Tirta Yatra...... Sebuah perjalanan spiritual, kebersamaan dalam berkunjung ke tempat suci atau yang disucikan. Hmmm, sungguh, lama sekali kunantikan ini......
Sehabis bersembahyang Purnama bersama, Maret 2013, para bapak dan ibu umat Hindu di perumahan kami beserta keluarga masing-masing saling bertutur tentang sebuah niat yang ingin terwujud, yakni Tirta Yatra. Selama satu bulan ini adalah Ida Bethare Turun Kabeh. Pujawali di Pura Luhur Besakih. Maka... knapa tidak?
Namun ada banyak hal yang harus diperhatikan. Bila kami berangkat dengan tujuan Pura Batur terlebih dahulu, maka kami akan tiba siang hari di Pura Besakih. Dengan padatnya para pemedek yang akan tangkil, berdesakan... maka kami putuskan hanya akan berangkat dengan tujuan Pura Besakih. Kami putuskan akan berangkat pada hari Selasa, 2 April 2013, dengan alasan, hari Selasa adalah hari kerja, sehingga kemungkinan lebih sedikit pemedek / umat Hindu yang akan tangkil / bersembahyang ke Pura, dan minggu ini masih dalam rangka liburan murid sekolah, sehingga tidak akan mengganggu kegiatan sekolah anak-anak. Dan, aku diminta bantuan untuk mengkoordinir warga umat Hindu yang ada di perumahan kami yang akan ikut serta berangkat bersama rombongan.
Kubuat surat penyampaian informasi bagi para warga umat Hindu, mengenai rencana Tirta Yatra ini. Kuketik dan ku cetak, lalu kugandakan dan kuedarkan. Harapannya adalah agar kami bisa bersatu dalam kebersamaan. Sudah semenjak dua bulan lalu kami berniat untuk tirta yatra bersama. Di saat sedang mejejaitan berbagai persiapan jelang piodalan Tumpek Landep di Pura Perumahan, kami membahas ini berkali.
Namun memang sungguh, manusia hanya bisa berencana dan berusaha, Tuhan yang punya kuasa. Beragam situasi dan kondisi membuat kami harus bisa memperbesar toleransi dan mempersering komunikasi. Dari Bu dan Pak Ngurah Suarya yang ternyata tidak bisa ikutan karena inginnya memilih tirta yatra ke Pura yang belum pernah dikunjungi, Bu dan Pak Ngurah Sartana yang sedang sakit dan sibuk kerja hingga tidak bisa ikutan pula. Bu dan Pak Edi Swastika serta Bu Koko yang sibuk kerja juga karena high season di hotel. Bu dan Pak Karang yang masih punya anak bayi sehingga tidak bisa bepergian. Bu dan Pak Dewa Ketut Uriana yang memilih berangkat tirta yatra ke Pura Besakih bersama keluarga besarnya. Bu dan Pak Agung Suprastayasa yang sedang berlibur sekeluarga ke Yogya pada tanggal bersangkutan. Bu dan Pak Ketut Sudana yang sibuk piodalan pula di Grenceng. Bu dan Pak Gusti Agung Sucahya yang tidak bisa naik bis bersama karena pasti mabuk parah karena menumpang. Hemm, sungguh..... beragam warna kehidupan manusia di dunia.
Bahkan, pada hari keberangkatan, masih terdapat beberapa situasi dan kondisi yang membutuhkan kedewasaan dan kebijakan dalam bertindak. Ipar perempuanku dan juga keponakan perempuan, beserta ibu Ketut Kondri, tidak bisa ikutan karena datang bulan. Pak Gusti Agung Sucahya yang berencana untuk ikut tirta yatra dengan menggunakan mobil, namun akhirnya memutuskan tidak ikut. Bapak Kadek Suartika yang tidak jadi ikut karena baru kemarin berkunjung ke Pura Besakih bersama para sahabatnya.
Akhirnya, bis pariwisata White Horse dengan kapasitas 39 seat, seorang kondektur dan supir tiba di depan perumahan kami, Selasa, 2 April 2013, pukul 7 pagi. Kami beriringan masuk ke dalam bis tersebut. Ibu dan Bapak Mangku Made Sedana Putra, Ibu dan Bapak Nyoman Runteg beserta putri cantik mereka, Ibu Kadek Suartika beserta ketiga anak nya, Ibu dan Bapak Kadek Rama beserta Nanda, putra balitanya, Ibu Dayu beserta Annika anaknya, Ibu dan Bapak Ketut Giri bersama adik bu Giri dan Kodi, anak balita mereka, Bapak Kadek Dwi Adhi, Ibu dan Bapak Putu Artayasa beserta ketiga anak mereka, Bapak Ida Wayan Rancana, dan Ngurah Ari, putranya bapak Ngurah Sartana, juga aku, bersama suami, dan kedua anakku terkasih.
Bergerak dari Denpasar Barat, kami menembus jalan Teuku Umar, menuju arah Renon, Sanur, lalu masuk ke by pass IB Mantra, bergerak menuju Klungkung. Dengan banten tiga pejati, kami berencana nangkil ke Pura Dalem Puri, ke masing-masing pedharman, Pura Gelap, dan Pura Penataran Agung Besakih. Tiba pukul 9.30, bis kami tidak dapat masuk mendekati areal Pura Dalem Puri, langsung memasuki areal parkir II yang diperuntukkan bagi bis. Hmmm, terlalu jauh untuk berjalan kaki, sementara rombongan sudah mulai berpencar. Rencana awal langsung berubah, kami langsung menuju ke masing-masing pedharman, dan bebas bersembahyang di ke 8 Pura yang ada di areal Pura besakih, sebelum bergabung di Pura Penataran Agung pada pukul 11.30. Dhheeuuuhhh, bahkan, gelas dan air panas dua termos yang kupersiapkan membuat kopi bagi rombongan kami, tak sempat lagi kuseduh. Aaarggghh. Tuhan maha maklum atas segala kehebohan kecil ini.
Aku berjalan paling akhir dari rombongan kami untuk memastikan seluruh anggota telah bergerak menuju Pura Besakih. Kami mulai memisahkan diri dengan bersembahyang di masing-masing pedharman / pura leluhur, sesuai dengan silsilah keluarga masing-masing. Bersama kedua anak dan suami, kami memasuki pelataran Pura pedharman Ida Sri Krisna Kepakisan. Kemudian bersimpuh menghaturkan puja dan puji bagi para leluhur dan juga Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Sungguh ramai para pemedek yang terlihat di sekeliling Pura Besakih, sehingga aku terpisah dengan suami dan si bungsu. Akhirnya hanya tertinggal aku dan si sulung, Adi Pratama. Kami mencoba berkali menghubungi suami dan si bungsu via mobile phone, sungguh, tiada jawaban, karena koneksi jejaring tidak mencapai areal Pura.
Kuputuskan bergerak bersama si sulung, Wayan Adi Pratama, menuju ke Pura Gelap. Pura ini terletak di areal paling puncak dari seluruh Pura yang berada di areal Pura Besakih, sehingga disebut Pura Gelap, karena sering tidak terlihat bila kabut menyelibuti nya.
Bersembahyang bersama para pemedek yang juga nangkil ke Pura Gelap, kulantunkan mantram doa bagi harmoni kehidupan di sekelilingku. Semoga..... kami semua semakin bijak dari hari ke hari.
Akhirnya, waktu menunjukkan pukul 11.30, saatnya kami bergabung di Pura Penataran Agung, bersama seluruh rombongan tirta yatra dari perumahan kami.
Kusempatkan menyaksikan tarian topeng tua dari umat yang mempersembahkan yadnya, di pelataran Pura Penataran Agung, dengan disaksikan para umat Hindu yang juga hadir disana.
Waktu menunjukkan pukul 12.30 saat rombongan kami mengakhiri rangkaian tirta yatra ke Pura Besakih. Sungguh, sebuah kebersamaan dalam menjaga toleransi dan harmoni dengan sesama umat. Mungkin, hanya sebuah bentuk sederhana, namun, dengan suatu bentuk ini lah, kami berusaha, dan akan selalu berusaha, menjalin interaksi dengan lingkungan di sekitar kami, dengan sesama umat, dan juga dengan Tuhan, Ida Sang Hyang Widhi Wasa.......
Pukul 13.45, bis berhenti di Puri Boga Restaurant, dan rombongan kami masuk untuk menikmati makan siang. Ada bihun goreng, nasi goreng, mie goreng, capcay, sop, sate, ayam kecap, tahu goreng, lumpia goreng. Ada pula salad, beragam buah segar, ketan itam disiram santan, pisang goreng bertabur gula bali.
Dan..... sepanjang sisa perjalanan hingga kembali ke perumahan kami, sebagian besar anggota terlelap. Sebuah perjalanan berkesan, yang, entah apa kah kami akan bisa mengulanginya kembali...... namun, harapanku, akan selalu kuperjuangkan, untuk kembali dan kembali lagi, ke rumah Tuhan. Entah, dengan siapa pun, kapan pun, dan dengan cara bagaimana pun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar