“Samtusto
bharyaya bharta bharta tathaiva ca, Yasminnewa kule nityam kalyanam tatra wai
dhruwam” Manava
Dharma sastra III. 60. Pada keluarga dimana suami berbahagia dengan istrinya,
dan demikian pula sang istri terhadap suaminya, kebahagiaan pasti kekal”
(Pudja dan Sudharta, 2002: 148).
Dalam
agama Hindu, sistem kehidupan terbagi menjadi empat tahapan, yang disebut
dengan Catur Asrama, meliputi Brahmacari Asrama, Grehasta Asrama, Wanaprastha
Asrama, dan Sanyasin (Bhiksuka) Asrama (Babadbali.com/canangsari).
Brahmacari
Asrama merupakan tingkatan kehidupan menuntut ilmu, belajar , berguru. Diawali
dengan upacara Upanayana, dan diakhiri dengan pengakuan, pemberian ijasah, surat
tanda tamat belajar (Samawartana).
Grehasta
Asrama merupakan tingkatan kehidupan berumahtangga, atau tingkatan kedua
setelah Brahmacari Asrama. Tahap awal memasuki masa Grahasta diawali dengan
suatu upacara yang disebut Perkawinan (Wiwaha Samskara) yang bermakna sebagai
pengesahan secara agama dalam rangka memasuki kehidupan berumahtangga
(melanjutkan keturunan, melaksanakan yadnya, berkehidupan sosial). Oleh karena
itu, penggunaan Artha dan Kama sangat penting artinya dalam membina kehidupan
keluarga yang harmonis dan manusiawi berdasarkan Dharma.
Wanaprasta
Asrama merupakan tingkatan kehidupan ketiga dimana seseorang mulai menjauhkan
diri dari nafsu keduniawian. Pada masa ini hidupnya diabdikan bagi pengamalan
ajaran Dharma. Dalam masa ini, kewajiban kepada keluarga sudah berkurang,
seseorang lebih mencari jati diri dan menjalani kehidupan mengabdi pada
spiritual, aspirasi untuk melepaskan keduniawian yang dipraktekkan dalam
kehidupan sehari-hari.
Sanyasin
Asrama (Bhiksuka) merupakan tingkatan kehidupan dimana pengaruh dunia sama
sekali telah ditinggalkan, dilepaskan. Yang diabdikan hanya nilai-nilai dari
keutamaan Dharma dan hakekat hidup yang sebenarnya. Pada masa ini banyak
dilakukan kunjungan (Dharma yatra, Tirta yatra) ke tempat suci, dimana seluruh
sisa hidup hanya diperuntukkan bagi Ida Sang Hyang Widhi Wasa untuk menggapai
Moksa.
Bila
ada yang beranggapan bahwa masa Grahasta Asrama adalah tahapan yang paling
sulit dalam kehidupan, tidak lah benar. Memang tidak mungkin menggabungkan dua insan
manusia menjadi satu, baik dalam pola pikir, perkataan dan perbuatan. Tahapan
ini menjadi proses yang memotivasi dua belah pihak dalam belajar untuk bersama,
membentuk keluarga, menjalankan berbagai fungsi rumah tangga, beraktivitas,
saling melengkapi, berdiskusi, dan mengevaluasi situasi yang mereka hadapi.
Tahapan Grahasta menjadi sumber energi, sumber spirit atau semangat, sumber
lahirnya beragam karya atau kreativitas, sumber kebahagiaan (lila cita atau
lila loka) dan sah nya pelaksanaan panca maha yadnya. Jadi masa Grahasta Asrama
mencakup bersatunya dua pihak yang berbeda, baik personalia, maupun juga kedua
belah pihak keluarga, dalam mengembangkan pemikiran baik, perkataan baik dan
perbuatan baik (subha karma), melebur perbuatan yang tidak baik (asubha karma),
melepaskan diri dari cengkeraman kesengsaraan (samsara), sehingga dapat
memperbaiki kehidupan menjadi semakin baik dan bijak lagi. Bukankah, tujuan
kita hidup di dunia berdasarkan agama Hindu adalah melakukan kebaikan dan
kebenaran, mencapai kesejahteraan (jagatdhita) dan kebahagiaan (moksha),
sehingga memperoleh kebahagiaan lahir dan batin. Hal ini dapat dirinci lagi
menjadi dharma, artha, kama dan moksa.
Tujuan
atau kebutuhan hidup manusia dalam masa grahasta asrama adalah diutamakan untuk
mencapai artha yang berupa bhoga, upabhoga dan paribhoga (pangan, sandang,
rumah dan lain-lainnya), dan kama berupa kepuasan dan kenikmatan hidup.
Kepuasan hidup itu diperoleh di samping melalui artha, juga melalui hasil seni
dan budaya. Pencapaian dan penggunaan artha dan kama harus selalu berdasar
dharma agar berpahala, jika tidak demikian, akan menimbulkan malapetaka atau
penderitaan.
UU
Perkawinan tahun 1974 pasal satu menjelaskan bahwa perkawinan adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Rumusan tersebut tidak hanya menjelaskan tentang definisi
perkawinan, namun pula tujuan perkawinan sebagai suatu lembaga yang penuh arti
dan luhur. Wiwaha bersifat religius (sakral) dan formal (resmi/sah) yang wajib,
yang mengatur hubungan sanggama (seks) yang layak, dan secara biologis sangat
diperlukan dalam kehidupan sebagai dampati (suami istri). Wiwaha dimuliakan, sebagai suatu jalan untuk
memperoleh keturunan yang berkualitas, yang kelak akan melanjutkan serta
melaksanakan upacara sradha serta panca maha yadnya.
Sah
nya pawiwahan (http://phdi.or.id/artikel/grahastha-asrama) adalah : (1) bila
dilakukan menurut ketentuan hukum Hindu, (2) pengesahan nya dilakukan oleh
pejabat agama yang memenuhi syarat, baik Brahmana, Pinandita, Pandita,
Rohaniawan, Sulinggih, (3) bila kedua mempelai beragama Hindu, (4) berdasar
tradisi, adat istiadat yang berlaku di tengah masyarakat, seperti sudah
melaksanakan me biakaon / me biakala / me kala-kala an.
Rangkaian
upacara pawiwahan sah (https://dharmavada.wordpress.com/2009/07/28/idealnya-perkawinan-hindu/)
karena sudah melibatkan tiga kesaksian yaitu:
- Bhuta saksi (upacara mabeakala),
- Dewa saksi (mapejati) dengan melaksanakan persaksian kehadapan Sang Hyang Widhi, upacara dengan (natab banten pawiwahan, mapiuning di Sanggah / Merajan), dan
- Manusa saksi (dengan hadirnya prajuru desa adat, birokrat, dan sanak keluarga/ undangan lainnya).
Manusa
saksi diwujudkan secara hukum dalam bentuk Akta Perkawinan, Sesuai dengan
Undang-Undang No. 1/1974 pasal 2, Akta Perkawinan itu dicatatkan pada Kantor
Catatan Sipil.
Di Daerah Kabupaten yang kecil, pejabat catatan sipil kadang-kadang dirangkap oleh Bupati atau didelegasikan kepada Kepala Kecamatan. Jadi tugas catatan sipil disini bukanlah “mengawinkan” tetapi mencatatkan perkawinan itu agar mempunyai kekuatan hukum.
Di Daerah Kabupaten yang kecil, pejabat catatan sipil kadang-kadang dirangkap oleh Bupati atau didelegasikan kepada Kepala Kecamatan. Jadi tugas catatan sipil disini bukanlah “mengawinkan” tetapi mencatatkan perkawinan itu agar mempunyai kekuatan hukum.
Pada
dasarnya manusia selain sebagai mahluk individu juga sebagai mahluk sosial,
sehingga mereka harus hidup bersama-sama untuk mencapai tujuan-tujuan
tertentu. Tuhan telah menciptakan manusia dengan berlainan jenis kelamin, yaitu
pria dan wanita yang masing-masing telah menyadari perannya masing-masing. Dan keindahan
hidup di dunia secara harmonis akan mampu memberikan manfaat bagi pasangan yang
berada pada tahap Grahasta Asrama bila keduanya saling menyayangi, saling
menghargai, saling mengisi. Dampaknya juga pada kehidupan berkeluarga,
bertetangga, dalam melaksanakan berbagai aktivitas pada kehidupan, dengan penuh
perhatian, secara akrab, harmonis, penuh empati satu sama lain. Kasih sayang dan
perhatian adalah kunci utama dalam mengembangkan kreativitas, menghadapi cobaan
atau tantangan, masalah yang terjadi pada masa Grahasta Asrama.
Telah
menjadi kodratnya sebagai mahluk sosial bahwa setiap pria dan wanita mempunyai
naluri untuk saling mencintai dan saling membutuhkan dalam segala bidang.
Sebagai tanda seseorang menginjak masa ini diawali dengan proses perkawinan.
Perkawinan merupakan peristiwa suci dan kewajiban bagi umat Hindu karena Tuhan
telah bersabda dalam Manava dharmasastra IX. 96 sebagai berikut:
Prnja
nartha striyah srstah samtarnartham ca manavah, Tasmat sadahrano dharmah crutam
patnya sahaditah.
“Untuk
menjadi Ibu, wanita diciptakan dan untuk menjadi ayah, laki-laki itu diciptakan.
Upacara keagamaan karena itu ditetapkan di dalam Veda untuk dilakukan oleh
suami dengan istrinya (Pudja dan Sudharta, 2002: 551).
Pawiwahan
(nikah; nganten, mesakapan; "Wiwaha Samskara"; Grehasta; Wedding / Marriage) adalah tradisi adat
perkawinan Hindu di Bali (termasuk dalam manusa yadnya) dimana dalam pernikahan menurut pandangan orang bali
disebutkan merupakan :
- Ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri;
- "Tetep pageh ring tresna Sujati";
- Selalu setia terhadap janji dan kata hati.
- Dengan tujuan untuk dapat membentuk keluarga (rumah tangga) yang berbahagia, harmonis dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
- Rumah yang nantinya dipenuhi kasih sayang dalam cerita perempuan Bali di keluarganya yang baru disebutkan bahwa :
- Seorang istri, hendaknya nanti dapat memberikan kekuatan untuk dapat mendukung suaminya.
- Suami juga harusnya membuat wanita merasa nyaman dan terlindungi saat berada disampingnya.
Wiwaha
atau nganten adalah ikatan suci dan komitment seumur hidup menjadi suami-istri dan merupakan ikatan sosial yang paling kuat antara laki
laki dan wanita.
Wiwaha juga merupakan sebuah cara untuk meningkatkan perkembangan spiritual.
Wiwaha juga merupakan sebuah cara untuk meningkatkan perkembangan spiritual.
Lelaki
dan wanita adalah belahan jiwa, yang melalui ikatan pernikahan dipersatukan
kembali agar menjadi manusia yang seutuhnya karena di antara
keduanya dapat saling mengisi dan melengkapi.
Wiwaha
harus berdasarkan pada rasa saling percaya, saling mencintai, saling memberi
dan menerima, dan saling berbagi tanggung jawab secara sama rata, saling
bersumpah untuk selalu setia dan tidak akan berpisah. Pawiwahan atau Pernikahan
adat menurut orang bali pada hakekatnya adalah upacara persaksian kehadapan Ida
Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa dan kepada masyarakat bahwa
kedua orang yang bersangkutan telah mengikatkan diri sebagai suami-istri.
Beberapa Sarana Pawiwahan disebutkan berupa :
- Segehan cacahan warna lima, Api takep (api yang dibuat dari serabut kelapa), Tetabuhan (air tawar, tuak, arak berem), Padengan-dengan`/`pekata-kalaan, Pejati,
- Tikar dadakan (tikar kecil yang dibuat dari pandan), Pikulan (terdiri dari cangkul, tebu, cabang kayu dadap yang ujungnya berisi periuk, bakul yang berisi uang), Bakul, Pepegatan terdiri dari dua buah cabang dadap yang dihubungkan dengan benang putih.
Berbagai
macam bentuk Pawiwahan atau pernikahan unik
dan sangatlah kompleks juga bervariasi. Tata cara perkawinan Hindu (etnik Bali) yang mengikuti
tata cara adat yang
telah berlaku turun temurun. (Nyentana) mempelai laki-laki tinggal di
rumah asal mempelai perempuan dan statusnya sebagai status mempelai perempuan
dirumah istrinya. (Upacara Pawiwahan Sadampati) upacara yang sangat
sederhana, biayanya sedikit namun makna yang dikandung sangat tinggi, karena
banten (upakara) yang digunakan. (Perkawinan pada Gelahang) suatu terobosan untuk terhindar
dari camput {putung). (Wiwaha Brahmacari) pola
perkawinan untuk mendalami arti hidup yang sebenarnya. Tugas dan kewajiban suami istri dicapai bilamana
di dalam rumah tangga terjadi keharmonisan serta keseimbangan
1.
Upacara di rumah pengantin wanita :
2.
Upacara di rumah pengantin lelaki :
- Mareresik
- Mapiuning di Sanggah Surya
- Upacara suddi-wadhani
- Mabeakala
- Mapadamel
- Metapak oleh kedua orang tua, berterimakasih dan mohon doa restu.
- Mejaya-jaya
- Ngaturang ayaban
- Natab peras sadampati
- Pemuspaan / Sembahyang
- Nunas wangsuhpada / bija
Beberapa
Tetandingan Banten Pawiwahan antara lain : Banten Sesayut Plekempa, Banten Salah Ukur, Banten Panca Petika, Banten caru patemon, Banten Sesayut Purna Asih, Tetandingan Banten Sesayut Patemon, Tetandingan Tatebasan Bayakala Pakala-kalan Pawiwahan.
Om iha iwa stam mà wi yaustam
wiswam
àyur wyasnutam
kridantau
putrair naptrbhih
modamànau
swe grhe
(Ya
Tuhan, anugerahkanlah kepada pasangan pengantin ini
kebahagiaan, keduanya tiada terpisahkan dan panjang umur. Semoga penganten ini
dianugerahkan putra dan cucu yang memberikan penghiburan, tinggal dirumah
yang penuh kegembiraan.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar