Setelah latihan nari bersama yang hanya dalam waktu dua minggu, akhirnya mereka menari juga. Di sela sela kesibukan ku dalam mengikuti kuliah Program S3, Program Studi Kajian Budaya di kampus Pasca Sarjana UNUD, menguji Ujian Akhir Semester di kampus STPNDB, pulang ke Kerambitan, mengurus rumah tangga, dan persiapan anak-anakku sendiri mengikuti Ujian Akhir Semester mereka di SMAN I Denpasar dan SDN 3 Padang Sambian Kelod.
Bahkan, hari Kamis, 30 Desember 2010, dari enam anak perempuan, hanya tertinggal dua orang anak yang menari Bali, Kadek Susi dan Gung Gek Sri. Enam anak perempuan yang tadinya berpindah memilih tarian yang akan dipentaskan, dari tari Bali Pendet, ke tari Bali Tenun, kemudian ke tari Bali Cenderawasih, akhirnya Legong Keraton.
Pukul 4 sore, hari Jum’at, 31 Desember 2010, sepulang dari acara Ramah Tamah di kampusku, STPNDB, dan berbelanja beberapa bahan, aku bersiap menghandle acara Tahun Baruan di perumku. Namun aku masih harus merayu dan sedikit memaksa mereka, anak2 perempuan ini, untuk menari Bali terlebih dahulu, sebelum menarikan 3 tari modern dengan musik dan lagu dari Agnes Monica dan Cinta Laura. Akhirnya toh berhasil kukumpulkan, tidak hanya enam, namun tujuh anak yang siap menari
Niatku hanyalah, tetap harus ada kegiatan yang memberikan hiburan bagi mereka sendiri. Dari mereka, untuk mereka, dan oleh mereka. Beberapa lomba sederhana kuadakan, dari lomba lari kelereng anak-anak, lomba makan kue, lomba lari mengatur tumpukan batu. Cukup kubedakan kelompok usia dan jenis kelamin mereka. Kali ini tidak ada lomba makan kerupuk, lomba menggambar, dan pertandingan bulutangkis. Tidak sempat ku handle itu, dan para remaja yang biasa membantu juga sedang menempuh ulangan akhir semester mereka. Bahkan hari Jum’at mereka masih mengikuti sekolah seperti biasa. Yudha anakku masih pulang pukul 17.30 seperti biasa. Adi, kakaknya, juga tiba di rumah pukul 16 sore.
Aku tidak ingin mereka berkeliaran di jalan dalam merayakan Tahun Baru. Mereka tetaplah anak-anak dan remaja yang kukasihi. Kami bukan orang mampu atau kaya, kami berasal dari berbagai latar belakang sosial budaya, Islam, Hindu, Katholik. Dengan berkumpul bersama, bisa meningkatkan kebersamaan dan kerja sama di antara mereka. Toh mereka yang akan berkumpul bersama di masa depan, menjadi sahabat se perjuangan dalam mengarungi bahtera kehidupan mereka dengan berbagai nuansa dan problema romantika peristiwa.
Berbagai diskusi dan proses pendekatan yang kulakukan, termasuk dengan melibatkan para remaja. Biarkan mereka tumbuh dan berkembang, atasi masalah mereka, belajar manajemen secara langsung, dari operasional yang mereka kelola sendiri. Membuat proposal dan menyusun rencana kerja untuk acara tahun baruan. Merencanakan ada acara bakar ikan, pesta kembang api, main musik, dan modern dance. Ku libatkan pula para orangtua di Perum ini. Kuketuk pintu rumah mereka, mengetuk pintu hati mereka, meminta sumbangan nasi, sayur, dan buah, juga cocktail bagi anak-anak. Hingga akhirnya terkumpul, 50 bungkus nasi dari bapak dan ibu Mangku Made Sedana Putera, 3 kotak minuman bagi anak-anak dari ibu Agung Mas, sayur kacang kalasan dari ibu Putu Arka, nasi dalam magic jar dari ibu Putu Artayasa, ibu Putri Dharma Metta, ibu Ketut Sumertha, buah dari ibu Kadek Suartika, dandanan para penari berkat bantuan polesan dari ibu Ida Ayu Puspaadi, dan sumbangan dana dari pak Nyoman Runteg sebesar Rp 500.000, serta sekitar 70 KK para warga perum Pondok Galeria lainnya sebesar Rp 300.000 ribuan..