Aku bukanlah pujangga,
Ku juga tak paham mantra,
Tak ku kuasai se bait pun sloka,
Namun bukankah….
Yadnya terindah adalah
Melakukan sekecil pun yang kita bisa
Dalam memuliakan Hyang Widhi Wasa……
(Santidiwyarthi, 3 Februari 2019)
Pura Lempuyang…. Lima
belas tahun berlalu, setelah dahulu bersama anak-anak asuhku, May dan Krisna,
menelusuri ribuan anak tangga, dari Pura Penataran Lempuyang hingga ke Puncak,
Pura Luhur Lempuyang, dan membutuhkan waktu hingga seminggu baru pulih kekuatan
otot tubuhku.
Dan kini, aku kembali
kemari, menghampiri tempat mulia nan suci ini. Menghampiri rumah Sang Hyang
Widhi, menghaturkan puja, agar damai senantiasa hadir, setidaknya, bagi diriku
sendiri. Bergabung bersama para sahabat spiritualis, para emak narsis, para pengelana
yang suka mengembara, menembus cahaya, membawa cinta dan semangat di dada, menebar
damai dan harapan bagi dunia…. Yayasan Jaringan Hindu Nusantara.
Kami hanya berenam,
banyak yang tidak bisa bergabung karena berbagai kesibukan dan kegiatan lain
yang mereka lakukan pula. Tidak mengapa. Bukan semua hal harus kita lakukan
bersama dalam situasi sama senantiasa. Namun adalah bijak menyikapi beragam
kondisi secara dewasa. Demi kepentingan umat, demi kebahagiaan Sang Jiwa, demi
ketenangan batin sendiri, karena melakukan hal positif meski kecil akan jauh
bermanfaat daripada berlarut dalam ego dan emosi serta hasrat sendiri.
Kami, para emak gahoel
nan narsis, Bunda Ratu (Desak Sri Rejeki), Bunda Par (Agung Parwati), minus
Bunda Ayu dan Bunda Jegeg, mengendarai motor masing-masing, bergabung di Ubung.
Kemudian bergerak dan bergabung dengan Ki Matra, Jik Agung, dan Mbak Ade di
Gianyar. Beristirahat membuka bekal makan kami di Pelabuhan TanahAmpo, dan
melanjutkan perjalanan ke Karangasem.
Mobil kami tiba di
Parkiran bawah di Desa Abang Kaler, dan kami naik dengan bis menuju Pura
Penataran bersama rombongan lain yang juga akan bersembahyang, rombongan turis
Perancis. Selesai bersembahyang dan melakukan bersih-bersih terkait kerja
bakti, kami berpamitan pada para pemangku Pura Penataran Lempuyang. Seorang
pria, bapak Nengah Ramen, menawarkan jasa membawa barang – barang kami, enam
buah pejati lengkap, canang sari, sodan beserta buah dan jajan yang kami bawa
sebagai bekal.
Ku jumpai sahabat ku
disini, bapak Dewa Gede Bawa, yang juga hadir bersama keluarga, istri dan anak
mereka. Kami bersembahyang bersama. Kagum ku pada semangat bapak Dewa Gede
Bawa. Beliau pernah mengalami stroke, dan kini mulai aktif mengajar kembali di
STP Nusa Dua, bahkan sekarang akan menempuh ribuan anak tangga hingga ke Pura
Luhur Lempuyang. Kagum ku pada semangat dan perjuangan beliau beserta keluarga.
Selesai bersembahyang
di Pura Penataran Lempuyang, Kami melanjutkan perjalanan dengan naik ojek motor
dan membayar masing-masing Rp. 10.000 menempuh perjalanan sejauh dua kilometer
dalam perjalanan menanjak Bukit untuk tiba di Pura Telaga Mas. Belum juga
persembahyangan kami mulai, hujan gerimis mulai turun, kian lama kian deras.
Kami mulai mengenakan jas hujan yang sudah kami bawa semenjak awal perjalanan
kami.
Dari Pura Telaga Mas,
kami memulai perjalanan panjang menyusuri jalan setapak dengan anak tangga
sejauh 1 kilometer ke arah atas, mendaki bukit, dengan 1275 anak tangga. Kami
kemudian tiba di Pura Pasar Agung.
Mengapa rombongan kami
tidak menuju ke Pura Lempuyang Madya terlebih dahulu ? Karena kami berencana
untuk mekemit, menginap, di Pura Lempuyang Madya, maka rombongan kami menuju ke
Pura Pasar Agung, lanjut ke Pura Luhur Lempuyang. Suhu udara yang dingin
membekukan tidak memungkinkan kami menginap di Pura Luhur Lempuyang, yang
merupakan Pura dengan ketinggian 1.174 MDPL (meter dari permukaan laut). Pura
Luhur Lempuyang bukan merupakan pura tertinggi di Bali. Pura tertinggi di Bali
adalah Pura Pucak Kedaton yang memiliki ketinggian 1.700 MDPL (meter dari
permukaan laut), berikutnya, ada Pura Pengubengan, atau Pura Gelap, di area
Pura Besakih, dengan ketinggian 1.100 MDPL (meter dari permukaan laut), Pura
Pasar Agung di Karangasem dengan ketinggian 1.500 MDPL (meter dari permukaan
laut), Pura Batukaru dengan ketinggian 835 MDPL (meter dari permukaan laut), namun
ada pula yang mengatakan Pura tertinggi di Bali adalah Pura Pucak Mangu dengan
ketinggian 2.096 MDPL (meter dari permukaan laut). https://embunnusadamai.wordpress.com/2013/10/07/10-puncak-tertinggi-pulau-bali/
Hujan yang tiada henti,
bahkan semakin deras, tidak menyurutkan langkah kami. Meski terkadang harus
berkali beristirahat di setiap persimpangan, karena lelah yang mendera, dan
dingin yang membuat kaki keram, hingga kami tertatih menyusuri tangga demi
tangga, di tengah tatapan para monyet yang terdiam menggigil karena hujan di
sela pepohonan, bahkan lintah yang terkadang menempel di kaki.
Dari Pura Pasar Agung,
kami harus menyusuri lima ratus anak tangga mendaki lagi, untuk tiba di Pura
Luhur Lempuyang. Sungguh bukan hal mudah bagi kami yang tidak terbiasa mendaki,
dan tidak muda usia lagi. Terengah, tenggorokan kering, lapar dan haus melanda,
tidak menyurutkan niat kerja bakti. Kantong plastik hitam yang kami bawa
sungguh bermanfaat dalam mengumpulkan bekas canang sehabis bersembahyang. Bangga
karena tindakan kami juga memotivasi orang lain untuk turut melakukan hal sama,
menyapu dan mengumpulkan sampah berserakan.
Dari Pura Luhur
Lempuyang, kami kembali menuruni 500 anak tangga yang sama dan tiba di Pura
Pasar Agung, berbelok ke kiri, menyusuri kembali 240 anak tangga, sebelum
akhirnya tiba di Pura Puncak Bukit Bisbis. Tidak terasa hari sudah mulai gelap.
Kami segera membersihkan pelataran Pura, dan bersembahyang. Waktu
memperlihatkan sudah pukul tujuh malam. Jalan setapak sudah tidak terlihat.
Dengan dibantu oleh cahaya dari dua buah senter yang kami bawa, serta lampu
dari mobile smartphone kami menembus kegelapan malam, menuju ke Pura Lempuyang
Madya. Dibutuhkan perjalanan menuruni anak tangga berjumlah 180 buah menuju ke
Pura Lempuyang Madya.
Di tengah perjalanan
yang mulai gelap, kami berpapasan dengan beberapa rombongan lain, baik dari
Buleleng, Karangasem, bahkan Tabanan. Bahkan, ada di antara rombongan tersebut,
anak anak berusia lima hingga tujuh tahun yang berjalan dengan lincah menaiki
anak tangga. Mereka bergerak dari Pura Lempuyang Madya, menuju ke Pura Luhur
Lempuyang.
Tiba di Pura Lempuyang
Madya, kami bersembahyang terlebih dahulu di Pura Telaga Sawang di samping Pura
Lempuyang Madya. Rasa lelah yang mendera membuat kami memutuskan untuk
beristirahat makan malam dan menikmati secangkir kopi. Aku bahkan sempat
tertidur di Bale Kaja yang terletak di pelataran Pura Lempuyang Madya, sebelum
kami melanjutkan dengan persembahyangan bersama dan kembali tidur.
Pukul empat pagi, kami
bangun dan menyapu kembali halaman pura, mencuci tangan, bersembahyang pagi
bersama, kemudian bersiap menyusuri perjalanan kembali. Pukul lima pagi, kami
memulai perjalanan menyusuri 520 anak tangga menuju Pura Telaga Mas.
Sungguh suatu anugerah
luar biasa, kami diberi kesempatan menyaksikan indahnya pemandangan alam di
bawah kami, hamparan awan putih menyelimuti Gunung Agung. Inilah, negeri di
atas awan ala Bali.
Ini bukan hanya sekedar
perjalanan membuktikan jati diri, menguji ketangguhan kami. Ini adalah
perjalanan yang kami biarkan mengalir tanpa adanya tendensi, tak perlu jaim
atau sekedar gengsi, bahkan narsis demi eksistensi diri. Ini adalah perjalanan
menuju pada Nya, Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Bahkan, sekedar berbagi seporsi mie
bersama, semangkuk bubur kacang hijau beramai ramai, sebotol minuman direbut
bersama. Ini adalah semangat kami, jiwa korsa, tentang Hindu Dharma, yadnya,
cinta, doa, bersama……
Tidak ada komentar:
Posting Komentar