Dahulu, banyak hal yang terjadi pada banyak tempat, ruang dan waktu tidak dapat dengan mudahnya diakses oleh publik. Namun dengan adanya kemajuan teknologi, keterlibatan wartawan, dan berbagai pihak lain, hal tersebut sudah menjadi semakin kian transparan, dunia bagai tanpa batas lagi (borderless world). Mulai dari rahasia negara, rahasia pribadi, berbagai peristiwa dan kelakuan bisa dengan cepat tersebar dan tersiar ke berbagai pelosok dan penjuru dunia. Betapa hal yang dulu dianggap tabu atau tidak mungkin, kini menjadi konsumsi publik, dan menimbulkan banyak opini mengenai hal tersebut. Bahkan, hal yang dulu termasuk sakral, kini dijadikan komidifikasi dan dibuat profan. Guru tidak lagi semata digugu dan ditiru, pejabat dan para pemuka tidak lagi dianggap sebagai satu2nya teladan dan tiap katanya dipatuhi. Orangtua tidak lagi ditempatkan bagai menghargai surga yang ada di balik telapak beliau.
Masyarakat kelas bawah (grass root) ini akan dapat ditata dengan lebih baik apabila diatur di dalam koridor hukum yang berkaitan dengan adat istiadat yang sudah matang / mapan. Kesahajaan adat istiadatlah yang merupakan pelindung dalam melawan berbagai bentuk diskusi menjengkelkan, sementara kesahajaan yang munafik / berpura-pura yang bakal membuat terjadinya disharmoni antara satu dengan lainnya, terjadinya hegemoni.
Opini di ruang terbuka publik ini, menurut Locke, masih membutuhkan sebuah tuntunan agar mampu menerapkan fungsi gandanya. Alasannya sungguh sederhana, sebagai sebuah opini yang masih lugu, bersahaja, ungkapan ini mengemban tugas kontrol sosial. Jika tiada sensor yang berfungsi untuk melakukan pengawasan, maka opini tersebut bakal diterima mentah-mentah.Misalnya, betapa seorang Norman Camaru bisa menarik perhatian massa dengan suara dan tariannya, Justin Bieber bisa membuat euphoria remaja yang menangis histeris di bandara Soeta karena gagal menemuinya. Nilai UAN menjadi penentu keberhasilan atau kegagalan seorang siswa.
Opini publik adalah serangkaian hukum yang sensornya adalah para manusia itu sendiri sebagai tuan dari dirinya. Hal ini sesuai dengan Kaidah Opini dari John Locke : "Siapapun yang menilai adat istiadat berarti menilai kehormatan, dan, siapapun yang menilai kehormatan pasti mengambil kaidah penilaiannya itu dari opini (On The Social Contract, John Locke).
Namun, mengapa kemudian masih terjadi konflik di tengah masyarakat bila manusia-manusia ini telah memiliki opini tersendiri yang sungguh positif karena mampu melakukan sensor dan pengawasan, adalah karena dia membutuhkan legislasi. Dan ini membutuhkan arahan. Sama seperti opini dalam fungsinya sebagai kontrol sosial memerlukan pengartikulasian lewat sensor, maka opini dalam fungsi legislatif memerlukan pengesahan dari orang yang berwewenang.
Vis a vis opinion adalah kekuasaan, namun yang ini pun ternyata menghadapi bahaya menjadi picik, karena kekuasaan lalu menemukan dirinya berada di dalam situasi yang genting. Karena tidak dapat bersandar kepada kekuatan maupun diskusi publik (ni la force ni la resolution), maka kekuasaan harus berlindung di bawah otoritas dari sebuah pengaruh yang tidak langsung, " yang dapat memaksa tanpa menggunakan kekerasan dan meyakinkan tanpa menipu"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar