Abstrak
Bali sebagai bagian dari masyarakat
era milenial tidak dapat terlepas dari situasi perkembangan komunikasi digital
4.0. Dengan demikian, perkembangan industri pariwisata di Bali membutuhkan
kajian empiris dalam komunikasi yang ada. Penelitian ini berupaya melakukan
riset terkait wisata budaya, dalam hal ini, komunikasi pihak pengelola museum
dengan wisatawan pengunjung. Dengan populasi wisatawan yang sudah mengunjungi
museum, dan sampel penelitian berjumlah 25 orang. Metode penelitian berupa
kuantitatif dengan instrument penelitian berupa studi dokumentasi, wawancara
mendalam, observasi partisipan, angket. Teori yang digunakan adalah Khrisbie, Karp
dan Lavine.
Simpulan penelitian adalah pengelola
museum sudah mampu menjalin komunikasi yang baik dengan wisatawan pengunjung,
baik sebelum, saat berkunjung, dan setelah mengunjungi museum, namun belum
maksimal. Hal ini dibuktikan dari informasi terkini dalam media digital online terkait museum yang dapat
diperoleh wisatawan sebelum datang berkunjung. Tamu yang mengunjungi museum
sebagian besar adalah orang yang sudah mempelajari informasi terkait museum
terlebih dahulu, yakni 52 persen, 52 persen akan menuliskan kisah perjalanannya
mengunjungi museum, 80 persen akan mempromosikan keberadaan museum melalui
media internet, 92 persen mengenal sejarah museum yang akan dikunjungi dan
pendirinya, 60 persen akan mempromosikan kembali pada orang lain. 40 persen
akan kembali mengunjungi museum yang sama
Keywords : Komunikasi, Industri
Pariwisata, Wisata Budaya, Museum
Perkembangan jaman dalam dunia kehidupan yang
demikian pesat membuat masyarakat harus mempersiapkan diri dengan
sebaiknya. Mau tidak mau, suka tidak suka, sebagai bagian dari era
milenial, masyarakat Bali terlibat dalam situasi pariwisata 4.0.Industri
pariwisata, termasuk usaha perjalanan wisata (travel agent), akomodasi
hotel (hotelier), diminta mempersiapkan diri menghadapi perubahan dan
perkembangan pasar. Situasi ini menuntut berbagai komponen di dalam
masyarakat untuk kreatif membangun jejaring, menjalin komunikasi
harmonis satu sama lain.
Bali, termasuk museum, terlibat dalam
industri pariwisata era milenial 4.0. Pengelolaan museum tidak lagi bisa
bersifat inklusif tanpa analisis dan penerapan yang borderless dan out
of the box. Museum merupakan salah satu sarana berkomunikasi di tengah
masyarakat milenial dewasa ini yang harus dikaji manfaatnya dalam
industri pariwisata. Hal ini mendorong dilakukannya kajian terhadap
peranan komunikasi dalam industri pariwisata era milenial, terutama
terhadap keberadaan museum di Bali.
Data BPS memperlihatkan hasil
penelitian yang dilakukan BPS Indeks kebahagiaan orang Bali berdasar
data BPS tahun 2017 adalah sebesar 72,48 dari rentang 0 - 100. Terdapat 5
propinsi dengan indeks kebahagiaan sebesar 80 %. Kepala BPS Propinsi
Bali, Adi Nugroho, 2018 menyatakan, indeks kebahagiaan ini lebih tinggi
dari rerata indeks kebahagiaan nasional yang hanya 72,40. Kontribusi
masing-masing dimensi terhadap indeks kebahagiaan tersebut meliputi
kepusasan hidup 34.80 persen, perasaan 31,18 persen dan makna hidup
34,02 persen.Hal ini memberi gambaran bahwa masyarakat Bali mampu
menjalin komunikasi dalam menyalurkan harapan, keinginan, kemampuan
dengan berbagai pihak, sehingga kepuasan hidup tercapai.
Metode
penelitian adalah kuantitatif, menggunakan instrumen penelitian berupa
angket, wawancara, studi dokumentasi, dengan populasi pengunjung museum
di Bali.
Hasil penelitian memperlihatkan tamu yang mengunjungi
museum sebagian besar adalah orang yang sudah mempelajari informasi
terkait museum terlebih dahulu, yakni 52 persen, 52 persen akan
menuliskan kisah perjalanannya mengunjungi museum, 80 persen akan
mempromosikan keberadaan museum melalui media internet, 92 persen
mengenal sejarah museum yang akan dikunjungi dan pendirinya, 60 persen
akan mempromosikan kembali pada orang lain. 40 persen akan kembali
mengunjungi museum yang sama.
Metode
penelitian adalah kuantitatif, menggunakan instrumen penelitian berupa
angket, wawancara, studi dokumentasi, dengan populasi pengunjung museum
di Bali.
Hasil penelitian memperlihatkan tamu yang mengunjungi
museum sebagian besar adalah orang yang sudah mempelajari informasi
terkait museum terlebih dahulu, yakni 52 persen, 52 persen akan
menuliskan kisah perjalanannya mengunjungi museum, 80 persen akan
mempromosikan keberadaan museum melalui media internet, 92 persen
mengenal sejarah museum yang akan dikunjungi dan pendirinya, 60 persen
akan mempromosikan kembali pada orang lain. 40 persen akan kembali
mengunjungi museum yang sama.
Teori yang digunakan
Ivan Karp
dan Stephen Lavine dalam buku Exhibiting Cultures menyatakan bahwa agar
pendidikan multikultural efektif, museum harus mengubah paradigma dari
“museum sebagai bangunan suci (temple) ke museum sebagai forum” (Karp
and Lavine 1991 dalam Donley, 1993: 10).
Fungsi museum tidak hanya
memamerkan benda-benda koleksinya, tetapi memberikan informasi tentang
objek tersebut. Berikut beberapa strategi yang perlu dilakukan oleh
museum dalam konteks pendidikan multikulturalisme :
1. Menginterpretasikan perbedaan budaya berdasarkan persamaannya
2. Membuat hubungan dan perbandingan lintas budaya (Cross Cultural Connections and Comparisons)
3. Menyeimbangkan konteks
4. Menyeimbangkan antara konteks (Ecological) dan komparasi (Cross-cultural) dalam Pameran
5. masyarakat pemilik budaya dalam pameran
Khrisbie
(2012) menjelaskan fungsi museum / galeri meliputi : Museum menurut
harus mampu melaksanakan fungsi sebagai lembaga pelestari budaya, baik
tangible maupun intangible. Museum juga harus mampu bersifat sebagai
pusat pembelajaran, meningkatkan kreativitas masyarakat yang terlibat,
baik dalam hal belajar maupun menciptakan beragam produk seni. Museum
harus mampu membuka diri terhadap kritikan dan saran demi perbaikan
kualitas layanan bagi para wisatawan pengunjung. Museum bersikap sebagai
pusat kegiatan, fasilitator bagi terciptanya kerjasama antar lembaga
kebudayaan, bertemunya para penikmat seni, penjual dan pembeli, pencipta
berbagai karya seni. Museum senantiasa belajar meningkatkan kualitas
diri, terkait dengan beragam informasi dan teknologi terkini.
Hasil
penelitian Putra (2016) menunjukkan bahwa potensi museum dapat
dianalisis melalui komponen 6A : Atraksi, Akses, Fasilitas pendukung,
Aktivitas, Ketersediaan paket wisata, dan Kelembagaan. Kendala yang
dihadapi dalam pengembangan museum yakni, keterbatasan sumber daya
manusia, kurangnya shopping center, promosi dan kerjasama, serta
pelibatan masyarakat lokal. Strategi SO yakni dengan bekerjasama dengan
pihak media, berpartisipasi dalam event budaya, pengembangan promosi
melalui media sosial, Strategi WO dengan cara melakukan pembuatan
alternatif wisata, penguatan branding museum, serta pelatihan bahasa
Inggris untuk staf museum. Strategi ST dilakukan dengan penataan kawasan
museum, peningkatan produk pameran, pengembangan paket wisata baru.
Strategi WT dapat dilakukan dengan kerjasama dengan Biro Perjalanan
Wisata, pengajuan CSR, dan pembinaan pramuwisata.
Sampai
akhir perang dunia II, terdapat 30 museum di seluruh Indonesia. Kini
terdapat 200 an museum di seluruh Indonesia, dengan 99 buah terdapat di
Bali yang berperan dalam menggerakkan roda budaya Bali itu sendiri.
Tokoh budayawan Ida Bagus Putra menjelaskan (Juli 2019), bahwa
Ekslusivitas tidak bisa terjadi di dalam era kekinian, terutama era
digital 4.0. Dan masyarakat Bali memiliki indeks bahagia lebih tinggi
karena juga didukung oleh lingkungan budaya yang saling peduli, budaya
yang berlangsung turun termurun sebagai akses mengekspresikan jiwa dan
semangat di dalam dirinya.
International Council of Museum
menjelaskan definisi museum adalah institusi atau lembaga pemanen yang
melayani kepentingan masyarakat dan kemajuannya, terbuka untuk umum,
tidak bertujuan untuk mencari keuntungan, dengan cara mengumpulkan
(collect), memelihara (conserve), meneliti (research), memamerkan
(publicate), benda nyata material manusia dan lingkungannya, untuk
tujuan studi, pendidikan dan rekreasi.
Sejarah museum di
Indonesia terbagi menjadi tiga, yakni jaman penjajahan Belanda, Jaman
Inggris, dan jaman setelah kemerdekaan. 14 April 1778 merupakan tonggak
bersejarah berdirinya museum pertama kali di Indonesia, yakni Bataviaas
Genootschap von Kusten en Westenschappen, yang berarti Perkumpulan
Batavia untuk memajukan ilmu pengetahuan dan budaya. Museum ini memiliki
visi dan misi Ten nutten van het gemmen yang berarti berisi berbagai
buku dan juga benda bersejarah terkait ilmu pengetahuan, ilmu budaya dan
ilmu bangsa-bangsa. Para pasukan tentara Belanda diminta mengumpulkan
berbagai buku dan juga benda dari berbagai daerah tanah jajahannya. Pada
tahun 1915, berdiri Museum Bali di Denpasar. Pada tahun 1930, Striching
end Bataviaasch (Perkumpulan Belanda Kuno) mendirikan End Batavia
Museum (Museum Belanda Kuno) di Jakarta. Tahun 1935 berdiri Museum Sono
Budoyo di Yogya.
Terdapat 99 museum yang ada di Bali, tersebar di
tujuh kabupaten dan kota. Diantaranya, Museum Bali, Museum Neka, Museum
Arma, Museum Antonio Blanco, Rumah Topeng dan Wayang Setia Dharma,
Museum Puri Lukisan, Museum Subak, Museum Rudana, Museum Gedong Arca,
Museum Pendet,
Wisatawan yang menjadi responden penelitian ini
berjumlah 25 orang. Wawancara mendalam dilakukan setelah wisatawan
mengunjungi dan menikmati museum. Uraian paparan data responden
penelitian sebagaimana tercantum di bawah ini.
Data penelitian
memperlihatkan bahwa terdapat 10 orang atau 40 % responden pria dan 15
orang atau 60 % responden wanita. Lima orang berpendidikan Doktor, tiga
orang Magister, tujuh orang sarjana, sepuluh orang tamatan SMA, dan
tujuh orang SMP. Lima orang berkebangsaan Australia, dan 20 orang dari
Indonesia, yang terbagi menjadi 11 orang dari Jakarta, tujuh orang Bali,
dan dua orang dari Kalimantan.
Enam orang mengemukakan sudah
berkunjung ke museum di Bali lebih dari lima kali, 15 orang mengatakan
baru pertama kali mengunjungi museum, dan tiga orang sudah berkunjung
lebih dari satu kali, satu orang sudah berkunjung lebih dari tiga kali
namun kurang dari lima kali. Tiga orang berkunjung karena ajakan teman
atau anggota keluarga, 13 orang (52%) karena mencari data di internet,
dan sembilan orang karena promosi dari hotel atau agen perjalanan.
15
orang dari mereka (60 %) akan mempromosikan kembali pada orang lain. 10
orang (40 %) akan kembali mengunjungi museum yang sama, dan 13 orang
(52 %) akan menuliskan kisah perjalanan mereka ke museum melalui
berbagai bentuk tulisan atau karya, 11 orang mengeluhkan akses menuju
museum yang terkendala macet dan minimnya informasi terkait keberadaan
museum, 23 orang (92 %) mengenal Museum dan pendirinya, namun kurang
mengenal tentang adanya fasilitas lain selain tempat mendalami seni, 20
orang (80 %) akan menulis hasil kunjungan museum melalui media sosial
yang mereka punya, 17 orang yang sudah melacak dan menelusuri informasi
tentang museum sebelum mereka mengunjunginya. Lima orang (20 %)
menyatakan sangat puas atas kunjungan ke museum, 12 orang (48 %)
menyatakan puas, lima orang (20 %) menyatakan cukup puas, dan hanya 3
(12 %) orang menyatakan kurang puas dengan alasan koleksi museum dan
penampilan yang kurang menarik serta tidak adanya akses informasi yang
memudahkan wisatawan dalam memahami.
Simpulan
Hasil
penelitian membuktikan bahwa wisatawan mendapatkan kepuasan terhadap
industri pariwisata di Bali, khususnya destinasi wisata museum. Museum
merupakan salah satu sarana berkomunikasi di tengah masyarakat milenial
dewasa ini. Tamu yang mengunjungi museum sebagian besar adalah orang
yang sudah mempelajari informasi terkait museum terlebih dahulu (well
educated), yakni 52 persen, 52 persen akan menuliskan kisah
perjalanannya mengunjungi museum, 80 persen akan mempromosikan
keberadaan museum melalui media internet, 92 persen mengenal sejarah
museum yang akan dikunjungi dan pendirinya, 60 persen akan mempromosikan
kembali pada orang lain. 40 persen akan kembali mengunjungi museum yang
sama.
Saran
Museum sangat potensial menjadi tempat
penyelenggaraan kegiatan yang tidak hanya berkait dengan seni, namun
juga ilmu pengetahuan dan sosial budaya. Penyelenggaraan kegiatan yang
lebih terkait dengan digitalisasi akan sangat menarik minat masyarakat,
promosi yang menarik, dan segi perawatan yang kurang maksimal untuk
gedung museum dan fasilitas yang ada di dalamnya, termasuk perawatan
benda bersejarah yang terdapat di dalam museum.
Pihak pengelola
museum sebaiknya tidak berdiri sendiri, namun bekerjasama dengan
berbagai pihak lain, bahkan secara global. Hal ini baik untuk tujuan
menjalin kerjasama, mempromosikan, maupun mengembangkan kinerja museum
dalam era industri pariwisata 4.0
Daftar Pustaka :
Baudrillard, Jean P. 2012. Masyarakat Konsumsi. Jogjakarta: Romantika.
Buku I Rencana Kerja Pemerintah 2012, Matriks Prioritas Nasional.
Khrisbie, Bayu Genia. 2012. Diskusi Kelas Entar Malem. Bandung: Kafe Gerilya
Putra, AAN Sedana. 2016. Strategi Pengembangan Museum Bali sebagai Daya Tarik Kota Denpasar. UNUD: Tesis Program Magister Pariwisata.
Susanto, Mikke. 2011. Wacana Khatulistiwa: Bunga Rampai Kuratorial Galeri Nasional Indonesia, Dirjen Nilai Budaya, Seni Film, Jakarta.
Buku I Rencana Kerja Pemerintah 2012, Matriks Prioritas Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar