Kamis, 24 Desember 2009
Bersama Mangku Danu, di suatu hari.....
Hari indah buat memulai sebuah perjalanan di hari libur. Setelah selesaikan seluruh urusan RT, bergerak untuk berkumpul bersama teman-teman setelah janji mengadakan perjalanan spiritual lain lagi. Setelah dapatkan kesempatan berjumpa Pak Deepak, Pak Donny Harimurti, kali ini, berjumpa untuk pertama kali dengan Mangku Danu.
Hmmm, menurutku, tidak setiap orang mendapatkan kesempatan yang sama dalam memaknai kedalaman kehidupan beragama melalui perjalanan spiritual mereka masing-masing. Tak berani kubayangkan di awal perjumpaan, apa saja yang bakal terjadi kali ini. Heboh? Ato, apa? Bahkan, saat tiba di rumah keluarga Pak Nyoman Suma dan berjumpa Komang Suarthana, kusadari antengku tertinggal. Whaa, awal yang jelek. Bahkan, kami harus berpusing ria temukan alamat yang diberikan Mangku Danu, Jl. Kori Agung, Sading, Sempidi. Ah. Untunglah, akhirnya rombongan kami temui rombongan Mangku Danu. Hanya sempat bersalaman sejenak, lalu mobil kembali bergerak.
Mobil rombongan bergerak meretas jalan. Dua Kijang abu-abu, satu Yaris putih berjalan beriringan. Tujuan pertama, Pura Puncak Penulisan. Pura Puncak Penulisan terletak 1745 dari permukaan laut kira-kira 3 Km dari Kintamani atau 30 Km dari ibukota Bangli, di sebelah timur bagian atas dari jalan Denpasar – singaraja. Pura Pucak Panulisan di Desa Sukawana, Kintamani, Bangli, memang kerap disinggahi orang-orang. Tak sebatas orang Bali, juga tetamu asing yang berkunjung ke Bali.
Tempat suci berjarak kira-kira 70 km dari Denpasar ini memiliki banyak sebutan. Ada menamakan Pura Panarajon, ada pula menamai Pura Tegeh Koripan. Karena letaknya di Bukit Panulisan, orang-orang pun kebanyakan menyebut Pura Pucak Panulisan.
Tiba di ajeng pura, seluruh rombongan turun dari mobil, berkumpul dan berkenalan. Rombongan kami bertambah dengan satu mobil karimun abu-abu, sahabat Mbok Gek Putu Artati. Ah, dunia ternyata sungguh kecil. Putu Artati yang juga member HD net, cantik, manis dan sangat ramah adalah keluarga dari istri pak Wayan Suasthana, yang juga member HD net. Ada pula anggota rombongan yang berasal dari Banjarangkan, Klungkung, asal suamiku. Hmmm. Mengenal Mangku Danu lebih jauh, sosok yang sangat biasa... tidak seperti Afghan, idola remaja kini, atau Nicholas Cage, idolaku. Namun tatap mata yang teguh kukuh, dan tutur kata yg manis menghibur, membuat hati menjadi damai...
Kami menapaki jalan menanjak menuju Pura Pucak Penulisan, ku persiapkan banten pejati yang kubawa, lalu mulai bersila di belakang rombongan. Ya, bersila, karena posisi ini membuatku merasa nyaman untuk berkontemplasi dengan Tuhan. Aku tidak dapat menahan isi hati yg berbunga, ber bangga, tatkala Mangku Danu mengatakan bahwa ada energi yang besar, bagai memiliki link kuat antara diriku dengan Beliau yang bersthana di Pura Pucak Penulisan. Hhhmmm, sombong sekaleee. Padahal, sejauh ingatanku, pura ini pernah kukunjungi hanya sekali seumur hidup. Itu pun waktu kumasih teramat kecil.
Hari beranjak siang, selesai memanjatkan doa di sini, rombongan kembali bergerak. Kali ini menuju Pura Dalem Balingkang. REDITE Umanis Warigadian adalah saat upacara piodalan di Pura Dalem Balingkang, Desa Pinggan, Kintamani, Bangli. Lokasinya, dari Denpasar mengikuti jalur Denpasar-Singaraja lewat Kintamani, dan di Pura Pucak Panulisan menuju arah timur laut kira-kira 15-20 km. Tempatnya sangat unik dikelilingi Sungai Melilit, yang dianggap sebagai benteng utama menuju ke Kerajaan Balingkang.
Tiba disini, kami sudah ditunggu oleh Mangku Pura Saraswati. Hmm, sungguh unik Pura ini. Pada Pelinggih Beliau, terdapat dua batang pohon menyembul keluar. Bahkan, para penglingsir dan penyungsung pura menggambarkan usia ratusan tahun bagi usia pohon dan pura. Hmm, sungguh kebesaran Tuhan terlihat di sini...
http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2006/11/5/jak1.html
kiriman dari Putra semarapura, menjelaskan bahwa ihwal Pura Dalem Balingkang ini dijelaskan dalam Prasasti Sukawana (Goris, 1954) disebut, Desa Sukawana diserang hujan badai dan Keraton Jaya Pangus hancur, sehingga jong les pindah ke Balingkang. Keberadaan Pura Dalem Balingkang (PDB) sebagai pura maupun sebagai Keraton Raja Bali Kuna tercatat pula dalam "Pengeling-eling Desa Les-Penuktukan, Tejakula, Buleleng" yang dikeluarkan oleh Raja Jaya Kasunu sekitar abad ke-11. Ia tercatat sebagai leluhur Raja Jaya Pangus Harkajalancana.
Masyarakat Bali dewasa ini terbagi menjadi dua kelompok utama -- Bali Mula (Aga) dan Bali Majapahit. Prof. Dr. I Gusti Bagus (alm.) dalam tulisannya "Kebudayaan Bali" (1979) menyebut, masyarakat Bali Mula mendiami daerah pegunungan di Bali, sedangkan Bali Majapahit mendiami daerah dataran. Bahasanya pun berbeda, disebut "omong negari" dan "omong pojol" oleh masyarakat Bali Mula.
Dalam konteks PDB, nama balingkang berasal dari kata "bali + ing kang". Secara tuturan dan bukti tertulis, ini dikaitkan dengan pernikahan Raja Jaya Pangus Harkajalancana yang memerintah pada tahun saka 1103-1191 atau 1181-1269 Masehi. Raja Jaya Pangus punya dua permaisuri, Paduka Bhatari Sri Parameswari Indujaketana dan Paduka Sri Mahadewi Cacangkaja Cihna -- (Cihna-Cina). Dalam cerita rakyat yang berkembang disebut, istri Cinanya bernama Kang Ci Wi, putri Tuan Subandar pedagang dari Cina. Maka digabunglah Bali-Ing-Kang jadi Balingkang.
Masyarakat Bali Kuna di sekitar Danau dan Gunung Batur tercatat amat sulit ditundukkan oleh Raja Sri Kresna Kepakisan yang ditempatkan oleh Maha Patih Gajah Mada. Sampai dewasa ini, mereka amat sulit terpengaruh oleh budaya Hindu Majapahit. Sampai tahun 2006 ini, Pura Pucak Panarajon belum mau menggunakan Ida Pedanda sebagai Sang Trini-nya, tetap menggunakan Jro Mangku dan Jro Kebayan dengan upacara podgala atau mewinten pang solas.
Masyarakat Bali Mula di sekitar Danau Batur menyebut dirinya dengan Gebog Domas (Kelompok Delapan Ratus). Kelompok ini dibagi jadi empat bagian Gebog Satak (Dua Ratus) Sukawana, Kintamani, Selulung dan Bantang. Kelompok ini memiliki Tri Kahyangan yakni
(1) Pura Pucak Panarajon sebagai pusatnya terletak di Sukawana, Kintamani, dengan tiga tingkatan pura yang disebut Gunung Kahuripan. Tingkatannya, Pura Panarajon (Ida Bhatara Siwa Sakti), Pucak Panulisan (sejajar dengan pusat pemerintahan -- dulu sebagai keraton Raja Jaya Pangus), dan Pucak Wangun Hurip (simbol membangun kehidupan.
(2) Pura Bale Agung di Sukawana dengan Ida Bhatara Ratu Sakti Kentel Gumi, setara dengan Bhatara Brahma,
(3) Pura Pusering Jagat -- Pura Puseh Panjingan di Desa Les-Penuktukan, Tejakula, Buleleng, berstana Ida Ratu Sakti Pusering Jagat setara dengan Bhatara Wisnu, dan
(4) Pura Dalem Balingkang berstana Ida Dalem Kepogan (Dalem Balingkang) setara dengan Dewa Siwa.
Kelompok Satak Sukawana terdiri atas beberapa desa di Kecamatan Kintamani dan Tejakula, Buleleng. Sebagai ikatan yang padu, Desa Pinggan ditugaskan oleh Sukawana sebagai kesinoman membawa surat ke kelompok Tejakula. Di Sukawana banyak ada peninggalan tanah pelaba pura, serta di Balingkang ada 175 ha. Rupanya secara diam-diam keduanya saling menguasai tanah itu.
Pada 1960, Sukawana menugaskan Pinggan mengirim surat ke kelompok Buleleng Timur. Surat itu "disembunyikan" sehingga semua warga Buleleng tak tahu ada upacara di Panarajon. Ini berlangsung sampai 1963, sehingga pada 1964 Sukawana malu menugaskan Pinggan. Akhirnya, kelompok pemuja PDB pada 1964 yakni Pinggan, Siakin, Tembok, Gretek Sambirenteng, Les-Penuktukan menyatakan keluar dari kelompok Sukawana dan membuat kelompok baru bernama Gebog Satak Balingkang.
Lalu, sejak 1964 kelompok pemuja Pura Pucak Bukit Indra Kila, Desa Dausa, Kintamani juga melepaskan diri dari Pura Panarajon.
PDB yang dipuja kelompok Gebog Satak Balingkang, juga dipuja oleh warga masyarakat di sekitar Desa Petak, Gianyar. Ini terjadi karena ada hubungan historis dengan keluarga Puri Petak Gianyar. Secara faktual, di utama mandala bagian sisi selatan ada kompleks bangunan pura lengkap dengan sanggar agung, meru 11 (tingkat 11), sebagai pemujaan Ida Dalem Klungkung (Raja Klungkung) dan meru 9 (tingkat 9) sebagai pemujaan pada Ida Dalem Bangli (Raja Bangli).
Berikutnya, selesai seluruh rangkaian persembahyangan di Pura Dalem Balingkang, rombongan di ajak menikmati suguhan hidangan kopi, nangka, nangka goreng, di rumah sang mangku. Masih terletak di Desa Pinggan pula. Ah. per lambang keramahan yang sungguh kami nikmati.
Selanjutnya, kami mendapatkan bentuk berkah lain. Jamuan makanan berlimpah di rumah sang Mangku Danu, persis di sebelah kantor Puskesmas IV di Kintamani. Hamparan sayur mayur menyambut kami, sejauh mata memandang. Dari sayur kol, tomat, terong Belanda, cabe besar, bayam, daun bawang dan seladri. Bahkan, di kejauhan, untaian keramba berisi mujair menari-nari memanggil mendekat ke danau Batur.
Ah. Tak sanggup kutolak se piring penuh nasi anget berlauk muncuk sayur jipang, ikan mujair berbumbu bali, kacang goreng. Hmm, aku sanggup tinggal abadi disini...
Hari jelang malam, tatkala kami kembali bergerak melanjutkan perjalanan tirta yatra kali ini... Mangku Sadeg, klian adat Desa Kintamani, bergabung bersama kami, menuju Pura Hulun Danu Batur Desa Songan. Rangkaian Upacara Danu Kerti yang masih berlanjut menyambut mesra dalam hangat malam yang memeluk hadirnya kami di tengah ribuan umat hadir tiada henti. Hmm, Entah apa yang merasuki kerinduan hati, malas beranjak dari hadapan Tuhan di Pura ini.
Menurut Songan.org, Pura Ulundanu Batur Songan terletak di Desa Songan, Kintamani, Bangli, sekitar 90 Km dari Denpasar. Pura terletak di timur laut Danau Batur yang merupakan danau terbesar di Bali. Pura ini juga berada persis di kaki perbukitan yang bernama Bubung Tegeh yang berderet sampai Gunung Abang. Sehingga pura ini memang seperti berada di tengah-tengah deretan gunung yang melingkari Danau Batur. Pura ini dipercaya sebagai stana Dewi Danuh, yang menjadi dewi bagi seluruh sumber air di Bali. Sehingga Subak, organisasi pengelola air di Bali, biasanya mengadakan persembahan pada setiap upacara di pura ini. Jadi, di pura ini, masyarakat Bali memohon kemakmuran sehingga hasil panen mereka berlimpah ruah.
Tidak ada yang dapat memastikan kapan pura ini dibangun pertamakalinya. Tetapi kisah Shri Aji Jayapangus yang menjadi Raja di Balingkang sekitar abad ke-12 Masehi bisa menjadi petunjuk tentang pembangunan pura ini. Pada zaman pemerintahannya, Jayapangus menaruh perhatian pada Danau Batur, sehingga sampai dimitologikan memperistri Dewi Danuh. Karena itu, besar kemungkinan pura ini dibangun pada masa itu. Tetapi bila dikaitkan dengan organisasi pengelolaan air yaitu Subak maka besar kemungkinan pura ini telah ada jauh sebelum abad ke-12 Masehi. Sebab Subak telah mulai dikembangkan pada zaman Rsi Markendya (pendeta India) yang datang ke Bali pada sekitar abad ke-7 Masehi. Jadi, pada abad ketujuh, pura ini mungkin masih kecil, seperti tempat pemujaan zaman-zaman purbakala. Shri Aji Jayapangus selanjutnya mengembangkan pura ini menjadi lebih besar.
Pura Hulundanu Batur di Desa ToyaBungkah, Kec. Kintamani, Kab. Bangli, adalah tujuan terakhir kami...Dinding gunung dengan rapatnya hutan menjulang di depan kami, seolah melengkapi misteri malam yang menantang, menghadang, dan mendekap. Pura yang terletak setelah obyek wisata Toyabungkah ini mengakhiri seluruh rangkaian perjalanan tirta yatra kami.
Toya Bungkah terletak di tepi sebelah Barat Danau Batur, 11 Km dari penelokan Kecamatan Kintamani. Tempat ini sangat menyegarkan dan cocok untuk memancing dan berenang. Disana juga ada air panas yang airnya berasal dari kaku Gunung Batur. Masyarakat disana percaya bahwa air ini dapat menyembuhkan segala jenis penyakit kulit. Tempat ini sudah dikenal sejal tahun 1930 terutama oleh para Ilmuwan Asing. Fasilitas yang terdapat disini antara lain, penginapan, hotel dan restoran serta aula untuk mementaskan tari-tarian tradisional maupun modern.
Waktu menunjukkan pukul setengah sebelas malam, saat kami berpisah di pelataran parkir Pura. Saling bersalaman, dan janji saling menjaga tali hubungan di antara kami. Hmm, sungguh indah karunia yang kudapat sepanjang hari ini. Semoga berkah Tuhan akan senantiasa hadir di hati tiap umat manusia di dunia....
Sabtu, 19 Desember 2009
Love Barb, Jadoel tapi everlasting memories akan selalu memotivasi
Contohnya lagu ini, lumayan memotivasi. Jadi inget bahwa kasih Tuhan bagai kasih ibu pertiwi, slalu memberi tanpa harap kembali. Harusnya, seperti ini lah cinta, sudah cukup bagi cinta itu sendiri...
Barbra Streissand : Woman in Love
Life is a moment in space,
when the dream is gone
its a lonelier space
I kiss the morning goodbye
but down inside you know
we never know why
The road is narrow and long
when eyes meet eyes
and the feeling is strong
I turn away from the wall
I stumble and fall
but I give you it all
Chorus:
I am a woman in love
and I do anything,
to get you into my world,
and hold you within
It's a right, I defend,
over and over again, what do I do
With you eternally mine
in love there is
no measure of time
We planned it all at the start
that you and I
would live in each others hearts
We maybe oceans away
you feel my love
I hear what you say
no truth is ever a lies
I stumble and fall
but I give you it all
repeat chorus..
I am a woman in love
and I am talking to you
do you know how it feels
what a woman can do
it is a right
that I defend over and over again
Kamis, 17 Desember 2009
Mereka Menantiku
Tiba di rumah pukul 6 sore dengan badan letih setelah seharian melaksanakan tugas kantor. Anak-anak tetangga telah berkumpul dengan manis di depan rumahku. "Ibu, kita sembahyang bersama lagi, ya?" Demikian sapaan mereka. Ah, tidak tega kukecewakan mereka yang punya niat dan semangat tinggi ini. Bergegas membasuh diri dan bersalin agar cukup pantas menghadap Sang Hyang Widhi, lalu aku keluar bersama putra bungsuku yang kelas 2 SD dengan membawa canang di atas baki. Diiringi oleh para bocah kecil ini, kami berjalan menuju Pelinggih Pesimpangan Ida Ratu Gede di bagian Timur Perumahan. Disana, kulihat Ibu Jero bersama Gek Ayu, anaknya, sedang menghaturkan sembah. Ku letakkan canang buatanku di atas pelinggih, menangkupkan tangan dan mulai menguntai doa memohon kesejahteraan bagi kami semua. Hujan mulai jatuh satu-satu basahi kepala, kian lama kian deras. Kutawarkan pada anak-anak ini untuk kembali ke rumah masing-masing, tapi mereka enggan. Semangat kebersamaan dan keinginan bersembahyang dalam diri mereka begitu kuat mendera. Jadi, kami mulai berjalan bergerak ke arah Pura yang terletak di bagian Utara (tepatnya, Timur Laut / Kaja Kangin) Perumahan.
Hmmm, bahkan, mereka yang masih bocah dan belum ternoda banyak godaan dunia ini, memiliki hasrat tinggi memuliakan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan jiwa dan semangat kekanakan mereka. Aku masih harus banyak belajar dari mereka.
Bahkan, mangku Danu menjelaskan bahwa Bhagavadgῑtā (VII.16-17) memberikan uraian mengenai tipologi empat jenis orang yang berusaha mendekatkan diri pada Tuhan,
berbhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa, mereka itu adalah: orang yang sengsara,
yang mengejar kekayaan, yang mengejar ilmu pengetahuan dan orang yang berbudhi
luhur. Di antara ke empat macam orang tersebut, maka orang yang berbudhi luhur
dinyatakan yang paling mulia. Mengapa demikian, orang yang berbudhi pekerti
luhur sepenuhnya menyerahkan diri kepada-Nya. Penyerahan diri secara total
kepada-Nya disebut prapatti, demikianlah bhakti-prapatti mengandung makna
bhakti yang murni, sebab mereka telah merasakan dalam kebhaktiannya itu, ia
berada dalam lindungan-Nya. Bila kita bhakti dan menyerahkan diri sepenuh hati,
maka Tuhan Yang Maha Esa hadir di hadapan kita.
Dari uraian tersebut di atas, kita menjumpai
dua jenis atau bentuk bhakti, yaitu para bhakti dan apara bhakti. Para bhakti
mempunyai makna yang sama dengan prapatti, yakni penyerahan diri secara total
kepada-Nya sedang apara bhakti adalah bhakti dengan berbagai permohonan dan
permohonan yang dipandang wajar adalah mohon keselamatan atau mohon
berkembang-mekarnya budhi nurani.
Dan...
Bocah kecil ini telah mengajarkan padaku, memperlihatkan padaku, membuka mata hatiku, bhakti mereka pada Beliau, sungguh murni, terwujud dalam kasih gaya kanak-kanak mereka, dalam gaya kesahajaan mereka, dalam tingkah polah mereka, berlari kian kemari, namun, tetap mengarah pada Hyang Widhi. Tidak goyah karena hujan deras yang semakin mendera mereka, sekalipun dengan gaya senang berhujan yang mereka miliki.
Ah, seandainya, semakin banyak orang yang mau belajar dari mereka ini. Mereka hanyalah bocah, namun mereka mengajarkan banyak hal yang sering terlupakan... Yakin deh, gak bakal banyak konflik dan perpecahan di muka bumi ini, karena yg bakal tercipta hanya jiwa-jiwa polos dan akal budi berdasar hati nurani suci sebagai bentuk yadnya, pada Hyang Widhi, pada sesama, dan pada lingkungannya.
Muridku Ujian Teori Mulai Hari Ini
Hujan deras sejak malam hari, disertai petir menyambar...
Putra sulungku yang kini kelas 3 SMP berangkat ke sekolahnya dengan mengenakan jas hujan. Hmm, musim hujan telah dimulai bulan Agustus, namun, cuaca sering kali tak menentu. Panas hawa mendera kami berkepanjangan. Tapi tatkala tiba hujan yang menjanjikan udara lebih sejuk segar, aku tetap waswas...
Suami tercinta telah selesaikan urusan pagi harinya, merapikan tanaman dan buku yang tuntas dibaca saat malam hari, sebelum beranjak ke kampusnya. Kuantar putra bungsu ke SD nya dengan kenakan jas hujan, lalu menyusuri jalan menuju Nusa Dua. STPNDB, I'm coming... Gayatri mantram kulantunkan sepanjang jalan, sesekali menyeka wajah karena terpaan air hujan yang masuk dari sela helm motor, dan... mobil-mobil yang ngebut ditengah hujan telah dengan suksesnya berikan cipratan air yang basahi celana panjang yang kukenakan.
Pukul delapan pagi tiba di kampus, masih cukup waktu berganti pakaian, mengambil soal ujian di Gedung Rektorat, dan, berjalan menuju Gedung Padma. Hmm... aku harus melewati dua block Gedung Ratna, melewati Gedung Perpustakaan, dua block lagi Gedung Lontar, dan, akhirnya tiba di block Gedung Padma. Hujan yang masih turun telah sukses membasahi bajuku dan amplop besar yang berisi puluhan soal dan lembar jawaban. Kusadari, ternyata aku tidak punya payung...
Naik ke lantai dua di Gedung Padma block A. Kali pertama ini, aku bertugas menjaga Program Diploma IV, Program Studi Administrasi Perhotelan, Kelas C semester 3, di ruang PA 203. Masuk ke kelas dan mulai membagikan lembar soal, kulihat Agus, mahasiswaku, bajunya penuh lumpur, juga celananya. Sepatunya robek, tasnya basah dan berisi noda lumpur. "Saya jatuh, bu. Jalanan licin". Demikian ujarnya. Ada tanda goresan di sikunya. Dan... ah, telapak tangan kirinya berdarah. Kubayangkan, jika anak-anakku terluka, hmmm.. tidak tega rasanya.. Kucoba hubungi ruang Ekstensi untuk bertanya, jika mereka miliki obat bagi luka Agus. Sayangnya jawaban yg kuterima tidak sesuai harapku.
Setelah berpikir sejenak, aku beranjak ke ruang sebelah, menemui dosen pengawas. Kulihat Bu Lasmini disana. Kutitip padanya untuk se sekali mengawasi kelasku pula, lalu bergegas ke kantin. Ah, jarak yang berjauhan ini, cukup merepotkanku. Berlari menuruni anak tangga, berjalan menyusuri jalur setapak, menuju kantin. Tiba di kantin, kuambil satu minyak sumbawa dan satu payung baru, dengan janji akan kubayar siang hari selesai mengawasi ujian pada penunggunya, aku bergegas kembali ke kelas. Agus, muridku, mengatakan, mungkin dia akan mengobati lukanya setelah ujian berakhir, agar tangannya tidak terkena minyak karena akan mengakibatkan lembar jawabannya terkena minyak pula. Hmm, akan terlalu terlambat. Lukanya bakal menjadi biru lebam, dan pembuluh darah kadung beku. Kutarik lengannya, kugosok dg obt minyak sumbawa. Beres, selesai sudah. Lalu aku mulai berkeliling, melanjutkan tugasku mengawasi kelas.
Pintu kelas terbuka, dan masuklah Pak Jata. Dosen sahabatku ini bertugas sebagai pejabat di bidang akademik. Ada beberapa murid kami yang pagi itu alami kecelakaan juga. Kuberikan minyak sumbawa yang baru kubeli tanpa sempat kubayar pada Pak Jata, lalu dia beranjak menuju Gedung Padma block B, memberikan obat tersebut bagi seorang mahasiswi Program Studi Business Hospitality semester satu yang alami kecelakaan karena jalan licin akibat hujan.
Ah...
Rabu tanggal 16 Desember 2009 adalah hari pertama ujian teori dilaksanakan. Minggu lalu mereka telah selesai dengan ujian praktek. Baik Praktek memasak di dapur, menghidangkan makanan di restoran, di Manajemen Divisi Kamar dengan making up room, florist, moping the floor, spa, handling reservation, dan, bermacam ujian praktek lain. Semoga mereka sukses lalui ujian ini hingga selesai, tanggal 23 Desember nanti. Karena, jika mereka gagal, alamat tertunda pula keberhasilan yang harus mereka raih dalam menamatkan pendidikan mereka segera.
Dalam Gelap Malam Bertabur Bintang 14 Desember 2009
Pukul 16.30 tiba dari Besakih, sehabis lakukan Pengabdian Masyarakat bersama rombongan dosen MAP STPNDB, aku tiba di rumah. Bermain sejenak bersama anak-anakku, lalu HP nokia bekasku berbunyi. Sebuah pesan singkat masuk. "Bu, kami ingin nangkil ke Pura Tanah Kilap ntar malam. Ibu bisa kan ikutan sembahyang? gak ada ibu gak seru. Ada yg ingin kami perbincangkan" Demikian bunyi pesan yang dikirimkan oleh Desak.
Hmmm. Jika topik bahasan mengenai spiritual dan sembahyang, selalu ada getar yang seolah tiada henti menyapa mesra hati ini. Apalagi jika ada permintaan dari mereka yg sedang alami galau hati, gak tega rasanya menolak atau mengecewakan hati mereka. Segera kukirim pesan bagi Nyoman, sahabat lain yang juga senang temui dunia spiritual seperti ini, mengajaknya ikut sembahyang dan membantu memberi solusi bagi para remaja yg sedang galau hati. Lalu kami berjanji berjumpa pukul tujuh malam di Pura Tanah Kilap.
Menyusuri jalan sunset road menuju Pura ini, kusadari area ini mendapat giliran listrik mati. Hmm, suatu cobaan dan tantangan lain, bersembahyang dalam keadaan gelap gulita. Namun, misi tidak boleh berlalu, the show must go on. Dan, pukul tujuh tepat tiba di depan Pura. Setelah setengah jam kulewatkan bersama Jero Mangku Sadia, baru Nyoman tiba. Lolak, demikian panggilannya. Kali ini dia tiba tanpa anak dan istri yang sering menemaninya dalam perjalanan bersembahyang bersama. Sedangkan, Desak Widya dan Kadek Adi Suryanegara masih tuntaskan persembahyangan mereka di Pura Narmada, sebelum akhirnya bergabung dengan kami 30 menit kemudian.
Bersembahyang bersama di Pura Anyar Tanah Kilap, tempat berstana Ida Ratu Niyang Shakti, Bethari Lingsir, dalam temaram sinar bintang di angkasa, dilanjutkan dengan diskusi berkepanjangan tentang aspek kehidupan, memberikan nuansa spiritual yang kental. Tidak ada perasaan takut bersembahyang bersama dan duduk dalam gelap. Hanya ada pasrah dan kedekatan dengan Sang Hyang Widhi, mencoba memahami, bahwa diri ini bukanlah apa-apa, bukan siapa-siapa. Setiap orang miliki karma masing-masing, tidak cuma diriku dan keluargaku, bukan cuma Nyoman, tak hanya Desak dan Kadek, bahkan, setiap orang di muka persada ini. Kita hadapi perjuangan kita masing-masing, miliki problema dan tantangan kehidupan di alam dunia ini.
Dalam diam doaku, dalam gelap malam yang temani sembahyangku, dalam kesunyian yang melingkupi kami saat itu, dalam kepasrahan yang kami tunjukkan, dalam diskusi berkepanjangan, bahkan ternyata, kita hanya setitik debu, yang coba tentukan arah langkah dan jejak kaki....
Minggu, 06 Desember 2009
Akhirnya, jejak langkahku tiba disini....
Saniscara Kajeng Paing Merangkih...
Setelah browse data tentang Om Maslow yang kubutuhkan bagi penelitianku tentang Kelompok Usaha Jukung di Kawasan Pariwisata Nusa Dua selesai pukul 1 dini hari, kucoba terlelap dalam pelukan malam. Terbaringku tanpa bantal yang coba kulakoni akhir-akhir ini. Dan... derai hujan yang semakin deras bangunkan diri dari lelap. Hmmm, harus berlari menurunkan tirai bambu di teras agar tetes bulir hujan tidak mencapai perabot kursi, dan anjing kesayangan bisa tenang terlelap tanpa terkena basah hujan. lalu kucoba lanjutkan bercengkerama dengan malam. Kubutuhkan tidur ini, karena pukul 7 pagi sudah harus di By Pass IB Mantra berkumpul bersama para sahabat. Namun ternyata bahkan malam enggan bercinta denganku. Baru jelang pukul 4 pagi bisa terlelap, untuk kembali terjaga pukul 5. Hmm, harus kusyukuri, ini pun, mungkin adalah bentuk lain dari anugerah Tuhan yang diberikan Nya bagi ku...
Segera bangun dan memulai persiapan pagi hari demi keluarga tercinta, mengecek dan memastikan sekali lagi, persiapan keberangkatan anak-anak ke sekolah, keperluan suami di pagi hari, lalu kumulai dengan persiapan bagi diri sendiri.
Kuletakkan satu pejati terbungkus sokasi / besek di bagian belakang motor astrea grand 800 yang telah setia menemani di hampir sebagian besar perjalanan ku, lalu satu pejati lagi di bagian depan motorku, juga canang 25 buah. Kugantung ransel berisi kebaya, dompet, buku untuk mencatat hal-hal penting di jalan, dan beberapa makanan ringan yang mungkin berguna selama di jalan. Kukenakan pakaian kebesaran, celana panjang, jaket dan slayer di leher, tak lupa, sarung tangan, kaca mata hitam seharga 15.000 perak dan kaus kaki, serta sandal kulit satu-satunya seharga 250 ribu yang telah setia menemani selama tiga tahun ini. Hmm, bahkan, suamiku kalah heboh dg dandananku.
"Ibu, apakah kami harus mengenakan kain dan kebaya dari rumah menuju pura?" Tanya murid wanita yang ingin bergabung dengan perjalananku kali ini. Hmm, tentu kusarankan mereka mengenakan celana panjang saja. Perjalanan jauh akan lebih aman ditempuh jika mengenakan pakaian yang pantas dan bisa melindungi diri dari angin dan debu.
Rasa khawatir sempat mendera bahwa hujan deras tadi malam bakal berlanjut, namun, kuasa Hyang Widhi memperlihatkan indahnya sebuah pengharapan. Pagi mersinar cerah, mentari mengintip manja saat ku selesaikan persiapan pagi hari... Pukul 7 lewat 10 menit. Tiba ku di depan gerbang jalan By pass IB Mantra. Sudah ada tiga muridku di sana. Suzane, yang anak bu Endang, rekan dosen STPNDB yang sudah pensiun, Dian Lesmana, dan Sri Yulianti yang pernah kutangani kasus kejiwaannya secara pribadi. Mereka adalah ketiga mahasiswi cantik yang sedang menyusun skripsi di STPNDB, semester 8. Saat kulontarkan rencana untuk mengadakan perjalanan spiritual, mereka tertarik untuk bergabung. Hingga akhirnya, kami putuskan, Pura Sad Kahyangan Andakasa adalah tujuan perjalanan kami hari ini, Sabtu, 5 Desember 2009. Hmm, siapa bilang, wanita adalah mahluk lemah dan cengeng belaka? Siapa bilang, mahasiswi STPNDB hanya bisa dugem dan tidak bisa tunjukkan prestasi? Kali ini kami buktikan, bahwa, narsis sekalipun, sembahyang tidak bakal kami tinggalkan, menyusun skripsi, sedang bekerja pun, sudah berkeluarga sekalipun, tidak berarti, lantas tidak bisa luangkan waktu untuk menikmati pemandangan dan bertirta yatra, bahkan, walau kami hanya mampu gunakan motor untuk berjalan melaju, susuri jalan ini, merengkuh jejak kaki ke haribaan Tuhan Yang Maha Kuasa....
30 menit kemudian, pak Nyoman tiba bersama keluarganya. Mereka turun dari mobil swift ungu metalik, saling menyapa, dan mereka menyayangi bahwa kami tidak bisa bergabung dengan mereka di dalam mobilnya. Dengan tulus, kukatakan, bahwa, tidak bermasalah dengan kendaraan yang berbeda. Sejauh niat kita sama, mencapai Beliau, tidak peduli apakah kita berangkat sendiri atau bersama, apa yang mampu kita persembahkan atau kita bawa, Beliau akan dengan sukacita menerima kehadiran kita. Berkali ku yakinkan pada mereka, bahwa para wanita yang berkendara motor ini adalah para pejuang spiritual yang sudah terbiasa menempuh jarak jauh dalam mengembangkan jati diri. Akhirnya, hanya banten yang ada di motor kami masing-masing, yang kami pindahkan ke mobil pak Nyoman.
Setelah memastikan bahwa beberapa sahabat lain tidak bisa ikut bergabung dalam perjalanan kali ini, Kadek Adi bersama pacarnya, Ngurah Jayen dan tunangannya, serta Komang Suartana, jelang pukul 8 pagi kami mulai bergerak menuju Karangasem. Melaju di se panjang jalan IB Mantra, bersaing dengan berbagai jenis kendaraan yang semakin bertambah jumlahnya di Propinsi Bali, tujuan pertama kami adalah Pura Andakasa. Setelah tiba di Desa Pikat, sebelum Warung Pesinggahan yang terkenal, kami berbelok ke kiri, menyusuri jalan aspal pedesaan, sepanjang 10 km, lalu tiba di pelataran parkir Pura, Banjar Pakel, Desa Gegelang, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem. Motor kami parkir berjejer, bergegas mengganti pakaian dengan yang lebih pantas untuk menghadap ke rumah Tuhan, dan mulai mengeluarkan banten yang kami titipkan di mobil pak Nyoman.
Menyusuri jalan setapak berundak yang ditata menuju Pura, kami menikmati indah suasana alam yang asri, setelah berjalan selama 5 menit, kami tiba di Pura Pasar Agung. Sembahyang dipimpin oleh Pak Nyoman pada pura yang merupakan pura pesimpangan Ida Bethare Dalem Ped ini.
Selesai bersembahyang, kembali kami beranjak menuju Pura Andakasa. hampir 400 anakan tangga yang kami telusuri menuju rumah Tuhan. Sebuah perjuangan dalam upaya semakin mendekatkan diri dengan Beliau. Semoga kami menjadi manusia manusia yang semakin bijak dalam melangkah. Kami sadari, bukan rombongan kami saja yang hadir disini. Walau bukan odalan dan hari keagamaan, namun senantiasa ada umat yang berupaya mempertebal keimanan dengan mengadakan tirta yatra pula. seperti rombongan dari Bank Sinar Mukti dan rombongan dari panitia yang akan menyelenggarakan upacara pekelem di danau Batur yang hadir berbarengan dengan kami disini.
Waktu mulai beranjak jelang tengah hari, setelah puas menghadap Tuhan dalam manifestasi Beliau sebagai Bethare Brahma di Pura Andakasa, kami putuskan beranjak menuju Pura Silayukti yang terletak di Padang Bai.
Menurut iloveblue.com, Pura Silayukti merupakan salah satu Pura Dang Kahyangan di Bali. Pura ini terletak di sebuah bukit bagian timur Desa Padangbai, dipercaya sebagai parahyangan Ida Batara Mpu Kuturan, seorang tokoh yang sangat berjasa dalam menata kehidupan sosial religius masyarakat Bali sekitar abad ke-11 Masehi. Pujawali di pura Silayukti jatuh tiap Buda Kliwon Pahang (enam bulan sekali). Pada bagian timur, di tebing pantai yang curam ada Pura Payogan. Diduga di tempat ini Mpu Kuturan melakukan yoga semadi pada masanya.
Setelah tuntas bersembahyang di Pura Payogan dan Pura Andakasa, kami sempatkan menikmati pemandangan indah perairan Padang Bai dari bale bengong di bibir pantai, sambil menikmati lungsuran banten, lalu beranjak pulang kembali. Terima kasih Tuhan, kau beri kami satu hari lain lagi, untuk menikmati indah hari meniti ke dalaman kasih Mu yang tiada henti pada kami. Entah kapan bisa kuulangi kembali, perjalanan menuju salah satu rumah Mu kembali...
Terima kasih bagi pak Nyoman sekeluarga, kami diberi kesempatan menikmati makan siang di Warung Be Pasih Pesinggahan, lengkap dengan es klamut yang sejuk segar basahi tenggorokan kering ini. Terima kasih bagi para muridku, atas hadir kalian dan keceriaan yang telah kalian cipta sepanjang perjalanan. Jangan kapok buat rencana perjalanan lain lagi... Terima kasih untuk keluarga ku dan para sahabat lain, semoga masih banyak waktu tercipta bagi perjalanan spiritual lain lagi. Kucintai dunia ini, kucintai berkah Tuhan bagi setiap nafas yang kuhembuskan... sekarang, aku siap atas keberangkatanku kapanpun, hmmm, aku siap Tuhan...
Merujuk pada BabadBali.com, Pura Andakasa diperkirakan didirikan oleh Mpu Kuturan sekitar abad XI. Di samping itu Pura Luhur Andakasa juga memiliki kaitan dengan pemuka agama Hindu Sang Kulputih, yang pernah bertapa di tempat ini sebelum menuju Lempuyang dan Besakih. Dan berdasarkan observasi pada area-area di pura ini dapat diduga pura ini mengalami perkembangan dan perbaikan sekitar abad 17 - 18 Masehi. Sebuah prasasti terdapat di Pura Panyimpenan Pura Luhur Andakasa, namun tidak tertulis pada prasasti itu keberadaan pura ini. Seperti dikemukakan dalam berbagai lontar, Pura Luhur Andakasa berstatus sebagai salah satu Kahyangan Jagat, juga Sad Kahyangan yang berarti menjadi sungsungan seluruh umat Hindu di Bali khususnya, umumnya di Indonesia. Sebagai Kahyangan Jagat, Pura Luhur Andakasa merupakan stana dari Hyang Tugu atau Dewa Brahma yang menguasai kawasan selatan dalam struktur Dewata Nawasanga, manifestasi Hyang Widhi yang menghuni 9 arah mata angin. Dengan demikian, Pura Andakasa adalah pura kahyangan jagat yang didirikan atas konsepsi Catur Loka Pala dan Sad Winayaka. Pura yang didirikan berdasarkan konsepsi Catur Loka Pala adalah empat pura sebagai media pemujaan empat manifestasi Tuhan untuk memotivasi umat mendapatkan rasa aman atau perlindungan atas kemahakuasaan Tuhan. Keempat pura itu dinyatakan dalam kutipan Lontar Usana Bali di atas. Mendapatkan rasa aman (raksanam) dan mendapatkan kehidupan yang sejahtera (danam) sebagai kebutuhan dasar masyarakat yang wajib diupayakan oleh para pemimpin atau kesatria. (Manawa Dharmasastra I.89) Di arah selatan didirikan Pura Andakasa sebagai tempat pemujaan Batara Hyanging Tugu. Hal ini juga dinyatakan dalam Lontar Babad Kayu Selem. Sedangkan dalam Lontar Padma Bhuwana menyatakan: ''Brahma pwa sira pernahing daksina, pratistheng kahyangan Gunung Andakasa.'' Artinya Dewa Brahma menguasai arah selatan (daksina) yang dipuja di Pura Kahyangan Gunung Andakasa.Yang dimaksud Hyanging Tugu dalam Lontar Usana Bali dan Babad Kayu Selem itu adalah Dewa Brahma sebagai manifestasi Tuhan dalam fungsinya sebagai pencipta.
Pura Andakasa juga salah satu pura yang didirikan atas dasar konsepsi Sad Winayaka untuk memuja enam manifestasi Tuhan di Pura Sad Kahyangan. Memuja Tuhan di Pura Sad Kahyangan untuk memohon bimbingan Tuhan dalam melestarikan sad kertih membangun Bali agar tetap ajeg -- umatnya sejahtera sekala-niskala. Membina tegaknya Sad Kertih itu menyangkut aspek spiritual yaitu atma Kertih. Yang menyangkut pelestarian alam ada tiga yaitu samudra kertih, wana kertih dan danu kertih yaitu pelestarian laut, hutan dan sumber-sumber mata air. Sedangkan untuk manusianya meliputi jagat kertih membangun sistem sosial yang tangguh dan jana kertih menyangkut pembangunan manusia individu yang utuh lahir batin.
Jadinya pemujaan Tuhan Yang Mahaesa dengan media pemujaan dalam wujud Pura Catur Loka Pala dan Sad Winayaka untuk membangun sistem religi yang aplikatif. Sistem religi berupaya agar pemujaan pada Tuhan Yang Maha Esa itu dapat berdaya guna untuk memberikan landasan moral dan mental. Pura Andakasa dalam kesehariannya didukung oleh dua desa pakraman yaitu Desa Pakraman Antiga dan Gegelang.
Pemujaan Batara Brahma di Pura Andakasa ini dibangun di jejeran pelinggih di bagian timur dalam bentuk Padmasana. Di bagian jeroan atau pada areal bagian dalam Pura Andakasa di jejer timur ada empat padma. Yang paling utara adalah disebut Sanggar Agung di sebelah selatannya ada pelinggih Meru Tumpang Telu. Di selatan meru tersebut ada padmasana sebagai pelinggih untuk memuja Dewa Brahma atau Hyanging Tugu. Di sebelah selatan pelinggih Batara Brahma ada juga dua padmasana untuk pelinggih Sapta Petala dan Anglurah Agung.
Upacara pujawali atau juga disebut piodalan di Pura Andakasa diselenggarakan dengan menggunakan sistem tahun wuku. Hari yang ditetapkan sejak zaman dahulu sebagai hari pujawali di Pura Andakasa adalah setiap hari Anggara Kliwon Wuku Medangsia. Di samping ada pujawali setiap 210 hari, juga diselenggarakan upacara pecaruan setiap Anggara Kliwon pada wuku Perangbakat, wuku Dukut dan wuku Kulantir.
Minggu, 29 November 2009
Come & Grow 2009
Hmm, untuk acara-acara Welcome Party sebelumnya, tak pernah kuikuti. Gak pernah diundanglah, tempat acara yang jauhlah, eksklusif bagi mereka saja, karena kesibukanku, dan, banyak alasan lain bisa kuajukan. Namun, kali ini, terasa sungguh berbeda. Ada semangat persaudaraan menggelora pada tema acara kali ini, juga niat mereka untuk melakukan tindakan nyata, penghijauan, sebagai bukti peduli lingkungan. Wah..... harus kusempatkan hadir pada acara mereka kali ini.
Dari jauh hari, sudah kuikuti gerak panitia memulai langkah mereka. Kuwanti pak Dewa agar peristiwa yang dialami Bu Wiwik tidak terulang kembali. Upaya mereka melakukan pendekatan pada adik kelas calon peserta acara, pihak dosen dan manajemen lembaga kampus sendiri, keluarga dan para sahabat, Kepala Lingkungan dan masyarakat sekitar dimana acara bakal berlangsung, harus kuacungi jempol. Tidaklah gampang berurusan dengan berbagai pihak birokrat dan masyarakat luas di luaran sana. Tak jarang, sifat egois dan emosi tercampur baur didalamnya. Hal ini rentan memancing jiwa-jiwa remaja mereka yang masih labil untuk memberontak dan bersikap frontal, bahkan terhadap rencana yang sudah mereka susun dengan rapi.
Saat tiba menjelang pukul 9 pagi hari Sabtu 28 November 2009, tak jauh dari digelarnya acara Come & Grow 2009, acara serupa juga digelar oleh Pertamina Gathering Family dengan tema Go Green. Hmm, kebangkitan kesadaran terhadap Global Warming ternyata telah menjadi perhatian serius dari berbagai pihak. Bumi semakin panas, dan, mau tidak mau, hanya kita sendiri yang bisa lakukan perubahan perbaikan situasi ini. Atau... akan sangat terlambat menyadarinya beberapa tahun lagi. Dan kali ini, baru 500 bibit anakan bakau yang bisa mereka tanam. Namun jumlah ini sangatlah membanggakan.
Namun, remaja tetaplah remaja. Mahasiswa sekalipun.... mereka tetaplah miliki jiwa dan semangat remaja dalam dirinya. Maka, terselip pula acara Games & Fun, Queen & King ala mereka, ber foto ria, saling dorong dan mengerjai temannya bahkan disaat sedang berada di area berlumpur tempat menanam bibit bakau / mangrove, acara perayaan hari lahir salah satu peserta saat itu, teriakan dan celotehan khas remaja yang seolah tiada henti hingga akhir acara, dan gaya tidur panitia yang terlelap di bawah pohon besar karena lelah dan kantuk menyerang.
Keterlibatan pihak manajemen sungguh besar. Hal ini terbukti dengan hadirnya tiga Pembantu Ketua, yakni, Dr. Wisnu Bawa Tarunajaya, MM., Drs. IBP Puja, M.Erg, dan Ir. Sukana Sabudi, MP. pada acara tersebut. Juga beberapa dosen lain, dan bahkan para alumni STPNDB yang telah berhasil meretas prestasi, baik di dalam kampus sebagai mantan Ketua Senat Mahasiswa, maupun di luar kampus, sebagai Owner dari sebuah usaha Cargo ke luar negeri yang sukses. Hal ini membuktikan bahwa prestasi bisa diperoleh untuk membuktikan tingkat profesionalitas, baik dalam hal belajar maupun bekerja. Tidak perlu takut dan malu untuk menampilkan diri, mengejar prestasi, baik dalam proses belajar, aktif dalam kegiatan Senat Mahasiswa Kampus, mewakili STPNDB dalam berbagai kegiatan di luar Kampus, dan mewujudkan cita-cita di kemudian hari.
Tumbuh dan berkembanglah, anak-anakku....
Kepakkan sayap-sayap kalian, terbanglah tinggi menjulang, kejar segala cita dan cinta kalian. Isi setiap relung hati dan jiwa kalian, dengan pahit manisnya, getir dan indahnya hari-hari yang kalian miliki, sejak kalian bergabung dengan Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali, hingga tamat, dan meretas berbagai jalan hidup kalian masing-masing. Jangan pernah menyerah, walau segala cobaan dan tantangan menghadang, walau tangis dan darah tertumpah basahi diri.... Majulah, majulah terus bunga bangsa... Tunjukkan kalian pantas mengisi dunia ini dengan segenap kemauan dan kemampuan yang kalian miliki.....
Selasa, 24 November 2009
Simbok Sakit
Sudah seminggu ini simbok sakit.
Kaki kirinya tersiram kuah daging satu panci pada hari Sabtu, 14 November 2009 lalu. Padahal sebelum kutinggal berangkat ke Ubud bersama para muridku mengikuti Seminar Internasional tentang Meditasi, aku sudah menyelesaikan mencuci dan menjemur cucian sebanyak dua ember, membuat soup dan menggoreng ayam bumbu bali. Tugasnya hanya menunggu nasi selesai ditanak dan semur daging matang, lalu berangkat mengantar anak sekolah. Luka simbok sudah dioperasi, dan kini sedang dalam fase penyembuhan.
Selama dia sakit, tugasku bertambah pula.Bangun lebih awal, menyelesaikan cucian anggota keluarga, memasak, menghantarkan makanan dan obat ke kamar simbok, mempersiapkan keberangkatan anak-anak ke sekolah, baru melaju ke kantor. Aku merasa beruntung memiliki suami dan kedua anak lelaki yang bisa membantu menyelesaikan beberapa urusan rumah tangga. Walau mungkin adalah hal yang biasa dan bisa terjadi pada berbagai rumah tangga biasa lainnya pula, namun mereka membantu memberikan kedamaian pada hati ini.
Hari ini aku bisa tiba lebih awal di rumah. Pukul 15.30. Kulihat suami sedang menyapu di halaman. Biasanya, aku akan sedikit menggerutu karena sang bapak menggunakan sapu ijuk, padahal sudah kusiapkan tiga sapu lidi. Walaupun halaman sebagian berisi paving, tapi, sapu ijuk itu menurutku hanya boleh dipergunakan di dalam rumah. Kuucapkan terimakasih karena kulihat pula seragam sekolah anak-anak hari itu sudah tercuci dan berderet rapi di jemuran. Namun menurut sang suami, putra sulungku yang kini duduk di bangku SMP yang melakukannya.
Akh... betapa indahnya duniaku hari ini. Memiliki keluarga, yang bukanlah sempurna, namun, mereka bisa berikan kedamaian tercipta dalam hati. Tiba di rumah, sebagian urusan sudah selesai, walau yakin toh tidak lama lagi akan berantakan lagi karena kehebohan mereka juga. Mungkin sangat biasa pula bagi keluarga lainnya. Namun, hari ini, inilah surga itu. Apa lagi yg kucari... Home Sweet Home.
Rabu, 11 November 2009
Tentang Cinta Kasih
"Kangen Jik Rah", demikian kata temanku satu ruangan saat kusapa kemarin, Selasa 10 Nov 09. Wajahnya terlihat murung, dengan tatap mata berkaca-kaca. Akh, ibu Oka terkenal bisa diandalkan dalam bekerja, sejak masih di ADAK dahulu. Kudekati wanita cantik ini. Dia adalah pemain drama gong yang sering pentas di Art Centre dan berbagai panggung lain, pemain arja, perias, salah satu pemain figuran sinetron di Bali teve, dan staf akademik yang ditempatkan di ruang Administrasi Perhotelan. Suaminya bertugas selama hampir tiga bulan di Kedutaan Besar RI di Berlin. Berangkat setelah Kuningan, dan kini, bu Oka terpapar rindu teramat sangat pada suami tercinta, kekasih hati dan teman diskusinya.
Ku hidupkan layar komputer di depan kami. Menelusuri untaian informasi geliat berkesenian duta budaya dari Gusti Ngurah Padang beserta rombongan nun jauh di seberang benua berdasar Mbah Google, bukan hal gampang. Namun secercah berkas harap di mata bu Oka tak mungkin kubunuh. Setelah selesai dengan satu kelas lalu berlanjut dengan beberapa diskusi bersama rekan lain siang itu untuk memastikan tugas penelitian semakin mantap, bu Oka ku temani melacak, mulai dari twitter, dan, face book.
Kulihat beberapa orang yang ajukan add di fb. Tertera nama ibu Nyoman Suyadni dan bapak Made Sukasta Mindhoff. Tidak sekalipun ku kenal mereka ini, apalagi pernah bertemu dan ketahui siapa mereka. Namun tempat tinggal yang merujuk kata Jerman sudah suatu pertanda...... Dengan berani kuajukan permohonan membuka jalan bagi sebuah berita.
"Bisakah minta bantuan? Saya punya teman satu ruang, suaminya dan sekehe gong sedang bertugas tiga bulan sbg duta kesenian di Kedubes RI di Berlin. Bisa post info, foto ttg mereka? Teman saya merindu suaminya. Terima kasih". Itu berita yang kutulis di wall PakDe Sukasta, sebelum mematikan komputer.
Lalu kembali kujalani aktivitas berkeluarga, bermain bersama anak, kumpul, belajar dan diskusi se keluarga, mengantar simbok sekolah malam hari. Hmm, bersyukur punya simbok yg bisa diandalkan walau ikut sibuk dengan sekolah Paket Kejar yang diikutinya, antar jemput.
Bekerja, berkeluarga dan bersahabat, sungguh, manajemen hati juga dibutuhkan dan harus menjadi perhatian, agar bisa terhindar dari konflik, atau menghindari konflik.
Pagi ini, Rabu, 11 Nov 09, setelah satu kelas yang penuh perjuangan, dari sekian email yang masuk, tertera balasan info dari Ibu Nyoman dan Pak Made Mindhoff. "Nama suaminya teman siapa?.....pak Ngurah Padang ya.....? Kalau iya, nanti saya kirim photo bapak dan group kami waktu main di hari kuningan Offenbach.Maaf saya juga baru sekali ketemu bapak karena jauh.....saya tinggal di köln.Entar saya telpon ke berlin salam ya....dr Köln"
Duh, Ratu Bethara, ini hanya sebagian kecil berkah yang diperlihatkan Sang Hyang Widhi bagi umatnya yang percaya dan mau berusaha. Orang yang tak pernah kulihat, kuajak bicara, tak kukenal, tapi mau begitu peduli dan meluangkan waktu mereka bagi hal-hal kecil, namun sangat berarti. Dan, bu Oka menangis bahagia, menutup mulut, mencari tissue mengusap air mata yang berlinang, menyaksikan suami tercinta dengan berbagai aktivitas berkesenian, dengan lagak polah dan gaya, terpisah ribuan km, terpaut benua dan samudra.
Hmm, inikah makna borderless world? IT bantu mereka belajar saling memahami, mengenali, berproses, tanpa sekat jarak, ruang dan waktu. Pernikahan dan persahabatan, adalah bagai kepompong, mengubah ulat menjadi kupu-kupu, terbang bebas kesana kemari.
Terima kasih ibu Nyoman Suyadni Mindhoff, terima kasih pak Made Sukasta Mindhoff, terima kasih untuk kebahagiaan yang telah kalian ciptakan bagi sahabatku ini. Tabikku sangat dalam bagi kalian berdua. Satu pelajaran lagi tentang cinta kasih.... Cinta tentang kepasrahan, cinta yang tanpa nafsu, yang bakal bertahan abadi, dalam diri tiap insani....
Loka Samasta Sukhino Bhawantu....
Senin, 09 November 2009
Akulturasi
Ada juga yang mengkaitkan hal ini dengan nasionalisme dan berkata, “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung sehingga tercipta akulturasi budaya ...
www.overseasthinktankforindonesia.com/tag/akulturasi/
Perpaduan dua atau lebih, budaya yang ada. Baik itu, bentuk (simbol, bentuk bangunan, nama, patung, benda-benda), fungsi (manfaat, kegunaan, peruntukan), makna (arti dari nama benda, bentuknya)
Dimanapun, kemanapun, kapanpun, dg cara bagaimanapun (bukan coca cola iklan), ini dan hanya ini yang akan abadi, perubahan, perkembangan, penyatuan, pemilahan, pembedaan, perangkuman....
Intinya, mau tidak mau, ya memang kita harus siap....
Contohnya?:
1. Islam beserta unsur-unsur budayanya di nusantara, merupakan akulturasi dari budaya Islam dengan Hindu-Budha yang sudah lebih dahulu ada di nusantara (id.svhoong.com/.../ akutulrasi budaya islam dan hindu)
2. Akulturasi hindu dan islam lahirkan keunikan Bali (Antaranews/.../Akulturasi-hindu-dan- islam-lahirkan-keunikan-bali)
3.Popo Danes: Akulturasi Arsitektur Modern dan Eksotisme Tradisional Bali. kiwik. Kamis, 27 - Agustus - 2009, 05:57:50. BANDUNG, itb.ac.id- "Arsitektur yang ...
4.Proses akulturasi juga terlihat pada bagaimana kolom-kolom dengan bentuk busur gaya Eropa dipadu dengan bentuk memolo atau mahkota gaya China. ...
kabarmadura.blogspot.com/.../akulturasi-pada-keraton-sumenep
www.itb.ac.id/news/2558.xhtml
5.9 Sep 2008 ... Akulturasi Islam-Hindu di Bali mewujud antara lain dalam bangunan masjid. Itu sebabnya, masjid di Bali kebanyakan berbeda dengan masjid pada ...
www.kompas.com/.../akulturasi.hindu-islam.lahirkan.keunikan.bali
6.[budaya_tionghua] Re: Akulturasi budaya dalam agama. Dada Tue, 16 Sep 2008 21:18
www.mail-archive.com/budaya...com/msg23331.html
7.Kusuma, I Nyoman Weda, (2007) Geguritan Nabi Muhammad: Cermin Akulturasi Budaya Hindu-Islam di Bali. Sari (ATMA), 25 . pp. 119-127. ISSN 0127-2721 ...
oleh I Kusuma - 2007 - 3 versi
Ada banyak lagi contoh lainnya. Penelitian saya juga buktikan ini terjadi.
Bagaimana di Bali? Dg tuntutan? Hmmm, Santo Yosep jadi pengganti Swastyastu. Barongsai, Mesjid dengan empat menara simbol akulturasi islam dan kristen, adanya geguritan Nabi Muhammad....
Teman saya, sekarang sedang meneliti aliran Hare Krisna untuk disertasinya. Yang memperlihatkan betapa ketidakkonsistenan pemda Bali sendiri. Dulu mengeluarkan larangan, tapi dilanggar sendiri....
Simpulannya?
Asimilasi dan akulturasi, pastilah itu....
Tapi, kita perlu berjuang untuk jelaskan tataran ini. Yo ayo, berjuang nyatakan pendapat kita dalam berbagai cara, sesuai dengan norma yang ada.
Minggu, 08 November 2009
Penggangguran, kekerasan dan tingkat spiritual
Running text Metro TV barusaja jelaskan : Bulan Oktober 2009, tingkat pengangguran di AS menjadi 10,2 %. Itu berarti, 15,7 juta orang. Bukan lagi suatu jumlah kecil. Bagaimana di Indonesia? Di Bali? S'pore mulai protect diri dg berbagai peraturan ketat bagi para TKI. Malay dan berbagai negara lain pula. Hujan batu dan hujan emas kah yang bakal terjadi di negeri orang atau di negeri sendiri.
Salah satu dampak peningkatan pengangguran adalah prediksi bakal terjadi peningkatan tindak kriminal berupa kekerasan. Bicara tentang kekerasan, bisa terjadi karena lemahnya ketidakpercayaan. Ah, ini bagai siklus yang tidak berkesudahan...
Dapatkah kita hanya sekedar bersembunyi dari ribuan sloka atau ajaran Weda? Tertutup dalam bilik spiritual semata? Baru selesai menangani satu kasus, sudah menanti ribuan masalah lain lagi... Hmm.
Ada yg pendek akal, mencuri jadi salah salu solusi, atau... bunuh diri? Atau, gunakan kekerasan sebagai bentuk pelampiasan emosi jiwa di dada.
Apa yang dapat dilakukan bagi peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah, kemampuan pemimpin, kemampuan kita semua, terhadap hukum yang berlaku di negeri ini, untuk terlibat dan saling peduli, sekecil apapun, terhadap penderitaan orang lain?
Ketidakpercayaan masyarakat terhadap praktik keadilan yang diatur oleh sistem hukum juga menjadi penyebab, mengapa mereka menyelesaikan sendiri persoalan hidup mereka dengan caranya sendiri. Menurut Lewis Coser, kekerasan bisa menjadi isyarat atau tanda, betapa masih banyaknya problem dalam sistem sosial yang harus dikoreksi. Hal-hal yang harus dikoreksi mesti dikembalikan pada sistem, struktur sosial, ekonomi, politik, dan kultural yang melahirkan situasi negatif yang kurang manusiawi. Tanda-tanda ini menampilkan diri dalam masyarakat yang tidak adil dan dalam masyarakat yang hidup terkekang dan terkungkung oleh represi pihak yang berkuasa. Tidak terlalu mengherankan jika dalam hal ini, masyarakat pada level paling bawah, orang miskin, mereka yang terpinggirkan / termarjinalkan, buruh, nelayan, petani ternyata sangat peka terhadap berbagai masalah seperti kesenjangan dan ketidak adilan sosial.
Untuk mempertajam pemahaman atas persoalan-persoalan di atas, tampaknya tepat jika merujuk analisis yang dilakukan Johan Galtung. Galtung membedakan dua kekerasan: kekerasan personal dan kekerasan struktural. Kekerasan personal itu bisa tampil dengan sangat jelas, apalagi kalau peristiwanya hadir di depan mata. Pelaku kekerasan personal bisa dilacak dan ditemukan dengan mudah. Namun, seseorang akan dapat terkecoh dan lupa bahwa kekerasan struktural yang tidak menampakkan diri, bak udara di sekitar kehidupan ini yang terhirup setiap hari, bisa lebih kejam dan mematikan. Kekerasan struktural itu dipahami sebagai suasana struktur yang menekan (Alfian,1980:3-7).
Kekerasan struktural ini adalah kekerasan yang bersifat anonim, para pelakunya tidak bisa dilihat secara gamblang. Kekerasan model ini terjadi dalam kasus-kasus penggusuran,ketimpangan sosial ekonomi, persoalan korupsi, kolusi, manipulasi, ketidak adilan dalam hukum, kemiskinan, rendahnya upah buruh, serta rendahnya nilai tukar hasil tani terhadap industri. Bila massa rakyat hidup dalam kesenjangan yang semakin tajam dan hidup dalam serba kekurangan, maka hal itu dapat dipandang sebagai pertanda bahwa di situ terjadi kekerasan struktural.
Kesimpulan?
Pengangguran tingkatkan kriminalitas, dan, kurangi tingkat spiritual? Hiiiiii
Senin, 02 November 2009
Kwee Chai Pontianak
"Titipan mama untuk kak Santi" demikian katanya. Kulihat, ada 100 biji dalam dua kotak makan itu. Kwee chai merupakan makanan yang dibungkus kulit siomay, dilapisi minyak kacang, lalu dikukus. Berbagai rasa, ada yang berisi irisan daun bawang di tengahnya, ada yang berisi parutan keladi, ada yang berisi kecambah muda. Tak lupa, bahkan emakku menitipkan sambal botol cair, asli Pontianak. Hmmm, sekali makan, kuhabisi 30 potong kwee chai berbagai jenis, lengkap dengan sambalnya. Maruk kaleeee aku ini.
Ada pula bentuk cabe kering yang ditumbuk, lalu jadi bubuk cabe, dimasukkan dalam botol, tanpa bahan pengawet, hingga bisa tahan berbulan. Diekspor ke berbagai belahan dunia. Akh, aku jadi ingat masa kecil di Kalimantan dahulu
Ah, andai banyak orang tahu teknik ini, vegetarian bakal jadi dunia yang sangat indah dan berbagai restonya dikunjungi orang tiada henti, murah meriah dan bikin hidup sehat.
Sabtu, 24 Oktober 2009
Pukul 6, suami bergerak ke Jalan Nangka, untuk bergabung dengan mertua dan ipar, menuju Banjarangkan Klungkung. Setelah bersembahyang dalam rangka Kuningan, dan meyakinkan semua dupa telah kumatikan, memberikan instruksi pada anak-anak untuk selalu menjaga kekompakan di antara mereka selama kedua ortunya bepergian, dan kemungkinan baru kembali keesokan hari. Pukul 7 pagi, kumulai bergerak perlahan menuju Banjarangkan. Hmm, dimana mana, pemandangan banyak orang bepergian dengan mengenakan pakaian adat. Wanitanya mengenakan kebaya dan kain, menyunggi banten di atas kepala, yang pria, berkain dan saput terbaik. Tak lupa, udeng menghiasi kepala. Ah, Kuningan yang semarak dengan perjalanan spiritual memuja dan memuji Beliau, Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Pukul 8 kurang, tiba di Menang, Rumah bajang Mbok Ketut Sukati. Iparku ini sakit, dan, hasil dari nunas baos, terlihat bahwa ia belum mepamit saat menikah dahulu. Anehnya, begitu dinyatakan akan naur sesangi di tegak otonnya, dia langsung perlahan sembuh kembali... Belum ada rombongan tiba dari Buleleng. Aku masih duduk menunggu, se jam kemudian, dan, berjam lagi, hingga waktu menunjukkan pukul jelang pukul 11 siang. Ah... Betapa tidak enaknya duduk menunggu. Mereka terjebak kemacetan di jalan. Jarak Buleleng - Klungkung sungguh butuh perjuangan di hari raya seperti ini.
Pukul 11 hingga pukul 13.10, seluruh rangkaian upacara me pamit iparku yang baik dan lugu ini berjalan lancar. Lalu rombongan yang terdiri dari Nengah Puja, iparku pula, juga Wayan Nuka, Nyoman Ngempi, bergegas menaiki colt berwarna putih dengan pelat DK 903 UC yang dikendarai oleh Wayan Balok bergerak perlahan meninggalkan rombongan lain.
"Supir dari kampung terkenal lagas dan rengas", demikian seru iparku mengingatkanku agar berhati mengikuti rombongan bermobil ini dari belakang, menuju Sepang, Buleleng.
Hmmm, keluar dari Nyalian, beriringan menuju ke Banjarangkan, mobil colt berbelok arah ke kanan, memasuki jalan raya Tulikup, hawa panas mulai menyergap. Asap knalpot kendaraan yang kentut seenaknya dan debu jalanan menerpa seluruh tubuh. Untung, kaos kaki, sarung tangan, dan slayer yg kukenakan mampu meredam kejamnya sinar ultra violet mentari siang hari, dan angin yang menerpa tubuh mampu usir panas dan pengap diri ini.
Menuju ke arah kota Gianyar, berbagai mobil dan motor yang banyak mengangkut penumpang berpakaian adat dan membawa banten berwadah sok atau bokor kami temui. bahkan, tak jarang, sebuah motor ditumpangi kedua orangtua dan anaknya yang juga kenakan pakaian bersembahyang terbaiknya. Hmm, inilah makna mudik dan perjalanan spiritual dalam rayakan sebuah hari raya keagamaan.... Kebesaran dan kemuliaan Hyang Widhi, Sangkan Paraning Dumadi, Hyang Prama Kawi, yang menggoda umat manusia untuk menghampirinya dan selalu menggingat Nya dalam setiap langkah dan tindakan.
Selepas lampu lalu lintas, kami berbelok ke kanan, menyusuri jalan Raya Nyuh Kuning, lalu tembus di Peliatan, Ubud. Hmm, bahkan, banyak pertokoan tidak mau kalah dalam mempercantik diri merayakan Galungan dan Kuningan, berbagai penjor dalam berbagai bentuk gaya di depan toko mereka masing-masing. Bukankah, hanya dengan sebatang bambu berhiaskan sampian penjor galungan, sudah cukup membuktikan penghargaan umat, bagi kebesaran Tuhan, sebagai simbol kemampuan pengendalian diri, sikap dewasa untuk memuluskan langkah dalam beragama, dan terapkan yadnya tidak hanya semata dibilang spiritual, namun pula dalam laku kerja dan berumah tangga....
Dari Peliatan, mobil menyusuri jalan jalan pedesaan, tembus di daerah Pengosekan, Art Shop Gajah Mas, lalu melewati jalan raya Semana, melintasi Villa Semana Resort & Spa. Hmm, semaraknya aroma pedesaan, persawahan dan ladang, lumayan sejukkan mata. Akhirnya, tiba di Mambal. Pasar Abian Semal. Mobil tidak berhenti, terus melalu menyusuri jalan aspal, kami tembus di Beringkit, pasar ternak di dekat jalan raya Mengwi ini. Dari sini, sudah kukuasai jalan raya, hapal ku dengan liku jalanan, Kusalip rombongan agar bisa mempersingkat waktu tempuh. Jalan Raya Denpasar - Gilimanuk, berbelok ke Utara di Pengeragoan, memasuki hutan Bading Kayu - Dapdap Putih - dan, Sepang kelod, Asah Badung.
Pk 16.40 tiba di Pangkung Singsing, dan dering telpon simbok, Putu Ayu, memanggilku.
Ia sudah tidak betah menunggu hadirku. Memang, aku berjanji akan melaksanakan upacara odalan di Saniscara Kliwon wuku Kuningan ini, dan kembali ke Denpasar bersamanya dengan mengendarai motor. Ah, para bapak dan ibu rumahtangga akan menyadari, betapa susahnya kini mencari seorang babysitter, dan, aku beruntung memiliki dia, sudah hampir 4 tahun kami lewati bersama.
Berjalannya upacara odalan di Pangkung Singsing tidak lah sesuai yang kuharapkan. Seluruh rangkaian upacara baru berakhir menjelang pukul 8 malam. Padahal, saat odalan yang sudah sudah, pukul 4 sore biasanya sudah berakhir. Para ipar yang asyik mampir dan berbelanja di Bajra, lalu supir, Wayan Balok, yang mampir ke dokter, telah lumayan menyita waktu kami. Bahkan, Mangku Patra harus menunggu hingga satu jam lebih sebelum semua anggota keluarga bertemu. Hal yang se umur umur tidak pernah terjadi.
Mertua dan seluruh saudara besar berharap aku tidak kembali ke Denpasar malam itu, namun simbok yang meminta untuk kembali tidur di rumah orangtuanya jika harus bermalam, satu jam berjalan kaki, telah membuatku berpikir, kami harus berangkat malam itu pula.
Hmm, pukul 8 malam, melewati jalan curam, penuh kerikil lepas mendaki, melewati hutan tanpa lampu penerangan jalanan, yang konon ada begalnya, dua jam setengah waktu yang diperlukan untuk perjalanan ini, hmmm. Namun, itulah yang terjadi, kami berdua berangkat juga. Alami hujan angin di Pantai Soka, selip di Tabanan. Dan, tiba pukul 22ari .45 malam hari di rumah. Situasi gelap gulita, sedang ada Upacara mesucian / Ngereh Ida Bhatara di Setra Kahyangan Umadui dari Pura Dalem Pejarakan Ulun Lencana Desa Padang Sambian Kelod, yang diempon oleh tiga banjar, Umedui, Jabapura, dan Batubolong.
Begitu tiba di rumah, sambutan pertama dari suami tercinta, "Ada telpon dari emak, Dewa Biyang masuk RS Dharma Kerti Tabanan, karena sesak napas. Sekarang juga kita berangkat ke Tabanan".
Ah ha......
Wayan, kau benar.
Kelas percepatan sungguh berat. Sangat berat terasa, semakin hari semakin berat...
Senin, 19 Oktober 2009
Pak Made Andi Arsana
Namun, akan menjadikan kita kagum, jika orang se kaliber pak Andi yang melakukannya. Di tengah kesibukan mengejar disertasi, menjadi tiang rumah tangga, mengurus keluarga, masih sempat mengikuti berbagai aktivitas tingkat dunia, bikin buku, dan... memasak.
Banyak orang yang masih ber mental priyayi, laku priyayi, mengutamakan ego dan nilai nilai pribadi, tidak mau merendahkan diri, lebih minta dilayani.
Dari Pak Andi, saya belajar nilai - nilai keluarga seharusnya, jabatan, karir, dan tugas, tidak membuat seseorang malu dan risih lakukan tugas memasak bagi keluarga
Dari Pak Andi saya belajar, bahwa menulis bukan sesuatu hal yg harus ditakuti,
belajar terbuka pada dunia luar tentang isi hati kita, pengalaman kita, berbagi ceritera dan berita
Dari Pak Andi saya belajar, bahwa kita bisa lakukan banyak hal sekaligus, tanpa harus merasa malu dan jatuh martabat, dan, tetap berprestasi. .
Dalam kompetisi tersebut, Arsana berhasil meraih juara umum dalam kategori sosial, politik, hukum, dan ekonomi, sehingga berhak atas hadiah sebesar 750 Euro.
Ketua PPI Perancis, Endra Saleh Atmawidjaja, seperti dilansir Antara dan Rakyat Merdeka Online, mengatakan penyelenggaraan OKTI adalah untuk menghimpun berbagai pemikiran orisinal, aktual, dan inovatif dari para pelajar Indonesia sedunia dalam kategori sains terapan dan teknologi, serta sains sosial, hukum, politik, dan ekonomi. Selanjutnya, berbagai hasil riset yang inovatif dan aktual tadi menjadi landasan perumusan butir-butir rekomendasi kepada pemerintah Indonesia. Selain itu OKTI juga bertujuan untuk membangun jaringan keilmiahan antarpelajar Indonesia di berbagai belahan dunia sebagai calon penerus kepemimpinan Indonesia di masa yang akan datang.
Arsana adalah kandidat doktor di Australian Natonal Centre for Ocean Resources and Security (ANCORS), University of Wollongong, Australia, dan kini juga dipercaya menjabat sebagai Presiden PPI Australia-Wollongon g. Setelah melalui seleksi ketat, 45 juri dari berbagai disiplin ilmu menetapkan Arsana unggul atas 16 finalis yang telah dipilih untuk mempresentasikan karya masing-masing. Secara keseluruhan, ia berhasil menyisihkan 54 karya tulis dari 16 PPI yang mengikuti kompetisi ini, yakni Perancis, Jerman, Belanda, Inggris, Rusia, Italia, Swedia, Turki, Pakistan, Arab Saudi, Taiwan, Korea Selatan, Philipina, Australia, dan Indonesia.
Sabtu, 10 Oktober 2009
Panca Sradha
Pura Catur Sari Kandapat Pengideran nawa Sanga
Dulu, saya pikir pula, hidup dan meninggalnya beliau beliau ini, hanya demi agama, bergerak dari satu sloka ke sloka lain, dengan rangkaian upacara dan upakara yang sangat ribet, standar baku, harga mati.
Dulu, saya bayangkan, agama dan spiritual adalah bahasan orang-orang waskita dengan topik bahasan religius atau mengenai spiritual tingkat tinggi.
Namun, perjalanan hidup menghantarkan pada pemahaman yang bervariasi, menghasilkan cakrawala bianglala kehidupan yang beraneka corak dan warna...
Aplikasi dalam berbagai bentuk, pada berjenis ruang dan rangkaian waktu, memberikan cakrawala informasi dinamis pula. Betapa kagumnya pada penampilan chic Ibu Made Mangku, betapa mempesonanya tutur kata dan juga perilaku Ibu Desak Wati, betapa cantiknya dan besar taksu pada Ibu Tatiek Hartanadi, betapa teguh dan dalamnya tatapan seorang Mangku Gede, betapa polos dan rendah dirinya seorang guru Ida Bagus Aji, betapa sederhana seorang Putu namun bisa jadi tempat konfirmasi banyak hal, betapa saktinya kemampuan Nyoman yang sekarang sedang mesineb, betapa logic pemikiran Wayan yang termehek pada spiritual dan jatuh bangun dalam mengejarNya.
Beliau beliau ini, tidak luput pula dari segala salah dan amarah. Hal ini yang buka wawasan pengalaman, bahwa menjadi seorang penekun spiritual dan hamba Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa, tidak selalu terbebas dari dosa dan kesalahan. Bahwa utusan Tuhan, damuh Ide, mereka yang menjadi orang pilihan dan diminta ngiring juga berhak atas pilihan mereka, menjaga penampilan, nyetir mobil mahal, pakaian dari butik ternama, termasuk ngecat rambut dengan berbagai warna.
Seringkali, pesona terhadap Tuhan dan "satria nusantara", sebutanku bagi orang orang pilihan Tuhan dalam menegakkan ajaran Beliau dan menjalankan perintahNya, mengingatkan orang lainnya pula, pesona ini muncul begitu besar, dan membuatku terpukau. Hingga bahkan tak mampu melahirkan ungkapan apa pun, baik dalam perkataan, maupun tulisan...... Bahkan, berjam jam setelah tiba dari Pura Catur Kandapat Sari Pengideran Nawa Sanga, Jum'at, 9 Oktober 2009, rasa itu masih bertahan.
Pura ini menghadirkan secara lengkap Dewata Nawa Sanga, atau sembilan utusan Sang Hyang Perama Kawi, Tuhan Yang Maha Kuasa, yang menguasai ke sembilan penjuru mata angin dalam konsep Agama Hindu, Yaitu Siwa, Wisnu, Sambu, Iswara, Maheswara, Brahma, Rudra, Mahadewa, dan Sangkara.
Namun, hadirnya Beliau, dari berbagai penjuru Bali, berkali kali, dalam berbagai perwujudan, dalam bentuk tutur kata Jero Tapakan dan Jero Utusan saat itu, termasuk berkenan me solah bersama "asisten Beliau" menurut istilahku, atau "Para Hulubalang" meminjam istilah Kelian Babad Bali, Pak Donny Harimurti, di hadapan umat, jelas menggambarkan jalinan hubungan mendalam Beliau dengan umat manusia, pertanda Bahwa Tuhan, Ida Sang Hyang Widhi Wasa tidak pernah meninggalkan umat manusia, bahwa para leluhur dan Bethare selalu mendampingi dan hadir di sisi kita, di tengah berbagai cobaan dan tantangan, penderitaan dan kebahagiaan yang diterima manusia. Entah berupa pewisik, pertanda dan penanda, rasa, via mimpi, melalui astral, berbagai upacara dan upakara, bahkan hadir langsung dengan berbagai penampakan.
Sungguh, suatu fenomena yang begitu indah, takkan sanggup dicerna logika mentah begitu saja, entah dengan mencoba meng gathuk kan, mencari alasan dari cetek nya pemahaman diriku terhadap gejala ini, lalu, kuputuskan, menikmati satu lagi berkah Tuhan, mendapatkan tambahan pengalaman spiritual sejati, bagai ekstasi, termehek mehek pada Hyang Widhi, mencapai orgasme, menyatu dengan Beliau.... Begitu sederhana dan polos, tanpa perlu ribet mencari alasan apa pun.
Wisnu. Dewa Wisnu merupakan penguasa arah utara (Uttara), bersenjata Chakra Sudarshana, wahananya (kendaraan) Garuda, warnanya hitam, bhutanya taruna, shaktinya Dewi Sri, aksara sucinya "A", di Bali beliau dipuja di Pura Batur.
Sambhu. Dewa Sambhu merupakan penguasa arah timur laut (Ersanya), bersenjata Trisula, wahananya (kendaraan) Wilmana, warnanya abu-abu, bhutanya pelung, shaktinya Dewi Mahadewi, aksara sucinya "Wa", di Bali beliau dipuja di Pura Besakih.
Iswara. Dewa Iswara merupakan penguasa arah timur (Purwa), bersenjata Bajra, wahananya (kendaraan) gajah, warnanya putih, bhutanya jangkitan, shaktinya Dewi Uma, aksara sucinya "Sa", di Bali beliau dipuja di Pura Lempuyang.
Maheswara. Dewa Maheswara merupakan penguasa arah tenggara (Gneyan), bersenjata Dupa, wahananya (kendaraan) macan, warnanya dadu, bhutanya dadu, shaktinya Dewi Lakshmi, aksara sucinya "Na", di Bali beliau dipuja di Pura Goa Lawah.
Brahma. Dewa Brahma merupakan penguasa arah selatan (Daksina), bersenjata Gada, wahananya (kendaraan) angsa, warnanya merah, bhutanya langkir, shaktinya Dewi Saraswati, aksara sucinya "Ba", di Bali beliau dipuja di Pura Andakasa.
Rudra. Dewa Rudra merupakan penguasa arah barat daya (Nairiti), bersenjata Moksala, wahananya (kendaraan) kerbau, warnanya jingga, bhutanya jingga, shaktinya Dewi Samodhi/Santani, aksara sucinya "Ma", di Bali beliau dipuja di Pura Uluwatu.
Mahadewa. Dewa Mahadewa merupakan penguasa arah barat (Pascima), bersenjata Nagapasa, wahananya (kendaraan) Naga, warnanya kuning, bhutanya lembu kanya, shaktinya Dewi Sanci, aksara sucinya "Ta", di Bali beliau dipuja di Pura Batukaru.
Sangkara. Dewa Sangkara merupakan penguasa arah barat laut (Wayabhya), bersenjata Angkus/Duaja, wahananya (kendaraan) singa, warnanya hijau, bhutanya gadang, shaktinya Dewi Rodri, aksara sucinya "Si", di Bali beliau dipuja di Pura Puncak Mangu.
Siwa. Dewa Siwa merupakan penguasa arah tengah (Madhya), bersenjata Padma, wahananya (kendaraan) Lembu Nandini, warnanya panca warna, bhutanya tiga sakti, shaktinya Dewi Durga (Parwati), aksara sucinya "I" dan "Ya", di Bali beliau dipuja di Pura Besakih.
Selasa, 06 Oktober 2009
Pura Bukit Mentik Gunung Lebah Batur
setelah tiba dari Padma A. Building dan selesai bersama ADH C / 3, temui ibu Kadek Ratnasih, dan mengadakan pertemuan singkat dengan team PPM STPNDB, kuputuskan mulai membuka komputer, menyelesaikan beberapa laporan yang tertunda....
"Mangkin nyorean jagi tangkil ring Pura Bukit Mentik Gunung Lebah, Batur. Wenten wayang Cenkblonk pk. 20.00. Jagi sareng?" demikian ajakan seorang sahabat via fb ku. Ah, suatu ajakan yang sangat menggugah jiwa spiritual, tapi, deretan tugas yang belum selesai ini membuatku tak berani berharap berlebihan. Namun panggilan Tuhan tak mungkin kutolak. "Sangat menyenangkan...seandai nya tityang boleh bergabung...bisa berkumpul dimana? boleh kah tityang menumpang?" Harapku padanya. Setelah memastikan hal ini, kukebut menyelesaikan laporan, fotokopi arsip, dan mengedarkan beberapa data juga informasi.
Waktu menunjukkan pukul 15.00. Hanya punya waktu dua jam untuk pulang ke Denpasar, berbelanja buah dan kue untuk kuhaturkan di Pura nanti, menyelesaikan urusan keluarga, diskusi singkat dengan suami tercinta, mempersiapkan diri lalu bersembahyang sejenak, dan berangkat ke Jalan Veteran memenuhi janji hadir pukul 17 sore.
Pukul 18.30, rombongan kami bergerak meninggalkan jalan Patih Nambi, menyusuri jalan Raya Mambal, menjemput Jero Mangku Tusan, lalu melanjutkan pergerakan menyeruak malam melewati Payangan menuju Batur. Kelokan turun menuju kawah Batur ini mengingatkanku pada perjalanan menuju kawah Bromo. Jalan dengan tikungan tajam dan curam, beberapa batu kapur yang diletakkan di sisi kiri maupun kanan jalan jadi penanda bahwa jalan itu rapuh dan rawan longsor. Jalan ini pula yang ingatkan perjuangan masyarakat mengarungi jalan rusak parah Asah Badung - Dapdap Putih kini.
Menjelang pukul 21.00, kami tiba di Pura Bukit Mentik. Sapaan hangat para pemedek lain dan para pengayah menggambarkan semangat mereka dalam memberikan pelayanan terbaik di rumah Tuhan ini. Ini semakin memantapkan hati bersembahyang. Bayangan dalam berhari, bahkan dalam hitungan bulan, mungkin pula tahun, mereka mencurahkan tenaga demi berikan yang terbaik bagi umat dalam pelaksanaan upakara ini. Wajah lelah dan lesu terlihat pada beberapa dari mereka, namun terlihat kedamaian dan kepuasan di baliknya... Aku dihadapan mereka bukan lah apa apa, belum lah ada artinya.
Pukul 22.45, suara gamelan para penabuh team wayang Cenkblonk mulai terdengar, perlahan, para pengayah yang telah selesai melaksanakan tugasnya, bergerak menghampiri, mendekat. Mereka duduk di depan kelir wayang, ada yang duduk dilantai bersemen, ada yang memilih berdiri, mengenakan jaket tebal dan selendang yang dilingkarkan dipundak menentang udara dingin malam yang terasa menusuk. Hmm, inilah hiburan rakyat, yang juga diadakan dalam rangkaian Karya Agung di Pura Bukit Mentik ini, dengan dalangnya, yang baru saja menamatkan pendidikan master bulan lalu. Ah, andai ada Putu, Nyoman dan juga Wayan di sini.... akankah mereka terlibat perbincangan panjang tentang wayang, berbagai tokohnya, dan makna wayang itu sendiri berdasar tinjauan mereka masing masing bagai dahulu lagi? Ini kah bagian dari perjuangan satria nusantara dalam atasi konflik di negeri ini dan persatukan disintegrasi bangsa yang porak poranda pada banyak sisi?
Pukul 1 dini hari, Rabu tanggal 7 Oktober 2009. pentas wayang berakhir. Betapa banyak dan dalamnya makna kehidupan yang bisa disarikan disini... Kami kembali bergerak menuju Denpasar. Di jalan tanjakan untuk keluar dari kawah Batur, sebuah mobil carry di depan kami merosot turun.
Hmmm, Tuhan, sebegini kerasnya kah perjuangan umatMu, memuliakan namaMu, dalam berbagai cara, agar semakin mendekatkan dirinya? Aku, betapa kecilnya diriku di hadapan mereka, di hadapanMu, tertunduk malu ku dengan segala egoku yang sudah sudah... Bahkan aku harus mencubit lenganku untuk menyadarkan diri ini. Perjalanan ini kulakukan bersama Jero Mangku Tusan dan Pak Donny Harimurti, sang Kelian Babad Bali, dan juga keluarganya, yang bahkan baru kali ini kutemui. Ah, ini bukan mimpi.... Satu kali lagi keberuntungan dan kesempatan yang kudapat sebagai berkah dari Sang Hyang Widhi dalam perjalanan spiritual, untuk semakin mendekatkan diri padaNya.....
Ajarkan aku, untuk semakin mensyukuri hidupku, tiap detik dalam kehidupanku, yang sangat jauh lebih beruntung, dibanding orang lainnya, yang masih terpuruk dalam bencana dan berbagai masalah...
Menjelang pukul 2 hari Rabu, 7 Oktober 2009, aku tiba di pondok kecilku. seluruh anggota keluarga terlelap. Hmmm, saat yang baik untuk menikmati malam dengan doa bersyukur pada Tuhan, sebelum bersiap hadir di kantor, dan berikan UTS dipagi hari, sesuai janjiku pada mereka minggu lalu.
Minggu, 20 September 2009
Perjalanan Kembali, 6 September 2009
Terbangun setelah pagi beringsut membuka panas siang hari, dering telpon ponakan di Pangkung Singsing, Desa Asah Badung, menggugah kemalasanku. “Pulanglah bersama suami dan anak-anak, panen pisang dan gedang kali ini”, demikian ujarnya. Ah, tergetar hati karena hampir dua bulan tak kian kukunjungi para ipar dan ponakan di
Kulihat simbok sedang menyetrika, mantan pacar menghadiri undangan Pak Cika, Purek Unud, di Nusa Dua bersama teman temannya, dan anak-anak bermain bersama. Setelah usai menjemur pakaian dua ember yang kucuci, kugerakkan motor menuju Buleleng. Pukul 11.00 Kuawali perjuangan kali ini. Melewati Dalung, Kapal, Bypass Tabanan, menyusuri jalan kulihat sepanjang jalan
Pk 13.15 tiba di Pangkung Singsing, rumah tua. Kutemui Nyoman, ponakan yang tinggal sendirian. Setelah berbincang dengan gunakan bahasa isyarat, karena dia gagu, aku beranjak menuju ke atas bukit. Hmmm, tak pernah bosan mencium atmosfer desa dan angin semilir yang menyentuh seluruh tubuh ini... Menyusuri jalan berkelok, melewati perkebunan cengkeh, kopi, vanili, dan beberapa rumah penduduk lainnya, setengah jam kemudian aku tiba di rumah ipar. Berbincang dengan Mbok selalu menyenangkan, menggugah setiap detail pengalaman yang dia peroleh dari balik kehidupan menantang jiwaku untuk memiliki spirit sama dengannya. Memilih tetap memasak dengan gunakan kayu api, minum air dari sumber mata air, gunakan boreh di dahi dan kaki untuk menjaga kehangatan tubuh.
Pukul setengah enam sore saat ku pacu motor bergerak dari rumah tua, menuju ke desa. Dari Asah Badung, menyusuri jalan yang hancur total. Membayangkan, andai, mereka yg sering kebut - kebut an di jalan raya, berhasil melewati medan se sukar ini, baru angkat topi bagi mereka.
Pk 7.10 malam, tiba di Desa Batuaji, Kec. Kerambitan. Kuputuskan mampir untuk melihat bibi, dan beberapa anggota keluarga lainnya. Dua buah pepaya matang dari Buleleng kukeluarkan untuk sang bibi. "Ibunya Aris di RSU Tabanan. Dia terkena diabetes, jari kakinya dipotong dua" Demikian celoteh Biyang Nyoman. Ah, teriris hatiku. Selalu ada permasalahan bagi setiap manusia. Ujian lain lagi dari Sang Hyang Perama Kawi... Bergegas pamit, kuhampiri RSU Tabanan, membesarkan hati mereka yang sedang tertimpa musibah. Kulihat Aris sedang tertunduk meratapi nasib. PHK yang baru dialaminya di Surabaya, dengan tanggungan seorang istri dan tiga orang anak, serta seorang ibu yang sedang terbaring sakit di RS, Tuhan, entahlah, apakah aku akan sanggup menanggung jika hal ini terjadi pada diriku dan keluargaku.... Ah, beri kami tiap kekuatan itu, karena kami sungguh perlu akannya...
Home sweet home.... Mama pulang, sambutlah aku....
Lelah, terkapar, esok harus berangkat kerja pagi. Tapi diri ini diselimuti rasa kagum atas kebesaran Tuhan....Gempita Karmany Smansa, Sabtu 5 September 2009
Pk 16.15 Sabtu, 5 September 2009, kami sekeluarga selesai dengan urusan membersihkan halaman dari berbagai pilahan hasil pohon kelapa yang ditebang. Anak - anak berangkat ke tempat les mereka. Mengobrol sejenak dengan suami tercinta sambil menikmati pisang goreng bikinan sendiri. Rada gosong, tapi lumayan lah....
Pk 19.00, kembali berkumpul menikmati makan malam sederhana. Dan dering telepon Ibu Astuti di HP ku meminta agar kuijinkan si sulung, Adi, untuk bergabung dengan anak - anaknya ke Garuda Wisnu Kencana. "Ada Nidji pentas" sahutnya. Putra bungsu ku mulai merajuk, menangis, dan bergulung di lantai karena mengetahui tidak diijinkan turut serta. Dengan menahan nafas, kembali kutelpon sahabatku, ibu Astuti. "Ijinkan saya dan Yudha ikut serta, ibu. Akan saya bayar tiket kami" pintaku. Lalu setengah berlari, kucuci tangan hasil makan malam yg tidak tuntas, mengenakan baju jaket pada kedua anakku, topi dan sandal mereka, dan menyambar dompet, lalu berlari ke halaman, karena mobil Vios temanku telah tiba di ujung jalan. Akh, kulihat Pak Made Mangku, demikian kami biasa memanggil suami ibu Astuti, duduk di belakang kemudi, Prima dan Ngurah Ari duduk di samping kursi supir, di belakang, masih ada Bagus dan Ibu Astuti sendiri. Lalu putra sulungku, Adi, dan aku duduk memangku Yudha, yang kelas dua SD. Duh, Tuhan, demi kebahagiaan anak anak, bersesak berdelapan dalam sedan...
Dentuman mini marching band semakin keras menghentak terdengar hingga pintu tempat kami masih berdiri. Segera setelah leher kiri dan kanan ditandai alat stempel tersebut, kami berlari menaiki anak tangga menuju ke amphitheater, memasuki area VVIP di bagian depan, tepat dibawah panggung siswa Smansa yang sedang menjadi model dan berjalan hilir mudik di atasnya. Sungguh suatu tampilan yang unik dan menarik. Siswa SMA bisa menggelar sebuah tampilan spektakuler, di Garuda Wisnu Kencana, dengan biaya mencapai 650 juta, mengundang beberapa group band terkenal, dari Harum Manis Kembang Gula Band, Rocket Rocker dari Bandung, dan Nidji dengan Gilang yang ku idolakan.
Dari mini marching band, smansa models dengan para siswa yang tampil sangat seksi, Capoera, dengan gerak dinamis para pemainnya. Salute bagi penampilan Sekeha Gong Genta Ambara Kencana. Ehm, jadi ingat hal yang sama yang pernah ditampilkan ISI Denpasar saat Simposium Internasional 27-28 Agustus 2009. Fusion music ini gambarkan dinamika budaya Bali dan gaya modern yang hasilkan suatu bentuk kontemporer khas dunia musik remaja. Ah, ini semua bantu lupakan sejenak, kisruh yang melanda negeri, konflik dan permasalahan yang bagai tiada henti, perekonomian yang anjlok, isu sosial politik yang tiada beri kedamaian, dan masih berjuta probleman lainnya.
Pk 1 pagi, pesta kembang api dimulai, selama 30 menit penonton dihibur oleh berbagi jenis kembang api hasil bikinan Departemen Elektro Smansa Denpasar. Dari bentuk yang meliuk liuk ke atas sebelum memuncratkan semburat putih dilanjut sejuta warna indah bagai jamur di malam yang lalu bermandi cahaya... hingga puluhan kembang api kecil lain yang sambung menyambung tiada henti, hingga akhirnya langit bagai mandi ribuan pendar cahaya yang ubah gulita jadi siang hari. Lalu tercipta polusi udara. Awan hitam akibat sisa sisa pembakaran kembang api menyelimuti kami, dalam radius hingga lima ratus meter, akibat puluhan, hingga ratusan kembang api selama hampir satu jam tersebut.
Saat Nidji sedang menyanyikan lagu ke enam, terjadilah.... Hujan mulai turun. Awalnya hanya gerimis, namun makin lama makin deras. kukhawatirkan kondisi anak anak ini, namun mereka masih bertahan. Kunaikkan kerah baju anak bungsuku, kurapatkan topinya, dan berharap cuaca sedikit lebih ramah pada kami. Bahkan, Nidji bertahan untuk tidak mengecewakan penonton yang setia dibawah cucuran hujan ini, mereka tetap bermain dengan drumband dipayungi terpal plastik, termasuk pemainnya, demikian pula keyboardnya. Ah, pihak manajemen GWK sudah bersiap terhadap situasi pada amphitheater saat curah hujan terjadi...
Tapi tak bisa kusangkal....
Kudapatkan kebahagiaan saat melihat anak anakku berbahagia. Bahagia walau terkantuk tanpa tidur siang mereka, dan terjaga hingga pk 3 dini hari. Bahagia mereka karena bisa berkumpul bersama teman teman, bahagia karena bisa pergi mengunjungi Garuda Wisnu Kencana, bahagia karena bisa menonton pentas band, dan, begitu banyak bahagia lainnya.
Tuhan, terima kasih untuk kebahagiaan yang kudapat hari ini.
Semoga Engkau beri aku dan keluarga, juga sahabat, kebahagiaan yang tiada putus, walau terkadang kami tidak ketahui kebahagiaan sejati yang sesungguhnya Engkau sediakan bagi kami....
Minggu, 30 Agustus 2009
Dari International Symposium `bout Cultural Studies, 27-28 Agst `09
Globalisasi yang melibatkan cakupan tentang pergerakan manusia (ethnoscape), uang (finanscape), teknologi (technoscape), media (mediascape) dan ideologi (ideoscape) menurut Appadurai (1993) memperlihatkan wujud nyatanya, terutama di Bali, melalui pintu pariwisata. Konsekuensi ini menghasilkan dampak masuknya pengaruh berbagai aspek budaya global yang pula mempengaruhi berbagai praktek kehidupan masyarakatnya, termasuk di dalamnya, entitas sosial yang bernama remaja.
Dr. Dyah Pradnyaparamita Duarsa, dalam makalah yang disampaikan pada simposium ini memaparkan, betapa remaja kota Denpasar sebagai bagian remaja Bali, juga mendapat pengaruh dari globalisasi, pada aspek persepsi dan perilaku yang berkaitan dengan seksualitas pranikah.
Gaya hidup (lifestyle) remaja kota Denpasar ini terrefleksi dalam perkembangan praktek-praktek hubungan seksual pra nikah, yang banyak ditandai dengan munculnya kasus kehamilan tak diinginkan, infeksi menular seksual, termasuk di dalamnya HIV dan AIDS. Survey Kesehatan Remaja Indonesia 2002-2003 yg dilakukan oleh BPS menemukan, laki-laki berusia 20-24 yg belum menikah yg memiliki teman pernah melakukan hubungan seksual adalah 57,5 %, yg berusia 15-19 th sebanyak 43,8 %. Perempuan berusia 20-24 th yg miliki teman pernah melakukan hubungan seksual adalah 63 %, dan perempuan berusia 15-19 th sebanyak 42,3 %.
Walau data ini adalah data tahun 2002-2003, dan hanya berkisar pada remaja di kota Denpasar, tapi ini telah memberi gambaran tentang remaja Indonesia, dan bahkan dunia. Persepsi dan perilaku yang tumbuh dan berkembang di antara mereka, khususnya mengenai hubungan seksual pranikah. Mereka benar benar membutuhkan pendampingan dan suri teladan dalam mengembangkan wawasan, pengalaman dan ketrampilan, menapaki kedewasaan, sebelum memasuki dunia kehidupan berumah tangga.
Hal senada yang dikemukakan oleh Hardiman adalah bahwa wanita merupakan sesuatu yg kodrati dan selalu dipasangkan dengan oposisi binernya, lelaki, dengan segala atribut keberadaan mereka yang secara esensial dianggap inheren. Pria, dg segala fenomena dan cirinya, demikian pula wanita. Intinya, pria dan wanita memiliki batas yg mutlak, tubuh mereka, fisik mereka. Hal ini sering memperjelas bahwa hegemoni yang terjadi di kalangan mereka telah membentuk suatu situasi dan kondisi pengklasifikasian, kuat - lemah, tinggi - rendah, pintar - bodoh, dimana pada akhirnya kelas dominan dan berkuasa menjadi pengatur, penentu. Mereka mengarahkan masyarakat melalui pemaksaan kepemimpinan moral dan intelektual, mereka yg tentukan tingkat konsensus dan ukuran stabilitas sosial yang besar, dimana kelas bawah yg termarginalkan akan dengan aktif menerima dan mendukung nilai-nilai, ide, tujuan dan makna budaya yg mengikat. Bahwa, ada benar dan salah, bahwa ada populer dan tidak, bahwa ada terpinggirkan dan pada episentrum, bahwa ada yg tersingkir dan terkenal.
Ah, inikah yg disebut Anthonio Gramsci sebagai "intelektual organik" ? Profesi yang dimiliki seseorang, yang mampu menghadirkan buah pikiran, perkataan dan perbuatan dengan berbagai cara dan dalam berbagai sistematika, telah memperlihatkan keberpihakan pada pihak tertentu, menghegemoni orang lain, pihak lain, dimana sesungguhnya mereka juga telah dibentuk oleh lingkungan dunia yang mengitari mereka...
Ini memperjelas, bahwa mereka yg sering kali dianggap sebagai kelompok terpinggirkan, sebenarnya juga adalah kelompok yg terkadang memainkan peranan sebagai penguasa. Mereka yang sakit, mereka yang pintar, mereka yang miskin, dan banyak mereka lainnya pula...