Gak lama lagi jelang Nyepi. Telah berkali kami lalui dengan membuat Ogoh-ogoh bersama untuk diarak saat "Pengrupukan"i. Ogoh-ogoh bukan penghamburan dana, bukan pula perlihatkan kerja yang sia-sia oleh orang yang terkadang dicap para penganggur dan seharusnya cari kerja yg lebih pantas lainnya. Ada banyak aspek dibalik ini. Budaya dan berbagai aspek yang ada: seni, religi, upacara, sistem kemasyarakatan, pengetahuan, teknologi, dll. Manajemen waktu, tenaga dan biaya, memperlihatkan kualitas kepribadian dan kemampuan org yg terlibat dibaliknya, kerjasama dan tenggangrasa terhadap berbagai org yg berbeda dan unik satu sama lain, keselarasan dan harmoni agar bisa jadi hasil terbaik hingga di akhir acara.
Kali ini, berkeliling saksikan kepiawaian dibalik beragam bentuk, fungsi dan makna Ogoh-ogoh di berbagai lokasi, baik yang telah selesai dirakit untuk ikut lomba, atau yang belum berwujud, sekali lagi kuharus takjub dan membungkuk merendah diri untuk hormati mereka. Dengan perencanaan matang, semakin matang dari berkali dan bertahun proses yg mereka lalui, bahkan, seorang PakNyoman Ompong membuatku terkagum atas usahanya... "Tirulah dia, nak" kubisikkan pada anakku tentang semangat tiada ujung sore tadi kala kitari kota ini.
Ogoh-ogoh adalah karya seni patung dalam kebudayaan Bali yang menggambarkan kepribadian Bhuta Kala. Dalam ajaran Hindu Dharma, Bhuta Kala merepresentasikan kekuatan (Bhu) alam semesta dan waktu (Kala) yang tak terukur dan tak terbantahkan. Dalam perwujudannya, Bhuta Kala digambarkan sebagai sosok yang besar dan menakutkan; biasanya dalam wujud Rakshasa.
Selain wujud Rakshasa, Ogoh-ogoh sering pula digambarkan dalam wujud makhluk-makhluk yang hidup di Mayapada, Surga dan Naraka, seperti: naga, gajah, garuda, Widyadari, bahkan dewa. Dalam perkembangannya, ada yang dibuat menyerupai orang-orang terkenal, seperti para pemimpin dunia, artis atau tokoh agama bahkan penjahat.
Ogoh-ogoh juga berfungsi sebagai representasi Bhuta Kala, dibuat menjelang Hari Nyepi dan diarak beramai-ramai keliling desa pada senja hari Pangrupukan, sehari sebelum Hari Nyepi. Menurut para cendekiawan dan praktisi Hindu Dharma, proses ini melambangkan keinsyafan manusia akan kekuatan alam semesta dan waktu yang maha dashyat. Kekuatan tersebut meliputi kekuatan Bhuana Agung (alam raya) dan Bhuana Alit (diri manusia). Dalam pandangan Tattwa (filsafat), kekuatan ini dapat mengantarkan makhluk hidup, khususnya manusia dan seluruh dunia menuju kebahagiaan atau kehancuran. Betapa sesungguhnya, manusia hidup dalam sebuah dunia yang sangat kompleks, saling terkait satu dengan lain, di masa lalu, kini dan nanti, tidak terbantah dari Tri Hita Karana.
Semua ini tergantung pada niat luhur manusia, sebagai makhluk Tuhan yang paling mulia dalam menjaga dirinya sendiri dan seisi dunia. Keselarasan dan keindahan... Unity in diversity, selalu indah jika penuh warni.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Kelamaan di pulau seberang, saya hampir lupa kalau Maret nanti sudah nyepi. Sayang di sini ga ada ogoh-ogoh, coba suruh anak KMHD mengaraknya di seputar bunderan, pasti bakal rame, he he :)
BalasHapusYo ayo lah... usul in ke teman dan para senior yg mo dukung...
BalasHapus