Hari Selasa, 19
Februari 2019 merupakan Purnama, bulan bulat penuh, atau dikenal dengan istilah
Super Moon. Tidak hanya itu, Purnama kali ini merupakan Purnama Perige, dimana
ukuran bulan akan menjadi lebih besar 14 % jika dibandingkan saat purnama Apoge.
Kelebihan lain pula adalah bulan akan terlihat lebih cemerlang 30 % sinar
cahayanya.
Fenomena Supermoon atau
Purnama Purana Perige terjadi bilamana posisi bulan berada di tempat paling
dekat dengan bumi. Jarak bulan dengan bumi hanya berada sekitar 363.300 km
saja. Bandingkan dengan jarak bulan dan bumi saat Purnama Apoge yang berjarak 405.500
km.
Hari Selasa ini juga
merupakan Purnama Sasih Kesanga, Anggara Kasih Tambir, sekaligus Kajeng Kliwon.
Umat yang meyakininya akan melaksanakan puja dan juga doa, bagi kesejahteraan
kita bersama, sesuai dengan cara dan dengan beragam gaya yang dipercaya bisa
menghantar mencapai cita-cita tersebut.
Menurut filosofi Hindu
(Wayan Suyasa, 2016), Sasih Kesanga adalah puncak dari bulan kotor / cemer,
sehingga umumnya juga dikenal sebagai Sasih Butha. Sasih Kesanga yang merupakan
bulan ke Sembilan di setiap Tahun Saka, disebut pula Sasih Butha, bermakna saat
tepat untuk melaksanakan korban suci Butha Yadnya (persembahan kepada Butha.
Sasih Kesanga ini tidak baik dipakai sebagai Dewasa Ayu Manusa Yadnya utamanya
menikah, dan tidak baik juga dipergunakan sebagai dewasa Dewa Yadnya.
Kajeng Kliwon (Tantrayasa, 2015) merupakan hari yang
dikeramatkan oleh umat Hindu dan orang Bali, karena konon Sang Tiga Buchari
bermohon pada Sanghyang Durgha Dewi, mengundang semua desti, teluh, terangjana,
yang mengakibatkan timbulnya kekacauan dan merajalelanya seribu satu macam
penyakit yang mengancam keselamatan umat manusia. Pada Hari Kajeng Kliwon ini,
umat Hindu di Bali menghaturkan sesajen dan persembahan kepada Sang Hyang
Dhurga Dewi, di tanah, sesajen dihaturkan untuk Sang Butha Bucari, Sang Kala
Bucari, dan Sang Durgha Bucari. Penjelasan ini bermakna pada saat Kajeng
Kliwon, dimana Sang Butha Kala menggoda dan energi negatif cenderung lebih kuat
daripada energi positif, manusia menghaturkan sesajen sebagai simbol upaya pengendalian
diri, menetralisir beragam upaya yang dapat menimbulkan dampak negatif bagi
manusia.
Sesuai dengan
perputaran musim, khusus terkait dengan iklim di Indonesia, Sasih Kesanga
merupakan pergantian musim (Panca Roba) dari musim hujan ke musim panas. Sedang
Sasih Kedasa digolongkan sebagai Sasih Dewa, misalnya : hari yang dianggap baik
untuk memakuh aneka tempat suci saat purnama Sasih Kedasa (pertengahan Sasih
Kedasa).
Menurut Perhitungan
dalam agama Hindu, sebelum memasuki yang disebut dengan Sasih Kedasa / Sasih
Dewa, aneka macam Pralingga maupun Pretima sthana Ida Bethara (symbol dari
Tuhan / Dewa / Leluhur dibersihkan, disucikan, dengan rangkaian upacara ritual
mekiyis / melasti / mekiyis ke berbagai tempat sumber air seperti beji,
campuhan, pantai / segara.
Hal ini yang menjadi alasan
upacara melasti pada umumnya dilaksanakan menjelang akhir sasih Butha / Sasih Kesanga,
sebelum memasuki Sasih Dewa (saat yang dianggap tepat untuk memuja Dewa atau
melakukan ritual Dewa Yadnya).
Referensi :
Wayan Suyasa. 2016.
Sasih Kesanga. Bali.
Sudarsana, I. B. Putu. 2003. Ajaran
Agama Hindu. Denpasar: Percetakan Bali
Kasturi. 2014. Sadhana (Disiplin
Spiritual). Surabaya: Paramita
Pemerintah Propinsi Bali. 2001. Arti
dan Fungsi Sarana Upakara.
Gede Sura. 2015. Pengendalian
Diri dan Ethika, Departemen Agama RI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar