Setiap orang inginkan kebahagiaan dan kepuasan.
Beragam cara, gaya, dan usaha yang dilakukan dalam menggapai kebahagiaan
tersebut. Entah itu secara eksternal maupun internal. Entah itu dengan berdoa,
meditasi, mandi, melukat, merapikan rumah dan pekarangan, mendatangi berbagai
tempat yang diyakini bisa memberi kepuasan atau kebahagiaan, mengunjungi orang
yang bisa menjadi sumber bahagia, dan berbagai aktivitas lainnya lagi. Dan
salah satu upaya tersebut yang telah dilakukan semenjak dahulu oleh leluhur
adalah Mrsi Ghana, Me Rshi Ghana, Ngrsi Ghana.
Hari Rabu sore, Buda Kajeng Kliwon Gumbreg, 16
April 2014, aku kembali mendapat kesempatan menyaksikan rangkaian upacara dan
upakara Ngrsi Ghana, di rumah iparku, pak Wayan Suda Arsana, di Batubulan.
Umumnya, ritual Rsi Ghana disebut caru.
Namun, kalau diteliti lebih lanjut penyebutan kata caru tidak tepat. Caru adalah ritual yang ditujukan
untuk nyomia Bhuta Kala “menempatkan
Bhuta Kala pada
tempat-Nya”. Dalam ritual
Rsi Ghana persembahan dan
permohonan ditujukan kepada Dewa Ghana sebagai Dewa Wighnaghna ‘halangan’.
Oleh karena itu, ritual Rsi Ghana itu
lebih tepat kalau disebut ritual penolak
baya ‘penolak mara bahaya’, agar kita terhindar dari berbagai halangan
dalam hidup ini (Wiana, 2001:198-199)
Ritual ini telah dilakukan semenjak lama dan merupakan kearifan lokal yang telah diwariskan leluhur. Para tetua melakukan rangkaian upacara keagamaan agar kebahagiaan tercapai, agar manusia terhindar dari bahaya dan konflik, agar kesembuhan di peroleh, agar keselarasan hubungan terjaga. Upaya untuk menyeimbangkan alam dan manusia, sesama umat manusia, dan manusia dengan Tuhan, hingga tercapai harmoni.
Rsi
Ghana berarti golongan atau kelompok resi (Mardiwarsito, 1978:279). Rsi Ghana terdiri atas kata rsi dan ghana.
Rsi berarti ‘pendeta; dewa’. Ghana
berarti ‘makhluk setengah dewa; angkasa; langit’ (Suparlan, 1988:38,79).
Yang dimaksud dengan kelompok resi
adalah kekuatan Dewata Nawa Sanga
yang bergabung menjadi satu dalam tubuh Dewa Ghana.
Makhluk setengah dewa dimaksudkan sebagai wujud Dewa Ghana
yang berupa manusia berkepala gajah yang datang dari langit dengan kekuatan
para dewa. Jadi, Rsi Gana
berarti Tuhan dalam manifestasi-Nya sebagai Dewa Ghana
yang turun ke dunia sebagai penghalau rintangan atau penyelamat. Ritual Rsi Ghana dimaksudkan sebagai sebuah
ritual dengan menghadirkan Dewa Ghana
sebagai penyelamat atau pelindung.
Rsi Gana memiliki beragam tingkatan (Wiana,
2001:201; Wikarman,1998:17), seperti nista / alit “sederhana”, madya “menengah”,
dan utama. Tingkatan Rsi
Gana Alit diikuti dengan caru ekasata yang lazim dikenal dengan sebutan ayam
abrumbunan (seekor ayam dengan bulu lima jenis warna).
Ritual Rsi
Ghana umumnya dikenal sebagai Caru
Rsi Ghana.
Menurut Mardiwarsito (1978:49), kata caru
diartikan sebagai ‘kurban’. Kata caru identik
dengan upacara bhuta yadnya yang
berarti kurban suci yang ditujukan kepada para bhuta atau bhuta
kala. Rsi adalah orang atas usahanya melakukan tapa, yoga,
dan semadi, memiliki kesucian yang dapat menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi sehingga dapat
melihat hal-hal yang sudah lampau, masa sekarang, dan masa yang akan datang
(Wiana, 2001:16). Ghana
adalah simbol dewa bencana (vighnesvara),
mahatahu (vinayaka), dan pengelukat (pengeruat) (Atmaja, 1999:
35-90).
Caru Rsi
Ghana adalah usaha manusia untuk membuat hubungan yang harmonis
antara keadaan diri, lingkungan, dan Tuhan, yang diwujudkan dalam bentuk atau
wujud sesaji dengan menghadirkan manifestasi Tuhan sebagai Dewa Ghana.
Hal ini memberi gambaran, bahwa manusia melakukan berbagai upaya untuk menggapai kebahagiaan, baik eksternal maupun internal, untuk memelihara hubungan, dengan sesama umat manusia, dengan alam sekitar dimana mereka berada, dan dengan Tuhan.
Sumber Referensi:
Atmaja, I Nengah
Bawa. 1999. Ganesa sebagai Avighnevara, Vinayaka, dan Pengelukat. Surabaya:
Paramita
Mardiwarsito. 1978.
Kamus Jawa Kuna (Kawi)—Indonesia.
Flores: Nusa Indah.
Wiana,
I Ketut. 2000. Arti dan Fungsi Sarana Persembahyangan. Surabaya:
Paramita.
Wiana,
I Ketut. 2001. Makna Upacara Yadnya dalam Agama Hindu. Surabaya:
Paramita.
Wikarman,
I Nyoman Singgih. 1998. Caru Palemahan dan Sasih. Surabaya: Paramita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar