Sabtu pagi yang cerah, 13 Agustus 2011, kedua anakku berangkat sekolah. Si sulung dijemput temannya Rian. Mereka mengenakan pakaian adat, karena hari ini adalah Purnama Saniscara Pon Pahang. Anggota group Smansa Computer Club yang telah sukses mengadakan kegiatan serangkaian lomba cerdas cermat dan merangkai blog akan mengadakan persembahyangan bersama ke beberapa pura yang ada di kota Denpasar. Si bungsu juga sudah berangkat sekolah. Suami terbaring terbungkus selimut karena sedang demam dan batuk.
Sabtu adalah hari libur kerja. Maka, setelah selesai dengan berbagai urusan rumah tangga, aku duduk bersimpuh di teras rumah mungil kami, dan mulai menowes busung yang ada. Kuselesaikan perlengkapan banten purnama dan 4 set sampiyan gantung. Si bungsu tiba dari sekolah pukul 11 siang.
Aku bersiap untuk pulang ke Kerambitan. Keluarga besar kami bersiap untuk sebuah upacara Pitra Yadnya, dan ingin kupastikan semua akan berjalan lancar tahapan demi tahapannya. Namun Yudha, pangeran bungsu ku, ingin ikut. Maka kupersiapkan 2 jaket tebal, dua set kaos kaki, sarung tangan, lengkap dengan kaca mata hitam dan selendang buat penahan angin di leher. Kemudian perlahan astrea grand keluaran tahun 1996 menyeruak jalan menuju Tabanan. Motor astrea 800 tercinta sedang turun mesin, dia perlu istirahat pula untuk kembali dengan tampang fresh......
Tiba di Jero di Kerambitan, kutemui beberapa pihak keluarga, mulai dari Dewa Aji Dirga, Dewa Gede Sopyan, Dewa Komang Rai. Kuhubungi via mobile phone ku, Dewa Gede Susatia yang sedang bertugas di Tianyar, perbatasan Singaraja Karangasem. Juga Dewa Gede Kinong yang tinggal di Ubud bersama keluarganya, untuk membantu prosesi ngayah nanti. Hmmm, setelah berkali diskusi, kami sepakati untuk mengadakan paruman keluarga secara formal mengenai rencana Pitra Yadnya bapak kandungku, pertama kali pada hari Minggu, 14 Agustus 2011, pukul 10 di Bale Gede, Jeroan.
Anakku, mulai menunjukkan tanda-tanda tidak betah. Dia berkali menowel untuk mengingatkanku segera pamit kembali ke Denpasar, padahal belum kutemui Dewa Aji Mangku. Maka, segera aku pamit, toh kami akan bertemu kembali keesokan harinya.
Bergerak di atas motor dari Desa Batuaji Kelod, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan, kami menuju ke Denpasar. Kali ini, jalan Antasura. Bapak Mertua dan Ipar berada disana. Mertua sudah sangat sepuh. Sungguh menyenangkan bila bisa berkumpul bersama keluarga, membahas berbagai perkembangan situasi yang ada. Namun seringkali kesulitan menyesuaikan waktu kami, karena begitu banyak yang harus di klop kan. Ada yang bekerja, sekolah anak-anak, jadwal berbagai kegiatan..... dan, tinggal nya berpencaran se antero nusantara.
Bersyukur pada Hyang Widhi, berbagai cobaan yang kami alami, smakin memperkaya pengalaman kehidupan berkeluarga. Dari urusan yang tua, hingga anak-anak. Dari yang membahagiakan, hingga yang memalukan. Namun, inilah hidup dan kehidupan. Terkadang kita tidak bisa merengkuh setiap mimpi dan harapan yang kita inginkan. Terjatuh berkali dan berkali.
Well.....
Setelah dari rumah mertua, aku harus bergegas kembali ke rumah kami. Kali ini kelompokku bertugas untuk ngunggahang banten di kala Purnama. Maka aku kembali pamit pada keluarga besarku. Yudha beranjak dengan agak enggan, karena dia masih asyik bermaik dengan para sepupunya.
Kami mampir ke Pasar Satria, anakku ingin melihat anak anjing. Kami pernah punya 5 ekor anjing sekaligus bulan lalu, namun mati karena wabah virus Parvo. Namun sungguh menyedihkan, anak-anak anjing yang mungil dan sungguh lucu menggemaskan tidak bisa kami bawa pulang karena harganya yang mahal-mahal. Tidak semua keinginan kita dapat terpenuhi, dan biarlah anakku belajar, bahwa hidup sungguh penuh dengan dinamika kehidupan, yang tidak selalu indah. Tidak semua harapannya dapat terpenuhi sekaligus, pada saat itu juga. Dia harus berjuang untuk mendapatkan keinginannya, meraih mimpinya........
Segera kubelokkan arah motor kembali ke rumah, dan kami mandi dan bersiap bersembahyang bersama, memuja dan merundukkan kepala, berbicara dengan hati nurani kami, kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Penguasa Dunia, agar damai selalu hadir di bumi dan di hati tiap insani.
Sabtu adalah hari libur kerja. Maka, setelah selesai dengan berbagai urusan rumah tangga, aku duduk bersimpuh di teras rumah mungil kami, dan mulai menowes busung yang ada. Kuselesaikan perlengkapan banten purnama dan 4 set sampiyan gantung. Si bungsu tiba dari sekolah pukul 11 siang.
Aku bersiap untuk pulang ke Kerambitan. Keluarga besar kami bersiap untuk sebuah upacara Pitra Yadnya, dan ingin kupastikan semua akan berjalan lancar tahapan demi tahapannya. Namun Yudha, pangeran bungsu ku, ingin ikut. Maka kupersiapkan 2 jaket tebal, dua set kaos kaki, sarung tangan, lengkap dengan kaca mata hitam dan selendang buat penahan angin di leher. Kemudian perlahan astrea grand keluaran tahun 1996 menyeruak jalan menuju Tabanan. Motor astrea 800 tercinta sedang turun mesin, dia perlu istirahat pula untuk kembali dengan tampang fresh......
Tiba di Jero di Kerambitan, kutemui beberapa pihak keluarga, mulai dari Dewa Aji Dirga, Dewa Gede Sopyan, Dewa Komang Rai. Kuhubungi via mobile phone ku, Dewa Gede Susatia yang sedang bertugas di Tianyar, perbatasan Singaraja Karangasem. Juga Dewa Gede Kinong yang tinggal di Ubud bersama keluarganya, untuk membantu prosesi ngayah nanti. Hmmm, setelah berkali diskusi, kami sepakati untuk mengadakan paruman keluarga secara formal mengenai rencana Pitra Yadnya bapak kandungku, pertama kali pada hari Minggu, 14 Agustus 2011, pukul 10 di Bale Gede, Jeroan.
Anakku, mulai menunjukkan tanda-tanda tidak betah. Dia berkali menowel untuk mengingatkanku segera pamit kembali ke Denpasar, padahal belum kutemui Dewa Aji Mangku. Maka, segera aku pamit, toh kami akan bertemu kembali keesokan harinya.
Bergerak di atas motor dari Desa Batuaji Kelod, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan, kami menuju ke Denpasar. Kali ini, jalan Antasura. Bapak Mertua dan Ipar berada disana. Mertua sudah sangat sepuh. Sungguh menyenangkan bila bisa berkumpul bersama keluarga, membahas berbagai perkembangan situasi yang ada. Namun seringkali kesulitan menyesuaikan waktu kami, karena begitu banyak yang harus di klop kan. Ada yang bekerja, sekolah anak-anak, jadwal berbagai kegiatan..... dan, tinggal nya berpencaran se antero nusantara.
Bersyukur pada Hyang Widhi, berbagai cobaan yang kami alami, smakin memperkaya pengalaman kehidupan berkeluarga. Dari urusan yang tua, hingga anak-anak. Dari yang membahagiakan, hingga yang memalukan. Namun, inilah hidup dan kehidupan. Terkadang kita tidak bisa merengkuh setiap mimpi dan harapan yang kita inginkan. Terjatuh berkali dan berkali.
Well.....
Setelah dari rumah mertua, aku harus bergegas kembali ke rumah kami. Kali ini kelompokku bertugas untuk ngunggahang banten di kala Purnama. Maka aku kembali pamit pada keluarga besarku. Yudha beranjak dengan agak enggan, karena dia masih asyik bermaik dengan para sepupunya.
Kami mampir ke Pasar Satria, anakku ingin melihat anak anjing. Kami pernah punya 5 ekor anjing sekaligus bulan lalu, namun mati karena wabah virus Parvo. Namun sungguh menyedihkan, anak-anak anjing yang mungil dan sungguh lucu menggemaskan tidak bisa kami bawa pulang karena harganya yang mahal-mahal. Tidak semua keinginan kita dapat terpenuhi, dan biarlah anakku belajar, bahwa hidup sungguh penuh dengan dinamika kehidupan, yang tidak selalu indah. Tidak semua harapannya dapat terpenuhi sekaligus, pada saat itu juga. Dia harus berjuang untuk mendapatkan keinginannya, meraih mimpinya........
Segera kubelokkan arah motor kembali ke rumah, dan kami mandi dan bersiap bersembahyang bersama, memuja dan merundukkan kepala, berbicara dengan hati nurani kami, kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Penguasa Dunia, agar damai selalu hadir di bumi dan di hati tiap insani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar