari suamiku. Dialah yang menjadi pengempu kedua anakku selama ini. Sebelum berpisah, kami berjanji keesokan hari bakal kembali bertiga ke Denpasar pada pukul tiga sore hari.
Akhirnya, aku dan anakku tiba di rumah tua, Pangkung Singsing, sisin tukad yang airnya mengalir bening. Keponakanku menyambut dengan senyum ramahnya, menghidangkan kopi panas. Ia tinggal sendiri disini. Lalu aku bersembahyang ke Sanggah, menghaturkan gagapan kue yang kubawa di pelinggih Surya,Dewa Hyang,Bethare Hyang Guru,Penunggun Karang, dan Anglurah. Kemudian kami bergerak Ngauhang, ke arah Barat, menuju ke rumah ipar, Beli Made Miasa beserta istrinya. Sekitar tiga puluh menit berjalan kaki naik dan turun bukit. Kuputuskan kami akan bermalam di sini. Mereka hanya tinggal berdua, karena anak semata wayang telah menikah dan tinggal di Jepang. Malam kian larut, kami masih berdiskusi, menikmati pemandangan indah langit malam bertabur bintang tiada kabut. Anakku sungguh menikmati udara malam dingin di kampung, tidak seperti di kota, sama sekali tidak rewel walau tanpa teve dan hanya berteman kidung santi yang disenandungkan lewat radio. Ah, andai bisa lebih sering tinggal disini, udara segar menanti.
Pagi menjelang, mentari merambah bumi, embun luruh dari dedaunan tanaman yang ada di sekeliling rumah ipar. Udara dingin pagi hari membuatku menikmati waktu dengan bungut api. Beli Made berangkat ngayah, memperbaiki rurung aspal yang terkoyak digerus hujan dan terik panas matahari bersama Sekehe Santi. Mbok Tut menanak nasi dari tungku batubara. Kupersiapkan dungki dan kukalungkan ke leher anakku. Kami beringsut ke abian. Kopi menanti untuk dipanen. Satu demi satu dahan kutarik, berusaha merenggut buah kopi agar terlepas dari dahan, menjatuhkannya ke dungki yang dibawa anakku. Anakku tak mau kalah, dia mendekati jejeran pohon kopi top dengan dahan rendah, menghentak dahan dan menarik buah kopi berwarna kemerahan, menjatuhkan buah kopi yang berhasil didapatnya kedalam dungki.
Mentari semakin terik, kami bergerak kembali ke arah rumah iparku. Menjatuhkan buah kopi yang berhasil kami peroleh sepanjang pagi ke halaman dimana timbunan kopi berserakan. “Sudah tiga hari ini hujan lebat turun tiada henti, kopi tidak bisa kering” komentar Mbok Tut. Kuambil tulut, semacam garpu dari kayu, anakku menarik kopi dari timbunan, mulai membebernya sepanjang halaman agar matahari yang bersinar bisa membantu mengeringkan biji kopi yang basah. Kami terus membalik balik buah kopi yang basah, meratakannya sepanjang halaman hingga penuh terisi. Keringat membasahi wajah dan baju yang kami kenakan, namun hatiku sungguh damai merasakan angin semilir menerpa wajah. Mbok Tut menghidangkan nasi anget, sambel mekukus, telor rebus, dan pes an celengis hasil nandusin enam buah kelapa hingga menjadi sebotol minyak kelapa beraroma harum. Ah, sungguh, tak ingin kuberpaling dari kehangatan suasana kampung ……
Namun kami harus beranjak pergi. Masih ada rumah ipar lain yang harus kukunjungi. Maka bersama anakku, kami berjalan. Kali ini Ngajanan, ke Kaja, rumah Beli Wayan dan Mbok. Ku sunggi pisang satu kampil penuh di atas kepala, kami bergerak menyusuri jalan ke arah air terjun, membimbing anakku menaiki tebing terjal perlahan, setapak demi setapak. Ia melangkahkan kaki mungilnya dengan menggandong ransel di bahu. Ah, andai, kakaknya dan suamiku bisa ikut berada bersama kami disini…. Alangkah menyenangkannya menikmati perjalanan se keluarga. Lebih dari dua jam kulewatkan di rumah iparku yang satu ini. Beli Wayan asyik membuat kandang kambing. Dua ekor kambing hasil ngadasang menanti untuk menempati kandang barunya. Anakku sibuk bermain dengan keponakannya, cucu dari Beli Wayan, dari bermain bulu tangkis, memetik jeruk bali sebesar semangka, hingga mengejar ayam kampung yang berkeliaran di halaman.
Pukul 15.00 tepat, aku, simbokku Ayu, bersama putra bungsuku berpaling dari pangkung Singsing. Kali ini tujuan kami adalah Kerambitan, Batuaji. Aku ingin mampir di Jeroan, sejenak mengunjungi Dewa Biyang Nyoman, juga para Paman dan Bibi, para ponakan. Hmm, sungguh acara pulang kampung penuh kesan, sebelum akhirnya kembali ke rutinitas sehari-hari…….
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Kalau dengar kata Kerambitan jadi ingat mantan saya dulu, he he :)
BalasHapusEhm...
BalasHapusYg termehek-mehek karena cinta.
Smoga dikau temukan cinta sejatimu, dan bisa segera tambatkan hati padanya, serta jadikan hari-hari indah penuh sejuta warna, saling mengisi satu sama lain....