Ada orang pernah bertanya..... Ibu, apakah ibu seorang Kristen? Mengapa ibu pernah terlihat sering berdiri menjadi penerima tamu di sebuah Gereja saat akan berlangsung Misa di Minggu pagi? Apakah ibu pernah menjadi Novisiat / calon suster, karena pernah tiga tahun tinggal di sebuah biara susteran di Malang? Ibu, apakah ibu juga seorang muslim, karena sering mengucapkan Gusti Allah. Mengapa ibu berdoa pula dengan khusuk di dalam sebuah Vihara? Mengapa ibu mengunjungi sebuah Kelenteng, dan ikut mencakupkan tangan di sana? Mengapa Thesis ibu mengambil topik tentang Gereja? Hmmm.
Aajin Sang Musafir jelaskan ini dalam dinding Face Book nya. http://www.facebook.com/reqs.php#!/notes/aajin-sangmusafir/doa-dan-mantra/165756616804191, Menjadi spiritual berarti menjadi manusia dewasa yang memutuskan untuk meretas jalan sendiri, bukan atas dasar katanya, kata ulama, pendeta, biksu dan kitab-kitabnya. Dalam perjalanan untuk memenuhi hasrat kelengkapan itu, sebagai mana yang diutarakan oleh Jung, kita berkomunikasi juga dengan alam nirsadar kita yang saling terkoneksi dan bersifat universal. Dalam alam sadar yang bersifat universal, kita melihat bahwa semua pesan agama senyata-nyatanya memang menuju pada pengetahuan diri dan semesta. Semua symbol-simbol dalam agama bukan tujuan pada dirinya sendiri tapi hanya menjadi wadah pembahasaan yang begitu terbatas. Untuk itu lampaui atau tembus semua symbol itu dengan, diantaranya, rasionalitas juga.
Menurut kisah Avatar, Aang si bocah ajaib the living avatar, dalam keadaan tertentu, dalam meditasi, akan ditampaki oleh Roku, sang avatar terdahulu yang telah meninggal. Roku selalu memberikan penembusan makna /insight dan penghiburan pada Aang. Ang sendiri tidak sadar bahwa ia sendiri adalah reinkarnasi dari Roku. Jadi siapakah Aang? Ia adalah inkarnasi dari Roku. Siapakah Roku? Ia adalah idea yang menggerakan Aang. dalam bahasanya orang buddha, Roku adalah tubuh sambogakaya dari si Aang.
Demikian pula dengan legenda buddhis mahayana. Dikatakan bahwa Avalokitesvara-lah yang menyadarkan pertapa Gautama dengan mewujud menjadi pemetik kecapi yang mendendangkan nyanyian pencerahan ketika Gautama sedang tenggelam dalam pencarian pencerahan yang ekstrem dengan cara menyiksa diri.
“Jika senar kecapi ini kendor, mana mungkin akan menghasilkan nada yang indah? Jika senar kecapi ini terlalu tegang, pastilah ia akan cepat putus. Hanya dengan kekencangan yang pas, tidak kendor dan tidak terlalu kencang maka nada yang indah akan tercipta.”
Jadi siapakah Avalokitesvara? Ia adalah idea-idea kesempurnaan dari Gautama. Siapakah Gautama? Ia adalah penubuhan dari idea-idea Avalokitesvara dalam dunia nyata. Dan Avalokitesvara, yang juga sering disebut Nilakanta, Dewa Berleher Biru, adalah simbol arkaik lain dari Shiva dalam kekuasaan dan Vishnu dalam pengayoman. Maka dari itu orang Hindu meyakini bahwa Buddha Gautama sendiri adalah salah satu inkarnasi Vishu.
Loh bagaimana mungkin Visnu sama dengan Avalokitesvara, Avalokitesvara sama dengan Shiva, dan Avalokitesvara sendiri adalah penubuhan dari idea-idea kebudhaan yang dibabarkan oleh Gautama?
Jawabannya karena archetype, mithe dan imagi bukanlah bahasa definitive, melainkan pewadahan idea-idea dalam perspektif si pengusung. Ia bukanlah tujuan dalam dirinya sendiri, namun suatu lubang kecil untuk menuju dunia kelengkapan.
Jadi siapakah yang anda panggil ketika anda berdoa atau menjapa mantra jikalau kita sendiri adalah Buddha?
Jadi siapakah yang anda panggil ketika anda berdoa atau menjapa mantra jikalau kita sendiri adalah Avalokitesvara – tuhan yang mendengarkan jerit tangis seisi dunia?
Jadi siapakah yang anda panggil ketika anda berdoa atau menjapa mantra jikalau kita sendiri adalah Shiva, Visnu dan Brahma?
Jadi kepada siapakah anda mempersembahkan tegaknya shalat jika kita sendiri adalah Tuhan - Sang hakekat.
Kita sendiri adalah Brahman – substansi dari segala yang ada dimana sang mikro dan sang makro adalah kesatuan yang erat tak terpisahkan, yang sekarang sedang bermain-main dalam suatu alur kreasi dan berhasrat merealisasikan kelengkapan itu.
Aajin Sang Musafir katakan pada dinding Face Booknya, http://www.facebook.com/reqs.php#!/notes/aajin-sangmusafir/doa-dan-mantra/165756616804191, bahwa milyaran umat manusia masih tidak mengerti bahwa ketika mereka berdoa, menjapa mantra, atau memanggil ilah manapun, sebenarnya mereka tidak memanggil siapa-siapa selain kesadaran yang ada pada mereka sendiri.
Dengan anda menderu motor di jalanan yang ramai sambil berzikir, membaca mantra dll, tidak akan ada suatu ilah dari alam lain, atau malaikat atau jin iprit yang akan menolong anda dari ketololan yang anda lakukan seandainya anda menabrak seorang anak.
Kalau anda menampar sembarangan orang, sekalipun anda menjapa mantra manapun, tidak ada dewa yang akan menolong anda dari balas tamparan orang yang anda tampar tadi.
Kenapa? Karena sejatinya memang doa atau mantra bukan untuk memanggil suatu pribadi yang jelas2 mitologis dan hanya eksis dalam dunia mitos.
Doa dan mantra hanyalah suatu alat untuk memfokuskan kesadaran yang selama ini menyebar ke berbagai indra, atau terbelokan oleh banyak pikiran. Dengan anda berdoa, membaca mantra atau mendaraskan suatu teks relijius anda diharapkan menjadi terfokus pada satu hal dan mulai mendapatkan ketenangan dan ketentraman, entah doa apapun atau mantra apapun itu.
Doa, mantra, meditasi bagaikan shock absorber yang meredam ketegangan atau menyalurkannya lagi ke tempat lain. Jadi ini murni bersifat psikologis. Karena agama itu memang cuma permainan pikiran dan kejiwaan. Otak kita memang lebih mudah mencapai suatu ketenangan tertentu apabila distimulir oleh satu nada-nada yang dimainkan dalam irama yang repetitive / berulang-ulang. Dan itulah kenapa suatu mantra dan pembacaan teks-teks relijius dibaca dengan alunan nada-nada tertentu.
Saya pernah tuliskan bahwa manusia itu pada kenyataannya bukan mahluk rasional melainkan mahluk emosi. Dan agama dengan cerdik memainkan peran-perannya dalam dunia emosi kejiwaan kita. Ia menjerat manusia dalam emosi-emosi, sehingga kalau dikritik agamanya, dikritik tuhannya, yang marah bukan tuhannya, tapi malah umatnya. Kenapa tuhan tidak marah? Lha mana mungkin yang tidak ada bakalan marah-marah? Mana mungkin tokoh mitologis mencak-mencak dan mengutuki para pengkritiknya? Selama ini kan yang mencak-mencak cuman manusia pecandu mitos itu khan?
Manusia dewasa melihat agama sebagai apa adanya, yaitu sebagai produk budaya, yang memakai modus operandi pembiasaan, agitasi dan bahkan brainwashing. Apa yang tidak rasionalpun bila terus didengung-dengungkan akan terasa rasional dan factual.
Tidak ada salahnya dengan doa dan mantra, itu hanya alat untuk menyalurkan ketegangan psikologis. Anda bisa pakai yang ini atau yang itu, atau tidak memakainya sama sekali. Anda bisa menggantinya dengan meditasi, atau mendengarkan musik klasik, dalam kadar tertentu itu pun bisa jadi wahana kontemplasi. Yang salah adalah ketika para pemakainya sudah kecanduan dan menjadikannya kebenaran mutlakan yang mengikat dan tidak bisa salah.
-hanya dengan shalat semuanya masalah terselesaikan.
-hanya dengan doa pada yesus semua masalah terselesaikan.
-hanya allah taa’ala dan qurannya sumber kebenaran, yang lain salah , sesat dan menyesatkan. Dsb.
Nah itulah yang salah.
Agama dan kitabnya bukanlah one stop shopping dimana segala kebenaran dan pengetahuan ada di sana. Mau tahu tentang hal ihwal alam semesta tinggal cari di alquran, mau tahu dari mana kehidupan berasal – tinggal cari tahu di alquran, mau tau kapan alam semesta ini berakhir - tinggal baca kitab Wahyu, mau tahu dari mana ras manusia berasal tinggal cari di kitab veda. Tidak bisa begitu friends. Sudahlah jangan terus membodoh-bodohi diri dengan mengias-ias ayat dan mensingkron-singkronkan penemuan sains, dan dengan culun mengatakan bahwa bahwa ini dan itu telah ada sebelumnya di kitab kami, dsb. Jujurlah pada rasionalitas kita. Apa susahnya sih?
Agama bisa diibaratkan restoran cepat saji yang menjajakan ayam goreng. Anda boleh jalan-jalan ke Mc Donalds, CFC, Texas FC atau ayam mbok berek, atau anda boleh menolak yang begituan dan buat sendiri. Apa lagi kalau anda tidak suka ayam, lebih suka sapi, ikan atau bahkan vegetarian.
Pandanglah agama dan ajarannya sebagai…. ya semacam perkumpulan orang-orang dengan ideology yang sama, bahkan kegilaan yang sama, bukan sebagai institusi yang berhak mengungkungi kebenaran dan menjadikannya kemutlakan. Kalau tidak bisa keluar ya gapapa, asal jangan diikuti kegilaannya. anggaplah itu sebagai necessary evil, suatu kejahatan yang masih diperlukan karena memang tidak semua manusia bisa rasional, masih senang mempercayai ada fgur khayalan dii alam sana yang dulu.... dulu...... selali pernah berfirman tapi sekarang cuek beybe dengan umatnya.
Psikologi memberi tahu kita bahwa fenomena kejiwaan kita bagaikan iceberg / gunung es yang terapung di samudera. Hanya sebagian saja darinya yang nampak jelas di atas permukaan laut. Bongkahan terbesarnya ada di bawah permukaan laut. Bagian di atas permukaan laut, yang sedikit itu adalah alam sadar, sedang bagian yang dibawah permukaan laut itu adalah alam bawah sadar / nirsadar.
Baik Sigmund Freuf maupun Carl Gustav Jung mengatakan bahwa gejala kejiwaan yang nampak dalam alam sadar sebenarnya adalah komunikasi antara kedua alam kejiwaan ini, sadar dan nirsadar.
Sigmund Freud menekankan pada libido, yaitu keinginan untuk terus hidup dan hasrat-hasrat pemenuhan keinginan yang bersifat laten spt makan, minum, sex, perlindungan dan keamanan. Apabila hasrat-hasrat ini mendapatkan pemuasan, berakhirlah fasenya. Namun apabila tidak dipuaskan hasratnya , atau direpresi maka kesan-kesan itu dimasukan ke dalam gudang memori nirsadar yang suatu saat akan dikomunikasikan lagi lewat mimpi atau lainnya. Libido itu sendiri dalam tahap tertentu bisa disublimasi ke dalam bentuk-bentuk pemuasan lainnya seperti halnya seni, budaya, bahkan abstraksi idea-idea keindahan, kerapihan, keterjaminan, keteraturan, kesempurnaan yang dilembagakan menjadi hukum-hukum masyarakat dan agama.
Sedangkan Jung menekankan bentuk komunikasi antara alam nirsadar dengan sadar, bukan pada libido, melainkan pada refleksi. Sedemikian rupa alam sadar kita terkondisi dalam suatu ketidak-lengkapan. Pencarian akan kelengkapan itu dicari ke dalam diri sendiri lewat arketipe-arketipe yang bersifat universal seperti halnya idea-idea tentang kesempurnaan, penyatuan / manunggaling kawula gusti atau theosis, perhentian kekal dsb. Apa yang dicarinya dijadikan sebagai yang lain atau liyan yang darinya ia bisa mendasarkan suatu komunikasi ‘aku dan kau’, hamba dan tuan, si pemuja dan pujaannya.
Baik konsep Freud dan Jung saling melengkapi bahwa kerinduan akan kelengkapan itulah yang mendasari pencarian manusia akan hal-hal yang bersifat religious atau spiritual. So it’s all about psychology. Tidak perlu kita berbicara tentang suatu alam di luar sana dimana terdapat suatu ilah yang bertahta mutlak atas alam semesta, dimana terdapat malaikat-malaikat dan bidadari menari-nari di sana-sini. Karena itu semua cuman penggambaran ekstase kerajaan di jaman dahulu. Dengan meningkatnya dialektika material kita, seharusnya kita lebih dewasa dalam menata kehidupan ini, jangan terus menerus mau dibodoh-bodohi dan dikotak-kotakan oleh agama dan dogmanya.
Kalau anda mau melakukan ritual ini dan itu seperti berzikir atau menjapa mantra ya lakukanlah, jadikan itu sebagai wahana refleksif kontemplatif, berkomunikasinya antara si alam sadar dengan nirsadar untuk mengejawantahkan kerinduan kejiwaan anda, tapi tidak perlu memutlakan itu semua sebagai standar baku yang harus dianut oleh semua orang seakan-akan hanya pada keyakinan itulah semua kebenaran bergantung. It’s all about psychology of human.
So friends, dari pada sibuk-sibuk mendiskusikan hal-hal mistik yang tidak berjejak pada kehidupan bersama, atau berdebat dogma-dogma agama tentang surga dan neraka yang tidak terbukti keberadaannya, atau sibuk mengagung-agungkan nabi-nabi, juru selamat atau guru-guru spiritual yang sudah tidak ada dan tidak terbukti kesejarahannya, mengapa kita tidak mendamaikan pikiran kita, menerima hidup ini apa adanya, meretas ke dalam diri sendiri dan sebisa mungkin mewujudkan kebaikan bagi sesama dengan saling mencerahkan dan menyadarkan akan tanggung jawab nyata hidup ini di dunia sebagai satu bagian kecil dari rantai peradaban manusia sepanjang jaman?