Jum'at, 15 Oktober 2010, pukul 19.00 wita. Duduk bersama anakku, si bungsu, Yudhawijaya. Kami duduk berdua di teras sekolah SD 2 Pemecutan, di jalan Imam Bonjol Denpasar. Hmmm, kuajak dia ikut bersama kami kemari. Kakaknya sedang mengikuti les sekolah. Sang Bapak sedang dimintai bantuan oleh sahabat untukmengantarnya berobat karena gangguan jantung. Simbok sedang mengikuti pelajaran di kelas Paket Kejar C dari program pendidikan yang diadakan oleh Pusat Bimbingan Belajar "Ki Hajar Dewantara" yang berada di bawah naungan Yayasan Darma Wangsa ini. Aku direncanakan akan mengajar mulai pukul 20.00 wita nanti, untuk mata pelajaran Sosiologi, padahal, bulan lalu masih kupegang mata pelajaran Geografi. Dan, Yudha akan ikut duduk pula di dalam kelas.
Sudah seringkali anak-anakku kuajak untuk mengikuti berbagai kegiatan yang kuikuti. Disamping membuka wawasan pengetahuan mereka, mereka juga bisa selalu dekat bersamaku. Dan, inilah salah satu bentuk yadnya ku, berbagi bersama orang lain, yang terkadang tidak seberuntung orang yang lebih mampu dan bisa dapatkan berbagai fasilitas dengan mudahnya. Gaji atau imbalan? Entahlah, aku tidak yakin kami akan mendapat gaji dari apa yg kulakukan, namun, bukankah, kita tidak bisa selalu berharap bahwa apa yg kita lakukan akan mendapatkan imbalan yang layak atau pantas? Lagi pula, apakah sebenarnya ukuran standar kelayakan dan kepantasan itu? Sangat subjektif, bukan?
Seorang bapak menghampiri, dan turut duduk di depanku. Namanya Sri Kita. Kutaksir, usianya sekitar 65 tahun. Ia pensiunan pegawai kecamatan. Dia tiba bersama dengan anaknya, dan cucunya yang berumur 16 tahun. Cucunya tidak mengikuti ujian akhir nasional 2010 bagi SMP karena saat itu sedang sakit. Ini mengakibatkan cucunya ini tidak lulus UAN dan tidak mendapatkan ijasah. Mereka berasal dari Banjar Belimbing Desa Pupuan. Tadi pagi mereka sudah tiba dengan mobil Feroza, namun karena Pusat Bimbingan dan Belajar Ki Hajar Dewantara ini baru buka pukul 19.00 malam, maka mereka kembali ke Pupuan, dan berangkat lagi sore harinya menuju Denpasar. Hmmm, sungguh sebuah perjuangan berat demi meraih sebuah ijasah SMP. Dan, mereka telah menempuh jarak ratusan km hanya untuk temui Ibu Agung, ketua Pusat Bimbingan dan Belajar Ki Hajar Dewantara ini.
Dia lalu berceritera tentang ladang kelapanya yang 50 are, hasilnya yang dijual pada para pengepul. Harapannya agar anak dan cucunya akan memiliki kehidupan yang lebih baik dibandingkan dengan dirinya. Anak wanitanya yang tinggal di Bukit Ungasan, dan bekerja di SMP 2 Kuta Selatan pada bagian Tata Usaha. Kebimbangannya mengenai jarak tempuh panjang yang harus dilalui cucunya untuk mengikuti pendidikan di sekolah tersebut. Dan berbagai kisah mengenai perjalanan hidupnya demi sebuah kehidupan yang diharapkan akan jadi semakin baik. Duh, Gusti Allah...... Semoga aku akan menjadi betina tangguh (Hahaha... lha iyalah, aku khan ga mungkin jadi Pejantan Tangguh...) Bisa menjadi Emak yang baik bagi anak-anakku dalam membimbing mereka, menjadi sahabat bagi banyak orang, menjadi teladan baik, berusaha semakin baik dari hari ke hari.
Ah, Sungguh berbagai pernik kisah indah mengenai beragam dunia kehidupan yang ada di seputaran kita. Terkadang, apa yang kita harapkan, apa yang kita impikan, tidak lah seindah kenyataan yang kita temukan dalam hidup ini. Berbagai ironi, problema, pertentangan, perjuangan yang tidak mudah, akan menjadi seleksi tahap demi tahap yang kita temui. Semoga tiap orang akan dapat temukan akhir dari perjalanan hidup mereka kelak......
Sudah seringkali anak-anakku kuajak untuk mengikuti berbagai kegiatan yang kuikuti. Disamping membuka wawasan pengetahuan mereka, mereka juga bisa selalu dekat bersamaku. Dan, inilah salah satu bentuk yadnya ku, berbagi bersama orang lain, yang terkadang tidak seberuntung orang yang lebih mampu dan bisa dapatkan berbagai fasilitas dengan mudahnya. Gaji atau imbalan? Entahlah, aku tidak yakin kami akan mendapat gaji dari apa yg kulakukan, namun, bukankah, kita tidak bisa selalu berharap bahwa apa yg kita lakukan akan mendapatkan imbalan yang layak atau pantas? Lagi pula, apakah sebenarnya ukuran standar kelayakan dan kepantasan itu? Sangat subjektif, bukan?
Seorang bapak menghampiri, dan turut duduk di depanku. Namanya Sri Kita. Kutaksir, usianya sekitar 65 tahun. Ia pensiunan pegawai kecamatan. Dia tiba bersama dengan anaknya, dan cucunya yang berumur 16 tahun. Cucunya tidak mengikuti ujian akhir nasional 2010 bagi SMP karena saat itu sedang sakit. Ini mengakibatkan cucunya ini tidak lulus UAN dan tidak mendapatkan ijasah. Mereka berasal dari Banjar Belimbing Desa Pupuan. Tadi pagi mereka sudah tiba dengan mobil Feroza, namun karena Pusat Bimbingan dan Belajar Ki Hajar Dewantara ini baru buka pukul 19.00 malam, maka mereka kembali ke Pupuan, dan berangkat lagi sore harinya menuju Denpasar. Hmmm, sungguh sebuah perjuangan berat demi meraih sebuah ijasah SMP. Dan, mereka telah menempuh jarak ratusan km hanya untuk temui Ibu Agung, ketua Pusat Bimbingan dan Belajar Ki Hajar Dewantara ini.
Dia lalu berceritera tentang ladang kelapanya yang 50 are, hasilnya yang dijual pada para pengepul. Harapannya agar anak dan cucunya akan memiliki kehidupan yang lebih baik dibandingkan dengan dirinya. Anak wanitanya yang tinggal di Bukit Ungasan, dan bekerja di SMP 2 Kuta Selatan pada bagian Tata Usaha. Kebimbangannya mengenai jarak tempuh panjang yang harus dilalui cucunya untuk mengikuti pendidikan di sekolah tersebut. Dan berbagai kisah mengenai perjalanan hidupnya demi sebuah kehidupan yang diharapkan akan jadi semakin baik. Duh, Gusti Allah...... Semoga aku akan menjadi betina tangguh (Hahaha... lha iyalah, aku khan ga mungkin jadi Pejantan Tangguh...) Bisa menjadi Emak yang baik bagi anak-anakku dalam membimbing mereka, menjadi sahabat bagi banyak orang, menjadi teladan baik, berusaha semakin baik dari hari ke hari.
Ah, Sungguh berbagai pernik kisah indah mengenai beragam dunia kehidupan yang ada di seputaran kita. Terkadang, apa yang kita harapkan, apa yang kita impikan, tidak lah seindah kenyataan yang kita temukan dalam hidup ini. Berbagai ironi, problema, pertentangan, perjuangan yang tidak mudah, akan menjadi seleksi tahap demi tahap yang kita temui. Semoga tiap orang akan dapat temukan akhir dari perjalanan hidup mereka kelak......
hemmm....itulah perjuangan untuk mendapatkan ijasah....sebetulnya hakikat pendidikan bukan untuk mendapatkan ijasah saja tapi lebih untuk bisa meningkatkan kwalitas hidup tapi sekarang hanya ijasah yg lebih di hargai
BalasHapusBenar sekali....
BalasHapusBanyak terjadi penyimpangan dan salah kaprah yang berkelanjutan di tengah masyarakat kita...