Sabtu 23 Februari 2019
di Open Stage Mandala Wisata Samuan Tiga Desa Bedahulu Gianyar. Open Day untuk
Lokakarya Life Tree, Song of Ancestor: The Art of Moving in Sacred Sites. “Datanglah,
ibu Santi, bila ada waktu dan berkenan untuk hadir. Ada acara bagus, kita
diskusi bersama, menikmati pentas seni, bersama Prapto Suryodarmo dari
Padepokan Lemah Putih, Solo. Juga Ajahn Jutindharo, Kepala Vihara Hartrigde,
UK, dan para sahabat lain”. Ujar seorang sahabat, Ibu Diane Butler.
Peserta lokakarya
berasal dari kalangan teater Bali, Jawa Timur, Lampung. Juga para karyasiswa
dan seniman dari ISI Denpasar, empat karyasiswa program studi S3 doktoral
Kajian Budaya Universitas Udayana. Peserta lokakarya tidak hanya dari
Indonesia, namun juga Jerman, Spanyol, Meksiko, Cina, AS. Mereka akan
mempresentasikan penampilan dan karya singkat dari berbagai kolaborasi kelompok
seni masing-masing daerah.
Tema Lokakarya kali ini
adalah : Penciptaan Nilai Budaya dalam Kebersamaan dan Kerukunan. Dengan bentuk
Lokakarya, Srawung Seni, Diskusi dan Penampilan Karya Seni.
Para seniman yang
menyajikan karyaseni antara lain adalah Teater Kalangan (Bali), Ibed Surgana
Yuga (Bali), Alexander Gebe (Sumatra), Agus Wiratama (Bali), Dayat
(Banyuwangi), Riwanto Tirto Sudarmo (Jakarta), Claudine Merkel (Jerman), Rudolf
Berlekamp (Jerman), Ana Zapata (Meksiko), Moon Hu (Cina), Liang Doris Chen
(Cina), Siwen Bo (Cina), Qin Hui Jin (Cina), Xin Yu Niu (Cina), Hong Ge Yu
(Cina), Alba Sagarra (Spanyol), Diane Butler (USA), Koyano Tetsuro & Naoka
(Jepang), Tebo Aumbara (Bali), Juan Pereyra (Argentina), Tina & Jonathan
Bailey (Narwastu Art Community Bali), Blanka (Spanyol).
Diskusi santai tentang
seni disampaikan oleh empat karyasiswa program studi doktoral, Luh Putu Sri
Ariyani (Undiksha), Komang Adi Sastra Wijaya (UNUD), Ida Sri Wayan Budra
(Pasraman Tunjung Putih), Gene Ginaya (Poltek Negeri Bali).
Ibu Diane Butler
menjelaskan bahwa penampilan seni dan diskusi seni, khususnya seni teatrikal
ini sengaja memilih suatu situs bersejarah, cagar budaya purbakala, tempat yang
dianggap suci dan keramat, sebagai suatu bentuk karya nyata, dalam memaknai
situs sacral yang dapat menginspirasi, menjadi sumber kreativitas beragam karya
seni, melahirkan semangat menghargai karya luhur budaya suatu bangsa, terkait
dengan hubungan terhadap berbagai komponen kehidupan manusia dengan manusia,
manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan, Sang Pencipta Kehidupan.
Banyak orang yang
terkadang tidak mampu memahami lingkungan sekitar, tidak dapat menghormati
sesama umat manusia, bahkan cenderung meremehkan cagar budaya. Hadir pada
berbagai situs budaya, mencoba memahami rasa yang mengalir masuk ke dalam jiwa,
bersatu dengan alam, dan mampu melahirkan berbagai karya seni akan membuat kita
belajar berempati, belajar menghargai orang lain, belajar menghormati karya
luhur suatu peradaban dari suatu bangsa. Karena tidak mudah menjalin suatu
kerjasama, berkolaborasi dengan orang lain, apalagi yang berbeda latar belakang
sosial dan budaya, dari berbagai belahan dunia.
Pemilihan situs budaya
yang merupakan cagar purbakala Samuan Tiga sebagai tempat pentas seni sungguh
tepat. Karena Pura Samuan Tiga ini merupakan titik awal bersatunya Bali yang
dahulu sempat terpecah belah menjadi banyak sekte atau aliran.
Literatur
sejarah Bali kuno menguraikan pemberian nama Samuan Tiga terkait dengan
adanya suatu peristiwa penting musyawarah berbagai tokoh pada masa Bali
Kuna. Pelaksanaan musyawarah para tokoh di Bali pada masa pemerintahan raja
suami-istri Udayana Warmadewa bersama permaisurinya Gunapriyadharmapatni yang
memerintah sekitar tahun 989 – 1011 Masehi.
Menurut
Goris, pada masa itu di Bali berkembang kehidupan keagamaan yang bersifat
sektarian. Ada sembilan sekte yang berkembang pada masa itu. Sekte-sekte
tersebut adalah Pasupata, Bhairawa, Siwa Sidhanta, Waisnawa, Bodha, Brahma,
Resi, Sora dan Ganapatya. Masing-masing sekte memuja Dewa-Dewi tertentu sebagai
istadewata (Dewa Utama) dengan simbol tertentu. Penganut setiap sekte
berkeyakinan bahwa istadewata merekalah yang paling utama di antara dewa yang
lain. Keyakinan sektarian itu mengakibatkan benturan konflik dan
ketegangan antar-sekte. Hal ini berpengaruh terhadap stabilitas kerajaan
dan masyarakat.
Menyadari
hal itu, raja suami-istri Gunapriyadharmapatni dan Udayana berusaha
mengatasinya dengan mengundang tokoh-tokoh spiritual dari Bali dan Jawa Timur
(Gunapriyadharmapatni adalah putri raja Makutawangsawardhana dari Jawa Timur)
untuk mencari jalan keluar gejolak antar-sekte ini.
Pada
waktu itu di Jawa Timur ada lima pendeta bersaudara. Ke-lima pendeta bersaudara
tersebut kerap dijuluki Panca Pandita atau Panca Tirta. Mereka adalah Mpu
Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, Mpu Gnijaya dan Mpu Bharadah. Empat di antara
kelima pendeta tersebut didatangkan ke Bali secara berturut-turut, yaitu:
1.
Mpu Semeru datang di Bali pada tahun saka 921 (999 M) ber parhyangan di
Besakih.
2.
Mpu Ghana datang pada tahun saka 922 (1000 M) ber parhyangan di Gelgel.
3.
Mpu Kuturan datang pada tahun saka 923 (1001 M) berparhyangan di Silayukti,
Padangbai.
4.
Mpu Gnijaya datang pada tahun saka 928 (1006 M) berparhyangan di Lempuyang
(Bukit Bisbis).
Mpu
Kuturan yang berpengalaman sebagai kepala pemerintahan di Girah
dengan sebutan Nateng Girah, oleh Gunapriyadharmapatni diangkatlah beliau
sebagai senapati dan sebagai Ketua Majelis Pakira-kiran I jro Makabehan.
Melalui
posisi yang dipegang itu, Mpu Kuturan melaksanakan musyawarah bagi sekte
keagamaan yang berkembang di Bali bertempat di Pura Penataran kerajaan. Pada
masa itu, setiap kerajaan di Bali memiliki tiga pura utama: Pura Gunung, Pura Penataran (di
pusat kerajaan) dan Pura Segara (laut). Musyawarah tersebut berhasil menyatukan
semua sekte untuk penerapan konsepsi Tri Murti yaitu kesatuan tiga manisfestasi
Tuhan (Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa) dalam satu kesatuan yang tak
terpisahkan.
Konsepsi
"three in one" ini (aryapengalasan) berlaku di seluruh Bali dan menghapuskan dominasi satu sekte
terhadap sekte lainnya, meskipun belakangan sekte Siwa Sidhanta yang tampil
dominan. Penyatuan ini serupa dengan apa yang dilakukan oleh Mpu Kuturan di
Jawa dengan mendirikan Candi Loro Jonggrang (Prambanan) yang memuja Dewa
Brahma, Wisnu dan Ciwa.
Untuk
memperingati peristiwa penting tersebut maka tempat dimana terjadi musyawarah
tersebut, yakni Pura Penataran kerajaan tersebut, diberi nama Pura Samuantiga.
Konsep
Tri Murti yang diperkenalkan oleh Mpu Kuturan kemudian diterapkan dalam pola
Desa Pakraman dengan pendirian pura Kahyangan Tiga yakni Pura Desa (Brahma),
Pura Puseh (Wisnu) dan Pura Dalem (Siwa) pada setiap desa. Bagi setiap
keluarga, diterapkan pembangunan Sanggar Kamulan Rong Tiga (tempat pemujaan
dengan tiga pintu).
Ini
yang menjadi pitenget bagi siapapun, bahwasanya, harmoni akan tercipta bila
didasari dengan niat tulus dalam diri setiap umat manusia, pemahaman mendalam
terhadap latar belakang sejarah, saling menghargai satu sama lain,dan aplikasi
nyata dalam berbagai aspek kehidupan. Karena setiap orang memiliki peranan dan
fungsi nya masing-masing yang akan saling melengkapi satu sama lain. Pemimpin,
pengusaha, penguasa, tokoh masyarakat, pemuka agama, petani, nelayan, guru, seniman,
budayawan, guru dan murid, ibu rumah tangga. Semua sama penting dan mulianya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar